Rabu, 28 Januari 2009

MUI dan Perangkap Politik

Hasil sidang Ijtima Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Padang Panjang mewajibkan masyarakat Indonesia menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2009. Meskipun tidak secara eksplisit disebutkan sebagai fatwa tentang haram golput seperti yang diminta sementara kalangan, tetapi substansi keputusan tersebut tampaknya sama saja. Pasalnya, sebagaimana ditegaskan ketuanya, Ma’ruf Amin, apabila umat tidak memilih kriteria pemimpin seperti yang digariskan MUI dalam keputusan tersebut, yakni amanah, jujur dan cerdas, atau memutuskan untuk tidak mencoblos padahal banyak calon pemimpin yang memenuhi kriteria tersebut, maka hukumnya haram (Sindo, 27/01/09).



Perangkap Politik
Persoalan yang laik diajukan di sini adalah etiskah sebuah lembaga keagamaan semacam MUI mengeluarkan sebuah keputusan yang sarat dengan kepentingan politik pragmatis semacam itu? Bukankah hal itu justeru akan berbahaya bagi MUI sendiri karena akan “terjebak” pada ranah politik praktis? Di samping itu, apakah keputusan itu akan efektif, dalam arti, akan diikuti oleh masyarakat Indonesia?
Menurut hemat penulis, keputusan MUI yang mewajibkan masyarakat Indonesia menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2009, justeru merupakan sebuah bentuk keterjebakan lembaga keagamaan ini dalam perangkap politik. Dalam konteks ini, MUI yang sejatinya berada di wilayah sakral (agama) diseret masuk ke dalam wilayah profan untuk kepentingan politik sekelompok orang atau golongan tertentu. Dengan kata lain, lembaga keagamaan ini telah dijadikan alat kekuasaan.
Dengan demikian, agama telah diperlakukan secara dangkal justeru oleh lembaga keagamaan itu sendiri. Jika agama diperlakukan seperti ini akibatnya agama akan kehilangan misi sucinya sebagai pembebasan bagi umat karena agama telah “terperangkap” dalam jebakan kepentingan kelompok. Dan ini tentu saja sangat berbahaya bagi kelangsungan agama itu sendiri.
Sayangnya bukan kali ini saja MUI melakukan hal seperti itu. Dalam sejarahnya lembaga ini kerap “terjebak” dalam kepentingan-kepentingan politik. Pada masa Orde Baru, misalnya, bukan hal yang aneh kalau lembaga ini acap dijadikan pemesanan sejumlah fatwa yang tentu saja mendukung berbagai kebijakan pemerintahan Orde Baru.
Di antara fatwa MUI yang dianggap paling kontroversial pada masa itu adalah fatwa tentang dibolehkannya masyarakat mengikuti kuis berhadiah yang dikenal dengan SDSB atau porkas. MUI menyatakan bahwa hal tersebut bukan merupakan judi, karena itu tidak bertentangan dengan hukum Islam. Hampir semua kalangan menilai bahwa fatwa tersebut jelas-jelas merupakan pesanan dari pemerintah. Demikian pula fatwa tentang Keluarga Berencana dan sejumlah fatwa lainnya.

Kontra Produktif
Keputusan yang telah dikeluarkan MUI tersebut agaknya tidak akan berlaku efektif sebagai sebuah upaya meningkatkan angka partisipasi politik. Selain akan memicu pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia yang plural, juga keputusan itu sendiri sesungguhnya tidak memiliki kekuatan mengikat yang bisa memaksa masyarakat untuk mau tidak mau melaksanakannya.
Pada sisi lain, hal tersebut dapat dipandang sebagai tindakan kontra produktif terhadap demokrasi. Bagaimana pun golput merupakan hak warga yang tidak dapat dicegah. Setiap upaya negara atau suatu kelompok yang mencoba menghalangi kebebasan warga dalam mengartikulasikan hak politiknya jelas akan dipandang sebagai tidak demokratis. Meskipun tindakan tersebut bertujuan untuk melibatkan warga dalam politik tetapi kalau sifatnya paksaan tentu akan dianggap bertentangan dengan hakikat demokrasi.
Jika kita cermati golput pada saat ini tampaknya berbeda dengan golput pada masa Orde Baru. Pada masa itu golput pada umumnya lebih dimaknai sebagai sebuah “perlawanan” terhadap status quo. Para aktivis demokrasi di Indonesia memandang bahwa pemilu-pemilu yang dilakukan rezim Orde Baru tidak lebih sebagai kamuflase belaka, sebab pemenangnya sudah pasti partai yang berkuasa (Golkar). Sedangkan dua partai lainnya (PDI dan PPP) dipajang sebagai “aksesoris” belaka. Maka, memberikan suara pada pemilu semacam itu jelas percuma saja, sehingga golput menjadi pilihan yang cukup strategis.
Dalam konteks politik Indonesia masa kini golput agaknya memiliki banyak dimensi. Sebagian dari masyarakat Indonesia barangkali masih ada yang memilih golput berdasarkan cara pandang di atas. Apalagi sekarang ini tingkat ketidakpercayaan politik (political distrust) masyarakat terhadap partai politik (parpol) cukup tinggi. Namun tidak dapat dimungkiri bahwa banyak pula masyarakat yang tidak memberikan suaranya dalam pemilihan bukan karena alasan di atas, tetapi karena alasan-alasan lainnya. Ada yang bersifat teknis, seperti tidak terdaftar sebagai pemilih atau lainnya, dan ada pula karena sudah jenuh karena banyaknya pilkada.

Literasi Politik
Keputusan di atas sangat mungkin akan berimplikasi negatif terhadap MUI itu sendiri sebagai sebuah lembaga keagamaan. MUI akan dipandang melakukan tindakan yang tidak etis karena mau diseret-seret ke dalam politik praktis yang sarat kepentingan politik. Padahal sejak era Orde Baru berakhir lembaga ini telah menyatakan perubahan paradigma baru, terutama dalam hal keindependenan dari berbagai kepentingan pihak-pihak tertentu, baik pemerintah maupun kelompok lainnya. Dengan adanya keputusan tersebut tentu orang akan mempertanyakan kembali keindependenannya, dan salah-salah, ia akan kehilangan kredibilitasnya sebagai lembaga yang berwibawa di mata umat, seperti yang terjadi pada masa kepemimpinan Buya Hamka.
Oleh karena itu, untuk menekan angka golput sebaiknya tidak perlu menggunakan instrumen keagamaan. Memberikan literasi politik yang cerdas kepada masyarakat justeru jauh lebih elegan. Sebab dengan pemahaman yang lebih baik terhadap politik partisipasi warga dalam pemilu akan meningkat. Dan hal itu tentu saja dilakukan dengan kesadaran politik (political awareness) yang tinggi. Itulah sejatinya yang harus diupayakan oleh para elite politik di negeri ini.

Tentang Hak Kursi Ketiga

Baru-baru ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengajukan usulan kepada pemerintah tentang pemberian kursi ketiga bagi caleg perempuan, bahkan aturan teknisnya telah pula diselesaikan. Dengan demikian, jika pemerintah nanti menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu), maka aturan tersebut segera ditetapkan.
Pemberian kursi ketiga bagi caleg perempuan tersebut hanya berlaku bagi partai politik (parpol) yang memperoleh tiga kursi di satu daerah pemilihan (dapil). Jika pemenang ketiga kursi itu laki-laki, maka kursi urutan ketiga harus diberikan kepada perempuan. Caleg perempuan yang berhak mengisi adalah peraih suara terbanyak di antara caleg perempuan.

Kontroversial
Tidak diragukan lagi bahwa usulan KPU tersebut di atas merupakan reaksi terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi (MK). Sebagaimana telah diketahui bahwa MK mengabulkan uji materi Undang-Undang (UU) No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum (Pemilu), yaitu pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e yang berimplikasi pada digantinya sistem penetapan calon anggota legislatif pada Pemilu 2009 dari nomor urut ke suara terbanyak.
Di antara pertimbangan MK atas keputusan tersebut adalah bahwa ketentuan pasal 214 huruf a, b, c, d dan e UU No. 10/2008 yang menyatakan bahwa calon anggota legislatif terpilih adalah calon yang mendapat suara di atas 30 persen dari bilangan pembagi pemilih (BPP) atau menempati nomor urut lebih kecil, dinilai bertentangan secara substantif dengan prinsip keadilan sebagaimana diatur dalam pasal 28 ayat 1 UUD 1945. Dengan kata lain, MK ingin mengembalikan kedaulatan kepada rakyat sebagai pemilik yang sebenarnya dalam kehidupan demokrasi.
Oleh karena itu, pemberian kursi ketiga kepada caleg perempuan dapat dipandang tidak sejalan dengan semangat demokrasi (baca: kedaulatan rakyat) yang diusung keputusan MK. Alasan yang dikemukan KPU bahwa usulannya itu tidak bertentangan dengan penentuan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak, hanya karena ketentuan tentang keterwakilan perempuan sebanyak 30 persen tidak dihapus agaknya sulit diterima, atau boleh dikatakan mengada-ngada.
Sementara di kalangan caleg perempuan sendiri usulan KPU tersebut tidak sepenuhnya direspons dengan antusias. Malah ada sebagian caleg perempuan yang menganggap hal tersebut sebagai sikap setengah-setengah, atau sekadar menunjukkan keberpihakan KPU yang sebagian diisi oleh perempuan kepada caleg perempuan. Sebab realitas di lapangan di lapangan sulit bagi sebuah parpol untuk mendapatkan tiga kursi di satu daerah pemilihan apalagi dengan jumlah partai yang begitu besar.
Oleh karena itu, sebaiknya KPU tidak perlu memaksakan diri dengan meminta pemerintah mengeluarkan perppu tentang itu. Alih-alih mendapat apresiasi, sebaliknya KPU akan justeru memperoleh hujatan dari banyak kalangan. Akibatnya, kredibilitas KPU akan semakin merosot di mata publik. Apalagi selama ini KPU dipandang kurang profesional sebagai penyelenggara pemilu dengan menumpuknya sejumlah persoalan terkait pemilu yang sampai hari ini masih belum diselesaikan.

Tidak Mutlak
Sulit dibantah bahwa usulan KPU di atas dilandasi oleh semangat untuk membela gerakan affirmative action bagi kaum perempuan. Selama ini istilah affirmative action seolah telah menjadi “mantra suci” bagi kalangan perempuan untuk membentuk masyarakat yang berkesetaraan jender. Dan kalangan laki-laki diminta untuk mendukung gerakan tersebut. Salah satu asumsi yang mendasarinya adalah selama sebuah masyarakat (Indonesia) masih didominasi oleh budaya patriarkhi, maka sulit bagi kaum perempuan untuk dapat eksis. Oleh karenanya, perlu diberikan “jalan khusus” bagi mereka. Keterwakilan perempuan sebanyak 30 persen di parlemen merupakan salah satu, kalau tidak boleh dikatakan puncak dari keberhasilan gerakan affirmative action tersebut.
Menurut hemat penulis, cara pandang yang sangat strukturalis tersebut di atas agaknya perlu dipertimbangkan ulang. Cara pandang seperti ini mengasumsikan bahwa struktur sosial (politik) lah yang lebih menetukan kehidupan masyarakat, sementara individu dianggap pasif atau tidak berdaya. Dalam konteks masyarakat yang menganut prinsip-prinspi libertarian seperti Indonesia pasca reformasi, cara pandang tersebut tidak lagi sesuai. Maka, betapapun secara struktur masyarakat kita masih didominasi kaum laki-laki, tetapi tidak berarti kaum perempuan sebagai individu menjadi tidak berdaya. Sebagai makhluk yang otonom, perempuan dapat eksis seperti halnya laki-laki.
Dan perlu pula diketahui bahwa sebenarnya di kalangan gerakan perempuan sendiri tidak semuanya sepaham dengan ketentuan keterwakilan perempuan sebanyak 30 persen. Ada sebagian dari mereka yang justeru menghendaki bertarung secara fair dengan kaum laki-laki, sebab mereka tidak ingin masuk ke dunia politik dengan mendapat cap tidak berani bersaing. Hanya saja media kurang banyak mengekspose kalangan tersebut. Karenanya, semangat affirmative action tersebut tidak perlu dipandang sebagai hal yang mutlak.
Dengan demikian, alih-alih mengharapkan usulan KPU tersebut diterima oleh pemerintah, para caleg perempuan sebaiknya mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk pertarungan yang riil dengan kaum laki-laki pada pemilu 2009 yang tinggal menyisakan waktu yang tidak lama lagi. Pendekatan-pendekatan yang lebih personal dengan konstituen perlu terus dibangun sehingga semakin terjalin kedekatan emosional dengan mereka. Dan yang lebih penting lagi adalah para caleg perempuan sudah seharusnya mencitrakan diri mereka sebagai caleg yang smart dan care terhadap berbagai isu yang berkembang di tengah masyarakat.
Akhirnya, inilah saatnya bagi para caleg perempuan untuk membuktikan diri kepada publik bahwa mereka pun sesungguhnya bisa eksis meski tidak mendapat “bantuan” dari pihak lain. Toh pada Pemilu 2004 lalu, Nurul Arifin, salah seorang caleg perempuan dari Partai Golkar, telah terbukti berhasil mengumpulkan suara terbanyak. Ia gagal melenggang ke senayan justeru karena nomor urut. Bukankah ini merupakan bukti yang jelas bahwa caleg perempuan sesungguhnya mampu bersaing dengan caleg laki-laki?

Kampanye Pejabat

Apresiasi tampaknya laik dialamatkan kepada pemerintah dalam kaitannya dengan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang mengatur tata cara kampanye yang dilakukan pejabat. Di dalamnya ditegaskan bahwa menteri yang melakukan kampanye harus mengundurkan diri. sementara pejabat negara yang merupakan representasi pemerintah di daerah (gubernur atau wakil gubernur) bila mengajukan diri sebagai capres harus dinonaktifkan.
Niat baik pemerintah tersebut agaknya merupakan sebuah langkah maju yang patut didukung oleh semua pihak. Betapa tidak, selama ini kampanye yang dilakukan pejabat kerap menimbulkan kontroversi, antara lain karena aturannya tidak dibuat secara tegas. Bahkan boleh dikatakan terlalu akomodatif terhadap kepentingan-kepentingan politik, terutama kalangan partai politik (parpol) yang menempatkan wakilnya di pemerintahan.

Mengeliminasi Konflik Kepentingan
Keharusan seorang menteri yang notabene pejabat negara untuk mengundurkan diri jika berkampanye merupakan conditio sine qua non dalam rangka penegakan sistem pemilu yang demokratis. Sebab jika tidak mengundurkan diri ia akan terjebak dalam konflik kepentingan antara kepentingan negara dan kepentingan pribadi juga parpol pengusungnya.
Oleh karena itu, kritik yang disampaikan berbagai pihak kepada pejabat yang melakukan kampanye selalu terfokus kepada kekhawatiran adanya penyalahgunaan fasilitas negara oleh pejabat bersangkutan ketika melakukan kampanye. Kritikan tersebut tentu saja sangat beralasan karena kita sering mendapatkan bahwa seorang pejabat di republik ini begitu mudah menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadinya. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari pun kita juga tampaknya telah terbiasa melihat fenomena seperti itu, seperti banyaknya mobil berplat merah yang digunakan di hari-hari libur atau di luar jam kerja, bukan hanya oleh yang bersangkutan, tetapi juga keluarganya.
Dalam konteks sistem kepartaian di Indonesia yang menganut sistem multipartai (multiparty sistem) keharusan seorang menteri untuk mengundurkan diri dari jabatannya jika berkampanye juga sangat tepat. Seorang menteri yang berasal dari parpol yang berbeda dengan parpol pengusung presiden tentu akan leluasa melakukan kampanye, bahkan apabila ia melancarkan kampanye menyerang (attacking campaign) terhadap kebijakan pemerintah jika tidak lagi menjabat. Tentu akan terasa ironis apabila ia melakukan hal tersebut sementara ia masih menjabat sebagai menteri. Padahal dalam konstitusi Indonesia disebutkan dengan jelas bahwa menteri adalah pembantu presiden. Tentulah tidak etis apabila seseorang yang merupakan bawahan mengkritik “bos”nya sendiri di depan publik.

Resistensi?
Sebuah kebijakan publik senantiasa diikuti oleh berbagai konsekwensi yang menyertainya baik positif maupun negatif. Jika RPP tentang tata cara kampanye pejabat ini telah resmi menjadi PP, maka yang pertama merasakan imbasnya adalah kalangan parpol yang menempatkan wakilnya di pemeritahan.
Bukan hal yang rahasia lagi di republik ini bahwa departemen-departemen yang dibawahi oleh para menteri merupan pos-pos pembagian “kue” bagi kalangan parpol. Seorang menteri yang berasal dari sebuah parpol kerapkali menjadikan departemennya itu sebagai “lumbung” yang siap dikuras isinya untuk kepentingan pendanaan kampanye parpol pengusungnya. Tentu ia tidak akan dapat melaukan hal itu lagi jika ia harus mengundurkan diri dari jabatannya sebagai menteri.
Selain itu, di Indonesia tidak dikenal tradisi pengunduran diri pejabat publik. Sampai saat ini kita hampir tidak pernah mendapatkan seorang pejabat yang mengundurkan diri apalagi setingkat menteri. Meskipun pengunduran diri karena alasan kampanye tidak akan menjatuhkan kredibilitasnya sebagai menteri karena memang tidak terkait dengan persoalan kecacatan dan sebagainya, tetapi bukan berarti hal itu bisa membuat seorang menteri rela untuk melakukan pengunduruan diri.
Penulis masih ragu para menteri yang berasal dari kalangan parpol akan menyambut baik klausul pengunduruan diri tersebut. Dengan realitas politik seperti tersebut di atas agaknya “tidaklah nyaman” bagi seorang menteri untuk mengundurkan diri dari jabatannya. Bukan tidak mungkin mereka akan memilih tetap memegang jabatannya tetapi diam-diam melakukan kampanye terselubung.

Oleh karena itu, RPP ini harus dibarengi dengan aturan yang memuat tentang sanksi yang tegas bagi yang melanggarnya. Tanpa adanya sanksi yang tegas pastilah aturan tersebut tidak akan berjalan seperti yang diharapkan. Celakanya itulah yang kerap terjadi di negara Indonesia selama ini. Sebuah aturan dibuat dengan begitu baik, tetapi ketika ada yang melanggarnya, tidak ada pemberian sanksi yang tegas, sehingga aturan tersebut seperti macan ompong.
Kita masih ingat, misalnya, aturan tentang keharusan parpol untuk memenuhi kuota 30 persen bagi para calegnya yang akan bertarung dalam Pemilu 2009. Ketika Daftar Pemilih Tetap (DPT) telah selesai diumumkan ke publik dan ditemukan bahwa tidak semua parpol memenuhi ketentuan tersebut, tidak ada sanksi yang diberikan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan alasan tidak ada aturan yang memuat pemberian sanksi tersebut.
Tentu saja kita tidak berharap hal tersebut akan menimpa pula pada RPP tentang tata cara kampanye pejabat yang diharapkan akan resmi menjadi PP paling lambat akhir Januari 2009 ini. Jika nanti ditemukan ada seorang menteri yang tidak mau mengundurkan diri tetapi secara diam-diam melakukan kampanye, pemerintah harus berani memberikan sanksi yang tegas.

Selasa, 06 Januari 2009

Perempuan dan Kepemimpinan Politik

Pendahuluan
Dalam lembaran sejarah Indonesia tercatat sejumlah tokoh perempuan yang pernah tampil sebagai pemimpin dalam maknanya yang luas, baik secara sosial, budaya, politik dan sebagainya. Di Jawa Tengah muncul Kartini dengan karyanya yang sangat terkenal, Habis gelap Terbitlah Terang (Door Duisternis Tot Licht), dan Dewi Sartika di Jawa Barat yang terkenal atas karya nyatanya dalam dunia pendidikan dengan mendirikan Sekolah Isteri. Di Aceh kita kenal Cut Nya Dien, seorang srikandi yang gagah berani memimpin pasukan untuk menentang penjajahan demi memperoleh kemerdekaan. Jauh sebelum kemerdekaan kita kenal seorang ratu yang sangat kesohor di Daha, Ratu Shima, dan di Kesultanan Pasai, Sultanah Safiat al-Din. Barangkali masih banyak para pionir perempuan yang laik disebutkan, tetapi tidak terekam dalam sejarah.
Dengan demikian, keterlibatan kaum perempuan di dalam ruang publik seperti politik telah mempunyai akar dalam sejarah Indonesia, tidak saja pada zaman pergerakan, melainkan sejak zaman pra-kemerdekaan atau masa kerajaan-kerajaan Hindu-Budha atau Islam. Dewasa ini keterlibatan kaum perempuan dalam ranah politik kian intensif apalagi didorong oleh pemerintah, antara lain dengan regulasi keharusan setiap parpol untuk menyertakan kuota 30 persen para calegnya dari kaum perempuan. Sehingga dapat diduga bahwa kaum perempuan akan semakin banyak menghiasi arena politik di negeri ini.
Persoalannya adalah apakah eskalasi keterlibatan kaum perempuan dalam politik yang didorong oleh regulasi tersebut benar-benar merupakan –sebagaimana yang ditegaskan H.A. Djadja Saefullah—sebuah penghormatan terhadap mereka ataukah sebaliknya merupakan pemaksaan? Dan bagaimana dengan persoalan-persoalan lainnya yang selama ini kerap menjadi kendala bagi kaum perempuan untuk memasuki ruang-ruang public, baik secara kultural maupun struktural? Tulisan sederhana ini ingin mencoba menjawab persoalan-persoalan tersebut dengan pertama-tama menganalisis secara teroretis-filosofis keterkaitan perempuan dan kepemimpinan politik, kemudian problem-problem yang membelenggunya baik kultural maupun struktural, dan terakhir adalah agenda-agenda sebagai tawaran solutif terhadap masalah tersebut.

Penghampiran Teoretis-Filosofis
Apakah perempuan dan kepemimpinan politik merupakan dua hal yang terkait atau terpisah adalah persoalan pokok yang akan dianalisis di sini. Secara teoretis-filosofis perempuan dan kepemimpinan politik sesungguhnya memiliki keterkaitan yang erat. Bahwa dalam praktik kaum perempuan seolah-olah tidak pernah bersentuhan dengan kepemimpinan politik, hal itu lebih disebabkan oleh realitas sosio-politik di Indonesia yang memang didominasi budaya patriarkhi.
Untuk memperjelas keterkaitan kaum perempuan dan kepemimpinan politik, pertama-tama akan diuraikan pengertian tentang kepemimpinan. Ada beberapa definisi tentang kepemimpinan yang relevan untuk dikemukan di sini. Di antaranya, kepemimpinan adalah seperangkat fungsi kelompok yang harus terjadi di dalam setiap kelompok jika kelompok itu harus berperilaku secara efektif untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan para anggotanya; atau kepemimpinan adalah proses ketika seorang individu secara konsisten menimbulkan lebih banyak pengaruh dari pada orang lain dalam melaksanakan fungsi-fungsi kelompok. Ralph M. Stogdill menguraikan bahwa kepemimpinan melibatkan proses kelompok, pengaruh kepribadian, seni meminta kerelaan, penggunaan pengaruh, persuasi, pencapaian tujuan, interaksi, peran-peran yang diperbedakan, dan pembentukan struktur dalam kelompok-kelompok.
Di samping masalah definisi konsep kepemimpinan, tampaknya penting juga untuk dikedepankan dalam tulisan ini tentang beberapa teori kepemimpinan. Paling tidak ada empat teori kepemimpinan yang dominan. Pertama, Teori Sifat Tersendiri, maksudnya adalah bahwa pemimpin berbeda dari massa rakyat karena mereka memiliki ciri atau sifat tersendiri yang sangat dihargai. Semua jenis pemimpin di dalam segala macam seting dan budaya memiliki sifat tersendiri ini. Suatu variasi dari masalah ini adalah Teori Orang Besar, yaitu bahwa orang yang memiliki keinginan, sifat, dan kemampuan istimewa muncul sewaktu-waktu dalam sejarah dan ditakdirkan untuk melakukan hal-hal yang besar seperti Napoleon, Gandhi, Yesus Kristus dan sebagainya. Variasi kedua adalah ada tiga jenis pemimpin yang keranjingan sifat-sifat tertentu yang membuatnya tersendiri: pertama, manusia ulung yang menghancurkan kaidah-kaidah tradisional dan menciptakan nilai-nilai baru bagi suatu bangsa, kedua, pahlawan yang mengabdikan dirinya untuk tujuan yang besar dan mulia, dan ketiga, pangeran yang termotivasi oleh hasrat untuk mendominasi pangeran-pangeran lainnya.
Teori kepemimpinan yang kedua adalah Teori Konstelasi Sifat. Menurut teori ini, pemimpin memiliki sifat-sifat yang sama dengan yang dimiliki oleh siapa pun, tetapi memadukan sifat-sifat ini dalam suatu sindrom kepemimpinan yang membedakannya dari orang lain. Oleh karena itu, misalnya, pemimpin itu bisa menonjol karena lebih tinggi, lebih besar, lebih bersemangat, lebih intelijen, percaya diri, tenang dan sebagainya. Yang ketiga adalah Teori Situasionalis yang berpendapat bahwa waktu, tempat dan keadaan menentukan siapa yang memimpin, siapa pengikut. Keempat adalah Teori Interaksi. Teori yang pada zamannya diterima secara luas ini menyebutkan bahwa kepemimpinan merefleksikan interaksi kepribadian para pemimpin dengan kebutuhan dan pengharapan para pengikut, karakteristik dan tugas kelompoknya, dan situasi.
Munculnya keempat teori kepemimpinan tersebut dapat dilihat sebagai bentuk dialektika pemikiran antara satu teori dengan yang lain. Teori yang pertama, yakni Teori Sifat Tersendiri, dikritik karena ada kesulitan untuk menemukan sifat tersendiri yang bersifat tunggal, atau sejumlah terbatas sifat yang membedakan, yang dimiliki oleh semua pemimpin di mana pun. Lalu muncul Teori Konstelasi Sifat yang intinya memadukan berbagai sifat kepemimpinan, tetapi inipun dikritik karena pemaduan sifat tersebut tidak menjamin peran kepemimpinan bagi seseorang dan sebaliknya.
Maka muncullah kemudian Teori Situasionalis yang berusaha menjawab persoalan di atas dengan mengacu kepada faktor-faktor yang menentukan kepemimpinan. Tetapi teori ini pun tidak lepas dari kririk, bahwa ia tidak mampu menerangkan beragamnya tipe kepemimpinan yang muncul dalam situasi yang berbeda atau mengapa dalam beberapa seting tidak dapat diidentifikasi pemimpin yang dapat dilihat. Kemudian Teori Interaksi berupaya menjembatani berbagai kekurangan teori di atas dengan berupaya menerangkan berbagai faktor yang pada umumnya bertalian dengan pendefinisian kepemimpinan, meskipun boleh jadi ini pun tidak akan lepas dari kritik dan koreksi.
Dari beberapa definsi dan teori tentang kepemimpinan di atas, dapat dikatakan bahwa perempuan sesungguhnya memiliki peluang yang sama dengan laki-laki untuk berkiprah dalam ranah politik sebagai pemimpin, karena semua definisi dan teori itu tidak membedakan status dan jenis kelamin seseorang. Justeru sifat, kepribadian dan situasi lah yang menentukan seseorang laik tidaknya untuk tampil sebagai seorang pemimpin, terlepas dari apakah ia seorang laki-laki atau perempuan. Memang contoh yang ditampilkan di atas, seperti dalam Teori Orang Besar, misalnya, berjenis kelamin laki-laki semua (Napoleon, Gandhi dan Yesus), tetapi hal itu tidak mengindikasikan bahwa perempuan tidak mungkin untuk menjadi seorang yang besar sebagai pemimpin. Mungkin saja contoh-contoh tersebut hanya lah faktor kebetulan saja, atau jangan-jangan? Ini merupakan sebuah rekayasa kaum laki-laki yang memiliki ideologi patriarki untuk mensubordinasikan kaum perempuan dengan cara mengeliminasi peran tokoh-tokoh perempuan yang pernah tampil dari lembaran sejarah.

Perempuan Sebagai Komunikator Politik
Tetapi apapun bentuknya perempuan dapat berperan aktif di dalam kepemimpinan. Dalam kepemimpinan politik, misalnya, sangat mungkin kaum perempuan untuk tampil sebagai komunikator-komunikator politik yang ulung. Kepemimpinan politik dan komunikasi politik memang mempunyai hubungan yang sangat erat. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa kepemimpinan secara umum timbul dari komunikasi. Maka, kepemimpinan politik muncul dari penyusunan bersama, pertukaran informasi, dan kepercayaan, nilai, serta pengharapan bersama atas politik melalui komunikasi politik. Dengan demikian, pemimpin politik adalah juga seorang komunikator politik.
Sebagaimana telah diketahui bahwa komunikator politik terdiri tiga kelompok utama, yaitu para politisi, kaum profesional dan aktivis. Merekala ini lah yang mampu tampil memainkan peran sebagai pemimpin politik, karena memiliki peluang untuk mempengaruhi opini publik. Bagaimanakah peluang kaum perempuan untuk dapat menampilkan dirinya sebagai komunikator politik? Di bawah ini sedikit tinjauan terhadap keterlibatan kaum perempuan di dalam ketiga peran komunikator politik tersebut, khususnya kaum perempuan Indonesia.

1. Politisi
Pembicaraan tentang politisi umumnya mengacu kepada orang-orang yang terlibat
aktif di dalam parlemen, entah melalui pemilihan umum atau pengangkatan. Untuk melihat sejauh mana keterlibatan kaum perempuan dalam politik ada baiknya di sini dikemukakan prosentase mereka yang aktif sebagai politisi di parlemen dari pelbagai wilayah dunia, diambil dari data-data Perserikatan Antar-Parlemen (Inter-Parliamentary Union, IPU) pada 1 Januari 1998 .

Wilayah Majelis Rendah atau
Tunggal Majelis Tinggi atau
Senat Gabungan Kedua
Majelis
Negara-negara
Nordik 35,9% - 35,9%
OSCE Eropa terma-
suk negara-negara
Nordik 14,3% 9,0% 13,2%
Amerika 13,5% 12,0% 13,2%
OSCE Eropa tidak
termasuk negara-
negara Nordik 12,3% 9,0% 11,5%
Afrika Sub-Sahara 11,1% 14,0% 11,3%
Pasifik 10,8% 21,8% 12,7%
Asia 9,7% 9,9% 9,7%
Negara-negara Arab 3,7% 1,1% 3,4%

Adapun di Indonesia prosentase keterlibatan kaum perempuan dapat dilihat pada tabel dibawah ini yang dibuat Yayasan Jurnal Perempuan Indonesia bekerja sama dengan International IDEA (International for Democracy and Electoral Assistance) di beberapa provinsi, yaitu:

Parlemen
Jumlah Kursi Parlemen Jumlah (%) Perempuan di
Parlemen
DPR Pusat 500 61 (12,2%)
DPRD DKI 75 12 (16%)
DPRD I Jawa Barat 100 12 (12%)
DPRD I Jawa Tengah 100 12 (12%)
DPRD I Jawa Timur 90 15 (16,7%)
DPRD Sumatera Utara 50 6 (12%)
Total
915 118 (12,9%)

Dari dua tabel di atas dapat disimpulkan bahwa betapapun masih kecilnya jumlah politisi perempuan di parlemen, mereka tetap mempunyai peluang untuk tampil sebagai komunikator politik yang ulung. Kemampuan seorang politisi perempuan dalam berkomunikasi politik sebenarnya tidaklah ditentukan oleh frekwensi jumlah mereka. Jika kita mengacu kepada teori-teori kepemimpinan yang telah disinggung di atas, maka yang justeru menentukan keberhasilan mereka adalah sifat-sifat kepemimpinan, kepribadian dan situasi. Bahwa kemudian sampai saat ini para politisi perempuan, misalnya di Indonesia, belum mampu tampil sebagai komunikator politik yang dominan, tentu ada pelbagai faktor yang menghambat mereka.


2. Profesional
Komunikator profesional adalah peranan sosial yang relatif baru, suatu hasil sampingan dari revolusi komunikasi yang sedikitnya mempunyai dua dimensi utama: munculnya media massa yang melintasi batas-batas rasial, etnis, pekerjaan, wilayah dan kelas untuk meningkatkan kesadaran identitas nasional, serta perkembangan media khusus (majalah untuk khalayak khusus, stasiun radio, dan sebagainya) yang menciptakan publik baru untuk menjadi konsumen informasi dan hiburan. Berbeda halnya dengan politisi yang menjadikan politik sebagai sumber nafkahnya, para profesional menggantungkan hidupnya pada komunikasi, baik di dalam maupun di luar politik.
Baik media massa maupun media khusus mengandalkan pembentukan dan pengelolaaan lambang-lambang dan khalayak khusus. Dalam konteks inilah para komunikator profesional dapat memainkan perannya. Merekalah yang mengendalikan ketrampilan yang khas dalam mengolah simbol-simbol dan yang memanfaatkan ketrampilan ini untuk menempa mata rantai yang menghubungkan orang-orang yang jelas perbedaannya atau kelompok-kelompok yang dibedakan.
Seorang komunikator profesional bisa disebutkan juga seorang makelar simbol, orang yang menerjemahkan sikap, pengetahuan, dan minat suatu komunitas bahasa ke dalam istilah-istilah komunitas bahasa yang lain yang berbeda tetapi menarik dan dapat dimengerti. Ia mampu menghubungkan golongan elit dalam organisasi atau komunitas mana pun dengan khalayak umum; secara horizontal ia menghubungkan dua komunitas bahasa yang dibedakan pada tingkat struktur sosial yang sama.
Dari paparan di atas mengenai komunikator profesional tampaknya keterlibatan perempuan dalam masalah di Indonesia boleh dikatakan sangat sedikit. Memang banyak perempuan Indonesia yang bekerja sebagai wartawan, reporter, penyiar berita dan sebagainya, tetapi jarang sekali, untuk tidak mengatakan tidak pernah ada, yang menekuni dunia komunikasi sebagai komunikator profesional.

3. Aktivis
Aktivis sebagai komunikator politik dalam hubungannya dengan saluran organisasional dan interpersonal terbagi ke dalam dua jenis. Pertama, juru bicara bagi kepentingan yang terorganisir. Pada umumnya ia tidak memegang ataupun mencita-citakan jabatan pada pemerintahan, tetapi cukup terlibat baik dalam politik maupun komunikasi sehingga dapat disebut aktivis politik dan semiprofesional dalam komunikasi politik. Kedua, pemuka pendapat, adalah orang yang biasa dimintasi petunjuk dan informasi tentang, misalnya, pembuatan keputusan yang bersifat politik. Ia sering kali sangat mempengaruhi keputusan orang lain, atau meyakinkan orang lain kepada cara berpikirnya.
Sebagaimana halnya komunikator profesional, keterlibatan kaum perempuan Indonesia sebagai aktivis komunikasi politik masih sangat minim. Kita memang pernah mempunyai juru bicara kepresidenan dari kalangan perempuan, yaitu Dewi Fortuna Anwar, pada masa Presiden BJ Habibie. Tetapi, hal itu berlangsung sangat singkat, sehingga tidak mewariskan sebuah tradisi kepada periode berikutnya.
Dengan demikian, keterlibatan perempuan Indonesia sebagai komunikator politik utama, baik politisi, profesional dan aktivis, masih sangat memprihatinkan. Kalau kita melihat kepada peluang, sesungguhnya kaum perempuan tidak beda dengan lawan jenisnya, bahkan dalam hal-hal tertentu mereka lebih mempunyai kwalifikasi sebagai komunikator profesioanl. Keadaan yang menyedihkan ini tentu saja tidak bisa dilepaskan dari problem-problem yang membelenggu diri mereka selama ini.

Penghampiran Dunia Prakss: Beberapa Problem
Sebagaimana telah disinggung di awal bahwa minimnya keterlibatan kaum perempuan di dalam politik dalam berbagai aspeknya adalah karena banyaknya problem yang mengungkungi mereka. Secara garis besar, problem-problem tersebut dikelompokkan ke dalam dua bagian. Pertama, problem kultural yang menyangkut teologi, adat, persepsi dan sebagainya. Kedua, problem struktural yang sangat berkaitan dengan politik atau tepatnya rekayasa politik.

1. Kultural
Problem kultural yang ingin disoroti pertama kali adalah persoalan teologis. Semua ajaran teologi pada umumnya membelenggu perempuan untuk terjun di dalam wilayah-wilayah publik, seperti politik, dengan mengharuskannya berkonsentrasi pada wilayah-wilayah privat, semisal keluarga. Sesungguhnya pendapat ini berasal dari kesalahpahaman (jangan-jangan rekayasa kaum patriakrki) atas ajaran agama. Dalam agama Islam, misalnya, ayat tentang “laki-laki adalah pemimpin kaum perempuan” dan hadis yang berbunyi “Tidak akan makmur suatu kaum yang mempercayakan urusan-urusan mereka kepada seorang perempuan” begitu mempengaruhi para perempuan Muslimat. Namun dewasa ini banyak pakar dari kalangan Muslim sendiri yang membantah pemahaman keliru itu. Kedua ajaran agama di atas sebenarnya berlaku secara kontekstual-situasional, bukan sebagai ajaran universal.
Selain teologi, masalah tradisi juga sangat mempengaruhi keterkungkungan perempuan dari bidang politik. Kenyataan bahwa perempuan sebaiknya menjadi orang rumah, atau dalam tradisi Jawa, peran perempuan yang hanya terbatas di dapur, sumur dan kasur, juga masih tampak kental terasa di masyarakat kita..Akibatnya, ketika mereka ingin terlibat aktif dalam politik sebagai anggota parlemen misalnya, akan merasa bersalah karena, dalam beberapa hal, sering meninggalkan keluarga. Ungkapan sejumlah politisasi perempuan di parlemen kita, yaitu “Jika aktivitas saya di DPR membuat suami dan keluarga terlantar, saya memilih berhenti menjadi anggota DPR”.
Juga yang tak kalah pentingnya adalah adanya semacam persepsi di kalangan perempuan bahwa dunia politik adalah dunia laki-laki dan dunia yang kotor . Oleh karena itu perempuan tidak pantas untuk berkecimpung di dalamnya, kecuali ingin tergelincir ke dalam kekotoran tersebut.
Problem-problem kultural ini tentu saja terus dicari upaya pemecahannya. Para ahli teologi, khususnya dari kalangan modernis yang mempunyai pandangan yang progresif, berusaha keras untuk meluruskan kesalahpahaman tersebut. Para feminis Muslimat seperti Fatima Mernisi, Rifa’at Hasan dan lain sebagainya melakukan pelbagai penafsiran ulang terhadap ajaran-ajaran yang dipandangnya sangat menyudutkan kaum perempuan. Kalangan aktivis feminisme di Indonesia juga tidak ketinggalan untuk melakukan pelbagai upaya perberdayaan kaum perempuan dari kungkungan problem kultural ini. Meskipun sejauh ini upaya tersebut baru sedikit menampakkan keberhasilan, tetapi sebagai langkah awal, dapat dianggap sebagai suatu tindakan yang positif, sehingga paling tidak menanamkan benih harapan bagi keterlibatan kaum perempuan di dalam wilayah-wilayah publik secara lebih luas lagi.

2. Struktural
Dibandingkan dengan kultural, problem struktural jauh lebih kompleks dan sangat menyudutkan posisi perempuan, karena kaitannya yang sangat erat dengan rekayasa politik dan politik budaya kaum patriarki demi melanggengkan dominasi mereka terhadap kaum perempuan. Pelbagai upaya mereka lakukan untuk mengucilkan kaum perempuan dari panggung-panggung politik, sehingga makin terpencil dalam ruang-ruang yang sepi dan hampa.
Di bawah ini akan disinggung sejumlah persoalan yang berkaitan dengan problemn struktural antara lain:
Pertama, konstruksi sosial seksualitas. Dalam wacana feminisme pembedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan tidak hanya dipandang sebagai pembagian secara fisik-biologis semata. Lebih dari pada itu, menurut Julia I. Suryakusuma, pembedaan jenis kelamin itu merupakan suatu bentuk interaksi sosial. Karena itu, ia adalah cermin nilai-nilai masyarakat, adat, agama, lembaga-lembaga besar seperti negara, dan hubungan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan. Dengan kata lain, ia merupakan suatu konstruksi sosial.
Konstruksi sosial inilah yang kemudian dilanggengkan oleh para ideolog kaum patriarki dalam berbagai aspek. Dalam bidang sosial-politik, misalnya, perempuan diberi peran pada wilayah privat dan laki-laki wilayah publik. Dalam dunia pendidikan, sejak masih dini sudah ditanamkan di benak anak-anak didik pembedaan secara konstruksi sosial ini; Ibu menanak nasi, bapak membaca koran (tidak pernah ada ungkapan “Ibu membaca koran”), Ibu pergi ke pasar Bapak pergi ke kantor dan seterusnya. Demikian pula dalam aspek-aspek lainnya, konstruksi sosial tersebut begitu kuat mencekoki semua orang, terutama kaum perempuan, sehingga sulit keluar dari bayang-bayang ideologis itu.
Kedua, maskulinitas politik. Ini merupakan bentuk pelanggengan dominasi kaum laki-laki terhadap wilayah-wilayah publik. Kehidupan politik diorganisir sesuai dengan norma-norma dan nilai-nilai laki-laki, dan dalam beberapa kasus, bahkan gaya hidup laki-laki. Sebagai contoh, model politik didasarkan kepada ide tentang “menang dan kalah”, kompetesi dan konfrontasi adalah lebih baik dibandingkan dengan saling menghormati, kolaborasi dan penciptaan konsensus.
Maskulinitas politik itu kemudian diejawantahkan ke dalam pola kerja yang nyata-nyata sangat berpihak kepada kaum laki-laki. Di pihak lain, kaum perempuan tampak tidak berdaya karena lemahnya struktur yang mendukung mereka di dalam bekerja. Pada akhirnya mereka sangat bersusah payah untuk menyeimbangkan antara kehidupan keluarga dengan tuntutan kerja yang sering menyita waktu, perjalanan dan beberapa fasilitas. Tidak heran, kalau banyak perempuan merasa tidak nyaman berkecimpung dalam dunia politik.
Ketiga, marginalisasi kaum perempuan dari politik. Sistem politik dengan ideologi apa pun seringkali mengucilkan atau memarjinalkan perempuan dari politik formal. Kaum perempuan yang populasinya tercatat setengah dari penduduk dunia ini ternyata hanya menempati 5-10% posisi formal kepemimpinan di bidang politik. Kenyataan ini membuat para pemerhati feminisme bertanya-tanya mengapa persoalan representasi etnis dan ras tertentu dianggap faktor yang penting dalam pembentukan sebuah kabinet dalam suatu negara sedangkan representasi kaum perempuan dianggap tidak begitu penting bahkan diabaikan.

Agenda: Sebuah Tawaran Solutif
Melihat beberapa problem baik yang bersifat kultural maupun structural yang menghalangi keterlibatan kaum perempuan di dalam ruang-ruang publik, tampaknya diperlukan sebuah strategi untuk mencoba mencari solusi atau jalan keluarnya. Menurut hemat penulis, solusi pertama yang harus dikedepankan, --meminjam istilah yang sering dipergunakan oleh kaum post-modernis-- adalah dekonstruksi, yakni meruntuhkan semua teori dan persepsi tentang perempuan yang sedemikian bias jender. Tetapi tidak berhenti hanya pada dekonstruksi, melainkan harus dilanjutkan dengan upaya rekonstruksi, penyusunan kembali puing-puing dari teori dan persepsi yang bias jender itu menjadi sesuatu yang sangat berwawasan keadilan dan kesetaraan jender.
Barangkali contoh sederhananya adalah tentang konstruksi sosial pembagian peran laki-laki dan perempuan. Laki-laki harus bekerja, perempuan bertugas mengasuh anak di rumah. Persepsi ini mesti dibongkar atau didekonstruksi, karena ia merupakan konstruksi sosial yang dibangun oleh kaum patriarki. Kemudian persepsi ini direkonstruksi bahwa laki-laki dan perempuan boleh sama-sama bekerja meskipun di luar rumah. Di sini tampak bahwa ada kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam hal bekerja. Tentu saja wawasan kesetaraan jender ini bisa ditarik ke dalam berbagai aspek kehidupan, sosial, politik, ekonomi, pendidikan dan sebagainya. Dalam kasus Indonesia, upaya seperti ini agaknya sudah cukup berjalan dengan baik, meskipun memang perlu terus dikembangkan lagi semaksimal mungkin.
Solusi kedua adalah upaya pemberdayaan (empowering) kaum perempuan. Inti dari upaya ini adalah menanamkan kesadaran di kalangan perempuan bahwa ada ketidakadilan yang terus menerus menimpa dan membelenggu mereka, sehingga mereka melek dan peduli terhadap masalah itu dan pada gilirannya mampu keluar dari belenggu tersebut. Upaya pemberdayaan ini harus terus menerus dilakukan, karena problem-problem yang mengungkung mereka sudah sedemikian tertanam kuat. Oleh karena itu, peran lembaga-lembaga swadaya masyarakat sangat diperlukan dalam konteks ini. Apa yang dilakukan oleh Yayasan Jurnal Perempuan dengan penelitian tentang Aspirasi Perempuan Anggota Parlemen terhadap Pemberdayaan Politik Perempuan merupakan sesuatu yang patut diberikan pujian.
Pemberdayaan perempuan juga tidak mesti ditargetkan kepada kwantitas kaum perempuan di dalam politik formal, tetapi lebih pada upaya menciptakan kesadaran akan kesetaraan jender. Kesetaraan jender sejatinya dipahami dan dipraktekkan oleh semua kalangan, baik laki-laki maupun perempuan. Apalah artinya jumlah keterlibatan perempuan dalam politik, jika tidak dibarengi oleh concern dan kepedulian terhadap persoalan-persoalan yang menimpa kaum sesamanya. Sebaliknya, akan sangat terpuji jika kaum laki-laki mampu mewujudkan suatu kebijakan politik yang sangat berwawasan jender, misalnya, pembuatan pola kerja dalam bidang politik dan bidang-bidang lainnya yang adaptif bagi kaum perempuan.

Kesimpulan
Dalam sejarah Indonesia keterlibatan kaum perempuan di dalam ruang-ruang publik seperti sosial, budaya, politik dan sebagainya telah mempunyai akar sejak sebelum dan semasa kemerdekaan RI dengan tampilnya beberapa tokoh perempuan sebagai pemimpin. Tetapi dalam perkembangannya, problem-problem yang menimpa kaum perempuan tersebut banyak bermunculan baik yang bersifat kultural (menyangkut teologi, kebiasaan dan persepsi) maupun struktural (rekayasa sosial-politik oleh kaum patriarki), sehingga mereka seolah-olah terbelenggu dalam jaring laba-laba yang kokoh dan kuat. Namun demikian, upaya untuk menerobos jaring laba-laba itu terus menerus dilakukan, khususnya oleh para aktivis perempuan, meskipun masih belum mencapai hasil yang maksimal.
Apapun keadaannya keterlibatan perempuan sebagai pemimpin politik atau komunikator politik sebenarnya masih terbuka betapapun banyak rintangan yang menghadangnya. Mereka bisa saja berkecimpung sebagai politisi di parlemen, komunikator professional, aktivis dan sebagainya. Apalagi pada masa reformasi atau pasca runtuhnya rejim Orde Baru pemerintah mencoba memberikan dukungan terhadap keterlibatan kaum perempuan dalam politik dengan regulasi keharusan setap parpol menyertakan kuota 30 persen para calegnya dari kaum perempuan. Tentu kesempatan tersebut harus dimanfaatkan sedemikian rupa dengan terus menerus meningkatkan kualitas individual dari kaum perempuan itu sendiri, sehingga regulasi tersebut benar-benar menjadi sebuah penghormatan bagi mereka.





DAFTAR PUSTAKA


Anis Muhammad, Qasim Ja’far, Perempuan dan Kekuasaan Menelusuri Hak Politik dan Persoalan Gender dalam Islam (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998)
Kalam, Azza, Perempuan di Parlemen Bukan Sekedar Jumlah, Bukan Sekedar Hiasan (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan dan International IDEA, 1999)
Mernissi, Fatima, Le Harem Politique Le Prophete et Les Femmes (Rabat: Societe Marocaine des Editeurs reunis, 1983)
Mernissi, Fatima, Menengok Kontroversi Peran Perempuan dalam Politik (Surabaya: Dunia Ilmu, 1997)
Nimmo, Dan, Komunikasi Politik, Komunikator, Pesan dan Media (Bandung: CV Remaja Rosdakarya, 1999), Cet. Ke-5.
Saefullah, H.A. Djadja, Penghormatan atau Pemaksaan?, Harian Pikiran Rakayat, 2008.
Soepardjo Roestam, kardinah, Perempuan, Martabat dan Pembangunan (Jakarta: Forum Pengembangan Keswadayaan, 1993).
Subandy Ibrahim, Idi dan Hanif Suranto, Perempuan dan Media Konstruksi Ideologi Gender dalam Ruang Publik Orde Baru (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1998).
Wardani, Sri Eko Budi, Gadis Arivia, Aspirasi Anggota Parlemen terhadap Pemberdayaan Politik Perempuan (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan dan International IDEA, 1999).
Majalah Prisma, No. 7 Tahun XX, Juli 1991