Rabu, 28 Januari 2009

Tentang Hak Kursi Ketiga

Baru-baru ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengajukan usulan kepada pemerintah tentang pemberian kursi ketiga bagi caleg perempuan, bahkan aturan teknisnya telah pula diselesaikan. Dengan demikian, jika pemerintah nanti menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu), maka aturan tersebut segera ditetapkan.
Pemberian kursi ketiga bagi caleg perempuan tersebut hanya berlaku bagi partai politik (parpol) yang memperoleh tiga kursi di satu daerah pemilihan (dapil). Jika pemenang ketiga kursi itu laki-laki, maka kursi urutan ketiga harus diberikan kepada perempuan. Caleg perempuan yang berhak mengisi adalah peraih suara terbanyak di antara caleg perempuan.

Kontroversial
Tidak diragukan lagi bahwa usulan KPU tersebut di atas merupakan reaksi terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi (MK). Sebagaimana telah diketahui bahwa MK mengabulkan uji materi Undang-Undang (UU) No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum (Pemilu), yaitu pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e yang berimplikasi pada digantinya sistem penetapan calon anggota legislatif pada Pemilu 2009 dari nomor urut ke suara terbanyak.
Di antara pertimbangan MK atas keputusan tersebut adalah bahwa ketentuan pasal 214 huruf a, b, c, d dan e UU No. 10/2008 yang menyatakan bahwa calon anggota legislatif terpilih adalah calon yang mendapat suara di atas 30 persen dari bilangan pembagi pemilih (BPP) atau menempati nomor urut lebih kecil, dinilai bertentangan secara substantif dengan prinsip keadilan sebagaimana diatur dalam pasal 28 ayat 1 UUD 1945. Dengan kata lain, MK ingin mengembalikan kedaulatan kepada rakyat sebagai pemilik yang sebenarnya dalam kehidupan demokrasi.
Oleh karena itu, pemberian kursi ketiga kepada caleg perempuan dapat dipandang tidak sejalan dengan semangat demokrasi (baca: kedaulatan rakyat) yang diusung keputusan MK. Alasan yang dikemukan KPU bahwa usulannya itu tidak bertentangan dengan penentuan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak, hanya karena ketentuan tentang keterwakilan perempuan sebanyak 30 persen tidak dihapus agaknya sulit diterima, atau boleh dikatakan mengada-ngada.
Sementara di kalangan caleg perempuan sendiri usulan KPU tersebut tidak sepenuhnya direspons dengan antusias. Malah ada sebagian caleg perempuan yang menganggap hal tersebut sebagai sikap setengah-setengah, atau sekadar menunjukkan keberpihakan KPU yang sebagian diisi oleh perempuan kepada caleg perempuan. Sebab realitas di lapangan di lapangan sulit bagi sebuah parpol untuk mendapatkan tiga kursi di satu daerah pemilihan apalagi dengan jumlah partai yang begitu besar.
Oleh karena itu, sebaiknya KPU tidak perlu memaksakan diri dengan meminta pemerintah mengeluarkan perppu tentang itu. Alih-alih mendapat apresiasi, sebaliknya KPU akan justeru memperoleh hujatan dari banyak kalangan. Akibatnya, kredibilitas KPU akan semakin merosot di mata publik. Apalagi selama ini KPU dipandang kurang profesional sebagai penyelenggara pemilu dengan menumpuknya sejumlah persoalan terkait pemilu yang sampai hari ini masih belum diselesaikan.

Tidak Mutlak
Sulit dibantah bahwa usulan KPU di atas dilandasi oleh semangat untuk membela gerakan affirmative action bagi kaum perempuan. Selama ini istilah affirmative action seolah telah menjadi “mantra suci” bagi kalangan perempuan untuk membentuk masyarakat yang berkesetaraan jender. Dan kalangan laki-laki diminta untuk mendukung gerakan tersebut. Salah satu asumsi yang mendasarinya adalah selama sebuah masyarakat (Indonesia) masih didominasi oleh budaya patriarkhi, maka sulit bagi kaum perempuan untuk dapat eksis. Oleh karenanya, perlu diberikan “jalan khusus” bagi mereka. Keterwakilan perempuan sebanyak 30 persen di parlemen merupakan salah satu, kalau tidak boleh dikatakan puncak dari keberhasilan gerakan affirmative action tersebut.
Menurut hemat penulis, cara pandang yang sangat strukturalis tersebut di atas agaknya perlu dipertimbangkan ulang. Cara pandang seperti ini mengasumsikan bahwa struktur sosial (politik) lah yang lebih menetukan kehidupan masyarakat, sementara individu dianggap pasif atau tidak berdaya. Dalam konteks masyarakat yang menganut prinsip-prinspi libertarian seperti Indonesia pasca reformasi, cara pandang tersebut tidak lagi sesuai. Maka, betapapun secara struktur masyarakat kita masih didominasi kaum laki-laki, tetapi tidak berarti kaum perempuan sebagai individu menjadi tidak berdaya. Sebagai makhluk yang otonom, perempuan dapat eksis seperti halnya laki-laki.
Dan perlu pula diketahui bahwa sebenarnya di kalangan gerakan perempuan sendiri tidak semuanya sepaham dengan ketentuan keterwakilan perempuan sebanyak 30 persen. Ada sebagian dari mereka yang justeru menghendaki bertarung secara fair dengan kaum laki-laki, sebab mereka tidak ingin masuk ke dunia politik dengan mendapat cap tidak berani bersaing. Hanya saja media kurang banyak mengekspose kalangan tersebut. Karenanya, semangat affirmative action tersebut tidak perlu dipandang sebagai hal yang mutlak.
Dengan demikian, alih-alih mengharapkan usulan KPU tersebut diterima oleh pemerintah, para caleg perempuan sebaiknya mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk pertarungan yang riil dengan kaum laki-laki pada pemilu 2009 yang tinggal menyisakan waktu yang tidak lama lagi. Pendekatan-pendekatan yang lebih personal dengan konstituen perlu terus dibangun sehingga semakin terjalin kedekatan emosional dengan mereka. Dan yang lebih penting lagi adalah para caleg perempuan sudah seharusnya mencitrakan diri mereka sebagai caleg yang smart dan care terhadap berbagai isu yang berkembang di tengah masyarakat.
Akhirnya, inilah saatnya bagi para caleg perempuan untuk membuktikan diri kepada publik bahwa mereka pun sesungguhnya bisa eksis meski tidak mendapat “bantuan” dari pihak lain. Toh pada Pemilu 2004 lalu, Nurul Arifin, salah seorang caleg perempuan dari Partai Golkar, telah terbukti berhasil mengumpulkan suara terbanyak. Ia gagal melenggang ke senayan justeru karena nomor urut. Bukankah ini merupakan bukti yang jelas bahwa caleg perempuan sesungguhnya mampu bersaing dengan caleg laki-laki?

Tidak ada komentar: