Kamis, 22 September 2011

Pancasila dan Sokoguru Demokrasi (Politika, Jurnal Nasional 25 Mei 2011)

Pembicaraan tentang pentingnya Pancasila dengan segenap nilai-nilainya dalam konteks kehidupan kebangsaan dan kenegaraan beberapa waktu belakangan ini ramai diangkat di berbagai forum. Pancasila, yang sejak masa reformasi hingga saat ini seolah telah terpinggirkan dalam dinamika kehidupan negeri ini, kini agaknya mulai dirindukan kembali kehadirannya.

Realitas ini tampaknya dipicu oleh berbagai peristiwa di bumi Indonesia yang memperlihatkan dengan gamblang betapa masyarakat di republik ini telah kehilangan jiwa Pancasilanya. Berbagai fenomena kekerasan dan tindakan anarkis di kalangan masyarakat Indonesia yang dalam derajat tertentu kerap mengakibatkan korban jiwa merupakan petanda betapa nilai-nilai humanisme yang diusung Pancasila tidak lagi menjadi spirit kehidupan mereka.

Dan fenomena yang paling mutakhir dan sekaligus sangat mengkhawatirkan adalah munculnya gerakan radikalisme antara lain organisasi Negara Islam Indonesia (NII) yang telah berhasil “menyeret” sebagian masyarakat Indonesia. Ideologi yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan mendirikan negara Islam ini jelas-jelas bertentangan dengan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara. Ideologi NII bahkan disinyalir telah memasuki ranah pendidikan, baik pada tingkah sekolah maupun perguruan tinggi, yang notabene diisi generasi muda penerus bangsa, sehingga ini merupakan ancaman yang sangat serius.

Dari berbagai peristiwa di atas timbullah kembali kesadaran di kalangan sebagian masyarakat Indonesia bahwa Pancasila sesungguhnya sangat diperlukan oleh masyarakat Indonesia untuk menangkal berbagai macam ancaman yang justeru berasal dari kalangan internal sendiri.



“Korban” Reformasi

Sebagaimana diketahui bahwa sejak runtuhnya rejim Orde Baru yang ditandai dengan lengsernya Presiden Soeharto pada Mei 1998 berbagai hal yang terkait dengan rejim ini diubah sedemikian rupa. Mulailah bangsa Indonesia memasuki era reformasi yang melakukan banyak perubahan fundamental, baik yang menyangkut kehidupan ketatanegaraan maupun kehidupan politik secara umum.

Salah satu hal yang menjadi “korban” reformasi tersebut adalah Pancasila dan hal-hal yang terkait dengannnya. Jika di masa Orde Baru Indonesia memiliki Badan Pembina Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) yang bertugas untuk mengatur dan mengoordinasikan kegiatan sosialisasi Pancasila dari pusat sampai daerah, maka lembaga tersebut kini telah dihapuskan.

Begitu pula penyelenggaraan penataran Pedoman, Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) baik di kalangan perguruan tinggi maupun masyarakat dihapus. Bahkan mata kuliah seperti Filsafat Pancasila, Kewiraan untuk tingkat perguruan tinggi dan Pendidikan Moral Pancasila (PMP) untuk tingkat sekolah juga dihapus. Yang tersisa adalah Civic Education untuk kalangan kampus dan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) untuk anak-anak sekolah.

Para pengusung reformasi melihat dengan jelas berbagai penyimpangan dalam pelaksanaan Pancasila. Proses penanaman nilai-nilai Pancasila, misalnya, dilakukan secara indoktrinatif yang menekankan komunikasi satu arah (one way communication) sehingga masyarakat hanya sekadar menerima secara apa adanya (taken for granted) tanpa diberikan peluang untuk melakukan kritisisme. Tidak ada proses dialogis apalagi perdebatan seru.

Sementara pada level kehidupan kebangsaan dan kenegaraan, Pancasila digunakan penguasa-penguasa Orde Baru sebagai alat politik untuk menakuti-nakuti warga demi melanggengkan kekuasaan mereka. Penguasa Orde Baru, misalnya, dengan mudah memberikan cap atau label kepada orang-orang yang tidak disukainya sebagai anti Pancasila atau tidak Pancasilais.

Realitas seperti inilah yang tampaknya dipandang oleh para pengusung reformasi sebagai bentuk penyimpangan sehingga Pancasila kemudian tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang esensial. Maka sejak era reformasi pembicaraan-pembicaraan tentang Pancasila jarang terdengar seolah raib dari benak masyarakat Indonesia. Namun setelah reformasi berlangsung selama tiga belas tahun suara kerinduan masyarakat terhadap Pancasila kembali menguat.



Sokoguru Demokrasi

Pertanyaannya adalah masihkah Pancasila relevan untuk kehidupan politik Indonesia yang kini dianggap sebagai negara demokrasi terbesar ketiga setelah AS dan India? Dengan kata lain, bagaimanakah sebenarnya memosisikan Pancasila dengan demokrasi yang telah menjadi pilihan bangsa Indonesia?

Menurut hemat penulis, demokrasi yang berasal dari Barat (kapitalisme-liberal) justeru harus diadaptasikan dengan ruang di mana demokrasi itu ingin diterapkan sehingga terjadi kontekstualisasi demokrasi. Untuk kasus Indonesia yang heterogen, dari segi agama, suku, bahasa dan sebagainya, Pancasila sesungguhnya merupakan pilihan paling pas sehingga bisa menjadi sokoguru demokrasi untuk dikontekstualisasikan di negeri ini.

Kelima sila yang terdapat di dalam Pancasila kalau dibedah satu persatu jelas bisa menjadi spirit demokrasi, terutama untuk diterapkan di negara Indonesia. Ketuhanan atau spiritualitas, kemanusiaan atau humanisme, keragaman, musyawarah dan keadilan adalah prinsip utama dari demokrasi. Jika kelima prinsip tersebut mampu diejawantahkan oleh segenap elemen bangsa, besar kemungkinan berbagai kasus kekerasan, radikalisme dan sebagainya tidak akan terjadi di republik ini.

Yudi Latif dalam bukunya Negara Paripurna Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila (2011) secara tegas mengatakan bahwa Pancasila merupakan jatidiri kebangsaan Indonesia, karena itu upaya pencarian terhadap akar sejarah bangsa, dalam hal ini dengan menggali kembali nilai Pancasila, harus terus dilakukan. Tidak ada satupun negara yang dapat maju kecuali bangsa yang bisa menemukan kembali jatidirinya dengan menggali kembali akar-akar sejarah bangsanya. Pengalaman-pengalaman bangsa lain seperti Eropa yang berakar pada perdebatan filsuf Yunani Kuno, India dengan salah satu karya monumentalnya “Rewriting India” pada 1979 dan Jepang dengan akar restorasi Meiji sesungguhnya bisa menjadi inspirasi yang berharga.

Maka, sudah saatnya bagi bangsa Indonesia untuk merevitalisasi dan mereaktualisasikan nilai-nilai Pancasila sebagai akar kebangsaan negeri ini sehingga ia akan menjadi sokoguru dari demokrasi yang tengah berlangsung. Namun, tentu upaya tersebut harus dilakukan dengan formulasi dan metode baru yang berbeda dengan yang pernah dilakukan rejim Orde Baru. Menurut penulis, setidaknya ada tiga hal yang perlu ditekankan dalam konteks ini.

Pertama, pengkajian dalam rangka menggali akar kebangsaan Indonesia di dalam Pancasila mesti dilakukan secara ilmiah sehingga pemahaman-pemahaman yang muncul bersifat rasional. Bung Karno sebagai pencetus Pancasila pada 1 Juni 1945 sendiri sebenarnya sampai pada pemikiran brilian tersebut melalui penelusuran ilmiah. Maka, sudah bukan masanya lagi memandang Pancasila sebagai mitos yang dianggap suci atau keramat sehingga mengakibatkan ketakutan bagi siapapun yang hendak mengkajinya seperti di masa lalu.

Kedua, menjadikan Pancasila sebagai ideologi terbuka yang memungkinkan adanya tafsiran yang tidak seragam. Kesalahan Orde Baru adalah mencoba melakukan hegemonisasi makna dengan penafsiran tunggal terhadap Pancasila, sehingga penafsiran yang benar hanyalah versi pemerintah. Supaya tidak terjadi lagi hal seperti itu, maka proses penanaman ideologi Pancasila untuk saat sekarang harus bersifat dialogis dan terbuka.

Ketiga, seandainya pun diperlukan lembaga seperti BP7 untuk sosialiasi Pancasila dan pilar kebangsaan lainnya, maka tugasnya tidak lagi bersifat sentralistik dari pusat sampai daerah. Cukuplah BP7 sebagai koordinator, sementara daerah diberikan keleluasaan untuk melakukan tugasnya. Yang paling penting, jangan sampai lembaga ini menjadi penafsir tunggal terhadap Pancasila karena itu akan menjadi awal penyimpangan.

Dengan demikian, kalau Pancasila ditempatkan pada posisinya yang tepat dan diperlakukan secara tepat pula, maka ia akan menjadi sokoguru demokrasi yang saat ini telah menjadi pilihan seluruh anak bangsa.

Tidak ada komentar: