Rabu, 28 Januari 2009

Kampanye Pejabat

Apresiasi tampaknya laik dialamatkan kepada pemerintah dalam kaitannya dengan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang mengatur tata cara kampanye yang dilakukan pejabat. Di dalamnya ditegaskan bahwa menteri yang melakukan kampanye harus mengundurkan diri. sementara pejabat negara yang merupakan representasi pemerintah di daerah (gubernur atau wakil gubernur) bila mengajukan diri sebagai capres harus dinonaktifkan.
Niat baik pemerintah tersebut agaknya merupakan sebuah langkah maju yang patut didukung oleh semua pihak. Betapa tidak, selama ini kampanye yang dilakukan pejabat kerap menimbulkan kontroversi, antara lain karena aturannya tidak dibuat secara tegas. Bahkan boleh dikatakan terlalu akomodatif terhadap kepentingan-kepentingan politik, terutama kalangan partai politik (parpol) yang menempatkan wakilnya di pemerintahan.

Mengeliminasi Konflik Kepentingan
Keharusan seorang menteri yang notabene pejabat negara untuk mengundurkan diri jika berkampanye merupakan conditio sine qua non dalam rangka penegakan sistem pemilu yang demokratis. Sebab jika tidak mengundurkan diri ia akan terjebak dalam konflik kepentingan antara kepentingan negara dan kepentingan pribadi juga parpol pengusungnya.
Oleh karena itu, kritik yang disampaikan berbagai pihak kepada pejabat yang melakukan kampanye selalu terfokus kepada kekhawatiran adanya penyalahgunaan fasilitas negara oleh pejabat bersangkutan ketika melakukan kampanye. Kritikan tersebut tentu saja sangat beralasan karena kita sering mendapatkan bahwa seorang pejabat di republik ini begitu mudah menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadinya. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari pun kita juga tampaknya telah terbiasa melihat fenomena seperti itu, seperti banyaknya mobil berplat merah yang digunakan di hari-hari libur atau di luar jam kerja, bukan hanya oleh yang bersangkutan, tetapi juga keluarganya.
Dalam konteks sistem kepartaian di Indonesia yang menganut sistem multipartai (multiparty sistem) keharusan seorang menteri untuk mengundurkan diri dari jabatannya jika berkampanye juga sangat tepat. Seorang menteri yang berasal dari parpol yang berbeda dengan parpol pengusung presiden tentu akan leluasa melakukan kampanye, bahkan apabila ia melancarkan kampanye menyerang (attacking campaign) terhadap kebijakan pemerintah jika tidak lagi menjabat. Tentu akan terasa ironis apabila ia melakukan hal tersebut sementara ia masih menjabat sebagai menteri. Padahal dalam konstitusi Indonesia disebutkan dengan jelas bahwa menteri adalah pembantu presiden. Tentulah tidak etis apabila seseorang yang merupakan bawahan mengkritik “bos”nya sendiri di depan publik.

Resistensi?
Sebuah kebijakan publik senantiasa diikuti oleh berbagai konsekwensi yang menyertainya baik positif maupun negatif. Jika RPP tentang tata cara kampanye pejabat ini telah resmi menjadi PP, maka yang pertama merasakan imbasnya adalah kalangan parpol yang menempatkan wakilnya di pemeritahan.
Bukan hal yang rahasia lagi di republik ini bahwa departemen-departemen yang dibawahi oleh para menteri merupan pos-pos pembagian “kue” bagi kalangan parpol. Seorang menteri yang berasal dari sebuah parpol kerapkali menjadikan departemennya itu sebagai “lumbung” yang siap dikuras isinya untuk kepentingan pendanaan kampanye parpol pengusungnya. Tentu ia tidak akan dapat melaukan hal itu lagi jika ia harus mengundurkan diri dari jabatannya sebagai menteri.
Selain itu, di Indonesia tidak dikenal tradisi pengunduran diri pejabat publik. Sampai saat ini kita hampir tidak pernah mendapatkan seorang pejabat yang mengundurkan diri apalagi setingkat menteri. Meskipun pengunduran diri karena alasan kampanye tidak akan menjatuhkan kredibilitasnya sebagai menteri karena memang tidak terkait dengan persoalan kecacatan dan sebagainya, tetapi bukan berarti hal itu bisa membuat seorang menteri rela untuk melakukan pengunduruan diri.
Penulis masih ragu para menteri yang berasal dari kalangan parpol akan menyambut baik klausul pengunduruan diri tersebut. Dengan realitas politik seperti tersebut di atas agaknya “tidaklah nyaman” bagi seorang menteri untuk mengundurkan diri dari jabatannya. Bukan tidak mungkin mereka akan memilih tetap memegang jabatannya tetapi diam-diam melakukan kampanye terselubung.

Oleh karena itu, RPP ini harus dibarengi dengan aturan yang memuat tentang sanksi yang tegas bagi yang melanggarnya. Tanpa adanya sanksi yang tegas pastilah aturan tersebut tidak akan berjalan seperti yang diharapkan. Celakanya itulah yang kerap terjadi di negara Indonesia selama ini. Sebuah aturan dibuat dengan begitu baik, tetapi ketika ada yang melanggarnya, tidak ada pemberian sanksi yang tegas, sehingga aturan tersebut seperti macan ompong.
Kita masih ingat, misalnya, aturan tentang keharusan parpol untuk memenuhi kuota 30 persen bagi para calegnya yang akan bertarung dalam Pemilu 2009. Ketika Daftar Pemilih Tetap (DPT) telah selesai diumumkan ke publik dan ditemukan bahwa tidak semua parpol memenuhi ketentuan tersebut, tidak ada sanksi yang diberikan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan alasan tidak ada aturan yang memuat pemberian sanksi tersebut.
Tentu saja kita tidak berharap hal tersebut akan menimpa pula pada RPP tentang tata cara kampanye pejabat yang diharapkan akan resmi menjadi PP paling lambat akhir Januari 2009 ini. Jika nanti ditemukan ada seorang menteri yang tidak mau mengundurkan diri tetapi secara diam-diam melakukan kampanye, pemerintah harus berani memberikan sanksi yang tegas.

Tidak ada komentar: