Selasa, 08 Desember 2009

Mengawal Pansus Angket Century

Sidang Paripurna DPR RI pada Selasa 1 Desember kemarin mensahkan dan menyetujui usulan 503 anggota Dewan untuk membentuk Panitia Khusus (Pansus) Angket Century. Sesuai azas proporsionalitas, Pansus beranggotakan 30 orang dengan komposisi sebagai berikut: Partai Demokrat 8 orang, Partai Golkar 6 orang, PDIP 5 orang, PKS 3 orang, PAN 2 orang, PPP 2 orang, PKB 2 orang, serta Gerindra dan Hanura 1 orang.
Yang menjadi pertanyaan banyak kalangan adalah akankah Pansus Angket Century ini berjalan dengan mulus dalam mengungkap dan membongkar misteri seputar dana talangan (bailout) bagi Bank Centruy berikut dugaan aliran dana tersebut ke berbagai pihak? Ataukah akan ada tangan-tangan siluman yang berupaya sekuat tenaga untuk mengganjalnya dengan, misalnya, membelokkan substansi masalah kepada hal lain yang lebih prosedural dan teknis?

Soliditas
Terbentuknya Pansus Angket Century sejatinya merupakan pertanda baik bagi citra DPR di mata publik dengan catatan jika Pansus mampu melakukan perannya sesuai dengan ekspektasi publik. Oleh karena itu, terbentuknya Pansus tersebut menjadi semacam ujian bagi soliditas, khususnya para inisiator awal Hak Angket Century tersebut.
Dari segi kuantitas penandatangan Angket Century memang cukup menjanjikan, bahkan tercatat yang terbesar dalam sejarah Hak Angket di Dewan selama ini. Seperti yang diungkapkan Maruar Sirait, inisiator dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, dua minggu lalu berjumlah 139 orang, sementara jam 2 siang (Selasa kemarin) sudah mencapai 357 orang kemudian sore harinya telah bertambah menjadi 503 orang. Dengan jumlah seperti itu seharusnya Pansus tidak perlu ragu dalam melakukan tugasnya.
Namun demikian, sejumlah pihak masih banyak yang meragukan soliditas Pansus Angket Century tersebut. Hal ini dapat dimaklumi mengingat realitas politik yang ada di Dewan, termasuk yang tercermin di dalam Pansus. Sebagaimana diketahui bahwa para inisiator berasal dari partai yang berbeda-beda, dan bukan tidak mungkin jika masing-masing mempunyai target politiknya sendiri-sendiri, misalnya, antara partai oposisi seperti PDIP, Gerindra dan Hanura dengan partai pendukung koalisi semisal PKS, PAN, PPP dan PKB.
Kita tidak tahu persis apakah, misalnya, PDIP, yang paling pertama menyuarakan kasus ini, memiliki target politik tertentu, apakah sekadar ingin mengungkapkan kebenaran ataukah ada target politik lain dalam jangka panjang seperti meruntuhkan citra SBY di mata publik, bahkan jika ini menjadi liar, bisa jadi pemakzulan Presiden menjadi target berikutnya. Sementata partai lain, semisal PKS, mungkin saja targetnya sekadar memperkuat bargaining position dengan Presiden sehingga jika sewaktu-waktu ada reshuffle kabinet kadernya akan selamat. Perbedaan ini tentu akan mengganggu soliditas Pansus.
Ancaman terhadap soliditas Pansus Angket Century yang menerapkan azas proporsionalitas dalam komposisinya juga bisa muncul dari sejauhmana soliditas partai koalisi pendukung SBY di parlemen yang dimotori Partai Demokrat. Jika soliditas koalisi kuat, cukup berat bagi Pansus untuk melakukan tugasnya. Mereka memiliki senjata yang cukup ampuh, yakni kontrak politik antara mereka dengan SBY. Dengan modal kontrak politik itu Demokrat sebagai pengusung SBY akan menagih janji komitmen partai koalisi. Dengan demikian, masuknya Demokrat dalam Pansus di waktu-waktu terakhir dapat dibaca sebagai gelagat untuk “menjinakkan“ Pansus.
Pada saat yang sama Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II diisi oleh kader-kader dari partai koalisi pendukung, bahkan sebagian dari mereka masih menjabat sebagai ketua umum partai sampai hari ini. Oleh karena itu, kekhawatiran sejumlah pihak ketika orang-orang partai mengisi kursi kabinet bahwa akan ada konflik kepentingan (conflict of interest) agaknya akan terbukti dalam Pansus tersebut. Sanggupkah, misalnya, kader PAN di dalam Pansus tetap kritis padahal elite partai ini, Hatta Radjasa, yang disinyalir sebagai calon kuat Ketua Umum PAN, duduk sebagai Menko Perekonomian dan sebelumnya menjadi Ketua Tim Sukses SBY-Boediono?
Bahkan PDIP yang notabene memainkan peran oposisi dan tidak memiliki kader di kabinet pun masih memiliki persoalan dengan posisi Taufik Kiemas (TK) sebagai Ketua Umum MPR. Sebagaimana diketahui, TK memiliki hutang budi kepada SBY dengan pemberian dukungan Partai Demokrat kepada TK sehingga ia terpilih sebagai Ketua Umum MPR. Tentu saja hal ini bisa pula dijadikan salah satu senjata Demokrat untuk melobi PDIP.
Dengan demikian, akan terjadi perang soliditas versus soliditas. Yang pertama soliditas Pansus Angket Century dan yang kedua soliditas koalisi pendukung SBY. Soliditas mana yang lebih kuat, itulah yang memiliki peluang untuk menang.

Pengawalan Publik
Dari catatan di atas tampak ada kekhawatiran bahwa ancaman terhadap soliditas Pansus Angket Century akan menguat seiring dengan berjalannya waktu. Oleh karena itu, pengawalan dari publik menjadi suatu keharusan. Kunjungan Tim 9 sebagai inisiator kepada sejumlah tokoh nasional perlu dimaknai sebagai kesediaan Dewan untuk terus dipantau oleh publik.
Pengawalan publik ini begitu urgen karena pengalaman buruk pansus-pansus DPR sebelumnya. Salah satu yang perlu dipantau adalah “serangan Istana” seperti yang terjadi pada masa Gus Dur. Pansus begitu ngotot, namun ketika Istana menawarkan kursi kabinet melalui reshuffle ada di antara anggota Pansus yang terlihat nyambangin Istana. Hal seperti ini tentu tidak boleh terjadi pada Pansus Angket Century, karena kemungkinan ke arah sana cukup terbuka.
Sebagai publik kita harus terus menyuarakan bahwa Dewan, melalui Pansus ini, sesungguhnya sedang mempertaruhkan kredibilitasnya di mata publik. Jika mereka main-main dengan perannya atau hanya sekadar mencari popularitas, tentu kredibilitas mereka akan anjlok. Pansus harus membuktikan bahwa mereka memang kredibel sebagai wakil rakyat.
Oleh karena itu, kita berharap anggota Pansus Angket Century tidak akan mudah, meminjam istilah inisiator, “masuk angin”, dalam mengemban tugas yang berat ini.

Menakar Peluang Golkar di Jabar

Irianto M.S. Syaifuddin yang dikenal dengan Yance akhirnya terpilih sebagai Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Tingkat I Partai Golkar Jawa Barat. Pemilihan yang berlangsung cukup lancar tersebut dilakukan dalam Musyawarah Daerah (Musda) VIII Golkar Jabar yang diselenggarakan di Ballroom Hotel Savoy Homann Bandung, Senin (30/11).
Figur dan prestasi
Kemenangan Yance sebagai Ketua DPD Golkar Jabar mengalahkan dua pesaingnya yang tersisa di tahapan akhir, yaitu Eldie Suwandie, anggota DPR RI, dan Dada Rosada, Wali Kota Bandung, tak pelak lagi merupakan kemenangan figur Yance yang kini menjabat Bupati Indramayu untuk periode kedua.
Sosok Yance di kalangan masyarakat Jawa Barat, khususnya Indramayu sangat populer karena berbagai kebijakannya yang mengena di hati masyarakat Indramayu seperti yang tecermin dalam sejumlah peraturan daerah. Meskipun ada perda yang tidak lepas dari kritikan dari sejumlah pihak, tetapi masyarakat Indramayu terus memberikan dukungan kepadanya.
Contohnya, perda tentang madrasah diniyah. Salah satu isinya, APBD berkewajiban untuk mengalokasikan anggaran tetap untuk madrasah diniyah. Perda ini semula dianggap bertabrakan dengan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Moh. Ma`ruf, Nomor 903/2429/SJ tanggal 21 September 2005 tentang Pedoman Penyusunan APBD 2006 dan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD 2005. Surat ini berisikan larangan pengalokasian anggaran dari APBD untuk pendidikan agama. Akan tetapi, akhirnya masalah itu dapat diselesaikan dengan baik dan Yance pun mendapat respons positif dari masyarakat.
Yance juga dikenal sebagai tokoh yang diakui di tingkat nasional bahkan internasional. Yance pernah diberikan kesempatan berbicara di University of Colombia, Amerika Serikat, dan diundang ke Filipina untuk menjadi pembicara di depan gubernur, wali kota se-Filipina beberapa waktu lalu. Torehan prestasi Yance begitu konkret, seperti suara Golkar tetap unggul di Indramayu padahal hampir di semua daerah di Jabar mengalami penurunan. Kandidat lain belum teruji prestasinya dalam membesarkan partai, sekalipun dalam rekam jejak kepemerintahan cukup berhasil, seperti terlihat dari figur Dada Rosada.
Kedua hal, yakni figur dan prestasi seperti yang dimiliki Yance harus dijadikan modal sosial dan politik yang berharga bagi kader-kader Golkar di Jabar untuk kembali meningkatkan harkat dan martabat partai ini. Dalam konteks sistem pemilu yang berlaku di Indonesia sekarang, jalinan figur dan prestasi merupakan dua hal yang saling mendukung.
Langkah ke depan
Penyelenggaraan Musda Golkar Jabar sesungguhnya dilangsungkan dalam suasana keprihatinan yang cukup mendalam bagi partai beringin ini pasca kekalahannya baik dalam Pemilu Legislatif (Pileg) maupun Pemilu Presiden (Pilpres). Wilayah Jabar yang biasanya menjadi lumbung perolehan suara Golkar pada pemilu-pemilu lalu, pada Pemilu 2009 mengalami kemerosotan tajam.
Ungkapan Yance sesaat setelah terpilih, "Innalillahi wa inna ilaihi rajiun", tampaknya merepresentasikan keprihatian tersebut. Ia juga menegaskan, keterpilihannya sebagai ujian berat untuk mengembalikan kejayaan Golkar, khususnya di Jabar.
Ada beberapa hal yang hendaknya dipertimbangkan Yance dan segenap pengurus baru DPD Golkar Jabar. Pertama, konsolidasi internal pasca-Musda. Setiap berakhir suatu pemilihan yang tidak lepas dari aksi penggalangan tim pendukung, selalu ada residu kekalahan yang jika tidak dikelola dengan baik berpotensi menimbulkan friksi internal. Namun, Yance sudah bertekad merangkul berbagai pihak termasuk kalangan yang tidak mendukungnya pada saat pemilihan guna membesarkan partai beringin.
Kedua, membangun komunikasi yang baik dengan DPD/DPC se-Jabar, antarsesama DPD dan juga dengan DPP. Bagaimanapun isu yang sempat berembus menjelang pemilihan bahwa Ketua Umum DPP Golkar, Aburizal Bakrie, tidak menghendaki Yance lolos menjadi Ketua DPD Jabar karena pada Munas VIII Golkar di Riau kemarin tidak mendukungnya, harus menjadi catatan. Memang isu ini tidak cukup terbukti di dalam Musda kemarin, tetapi bukan berarti kemungkinan ke arah itu hilang sama sekali.
Ketiga, menularkan prestasi. Prestasi Yance sebagai kader Golkar tak terbantahkan. Dengan prestasinya itu, Golkar pun menjadi terangkat seperti terbukti dengan kemenangan mutlak partai ini pada pemilu kemarin. Oleh karena itu, torehan prestasi yang membanggakan Golkar itu selayaknya ditularkan Yance kepada segenap kader Golkar di wilayah Jabar sehingga sama-sama bisa berprestasi.
Jika berbagai prestasi mampu ditorehkan oleh para kader Golkar di Jabar, terutama yang sedang menduduki jabatan publik, peluang untuk meraih kembali kejayaan Golkar di Jabar sangat terbuka.***
Penulis, kandidat doktor Ilmu Komunikasi Unpad Bandung dan Deputi Direktur Bidang Politik the Political Literacy Institute.