Senin, 04 Mei 2009

Membaca Langkah Politik Kalla

Spekulasi tentang sikap politik Partai Golkar menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) Juli 2009, akhirnya terjawab. Ketua Umum Partai Golkar Muhammad Jusuf Kalla (JK) secara resmi meminang Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) Wiranto, untuk menjadi cawapresnya. Pasangan ini, kemudian mendeklarasikan diri sebagai pasangan capres-cawapres pertama.

Meskipun berduetnya JK dengan Wiranto telah banyak diperkirakan banyak kalangan, tak urung hal ini memunculkan sejumlah pertanyaan. Pasalnya, setelah Rapat Pimpinan Nasional Khusus (Rapimnassus) Partai Golkar yang merekomendasikan JK sebagai capres, suara-suara yang menentang keputusan tersebut dari kalangan internal partai santer terdengar. Bahkan, ada sejumlah elite partai ini yang terang-terangan berbicara di media massa tentang penentangan tersebut.

Apakah pencalonan JK bersama Wiranto, dilandasi pertimbangan politik yang benar-benar rasional dan matang, sehingga peluangnya untuk menang cukup besar? Ataukah ada skenario lain yang tengah dimainkan JK, misalnya, demi mengganjal pasangan capres-cawapres tertentu?

Peluang

Bagaimana peluang duet JK-Wiranto, jika nanti betul-betul mendaftarkan diri sebagai pasangan yang siap bertarung pada Pilpres 2009? Ada beberapa hal yang dapat dijadikan modal pasangan ini untuk kompetisi Juli mendatang. Pertama, komposisi sipil-militer antara JK dan Wiranto. Bagaimanapun komposisi ini masih menjadi yang ideal dalam konteks politik Indonesia. Perpaduan sipil-militer telah terbukti, banyak didukung rakyat Indonesia, seperti yang telah diperlihatkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-JK.

Kedua, selain memperlihatkan komposisi sipil-militer, pasangan ini juga memadukan dua suku, yaitu Jawa dan non-Jawa. Setali tiga uang komposisi Jawa-non-Jawa, juga masih menjadi pilihan banyak rakyat Indonesia. JK tampaknya sangat menyadari realitas politik tersebut. Akhirnya, ia merasa harus mencari pendampingnya dari suku Jawa. Wiranto dianggap sebagai pilihan yang tepat dari tokoh-tokoh yang ada.

Ketiga, kesediaan Wiranto untuk "turun derajat" dari capres menjadi cawapres, pada satu sisi akan memberikan pembelajaran politik bagi rakyat, sekalipun hal itu dilatarbelakangi oleh realitas politik yang sulit menjadikannya sebagai capres, karena perolehan partainya pada pileg kemarin, tidak sampai menembus angka 5 persen. Setidaknya, rakyat akan menilai bahwa ada tokoh nasional yang bersedia menurunkan ego politik pribadinya, ketika sebagian besar justru memperlihatkan keegoannya, seperti yang terlihat pada penjajagan koalisi antarparpol.

Namun demikian, kelemahan duet JK-Wiranto juga cukup banyak. Pertama, tingkat popularitas dan elektabilitas JK dan Wiranto sangat rendah, seperti yang terlihat dari berbagai survei belakangan ini.

Kedua, mesin politik Partai Golkar dan Hanura agaknya masih diragukan, untuk dapat meningkatkan popularitas pasangan ini dalam waktu singkat.

Ketiga, citra Wiranto yang sering dikait-kaitkan dengan berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Indonesia, juga akan berpengaruh terhadap rendahnya kredibilitas pasangan ini.

Pertaruhan JK

Bagi JK, langkahnya menggandeng Wiranto untuk menjadi pasangan capres-cawapres akan membawa konsekuensi politik tersendiri. Menurut sebagian kader partai beringin ini, JK dipandang telah mengangkat harga diri partai dengan berani mencalonkan diri sebagai capres. Namun, sebagian kader berpikiran sebaliknya, JK dianggap mau "bunuh diri" karena peluangnya sangat kecil untuk mengalahkan SBY.

Belakangan ini memang beredar isu, ada skenario yang hendak "menjerumuskan" JK secara halus. JK dibiarkan mencalonkan diri sebagai capres. Jika kalah, ia akan dimintai pertanggungjawabannya pada munaslub. Ujung-ujungnya Kalla akan diturunkan sebagai ketua umum partai.

Akan tetapi, ada pula yang membaca langkah politik JK dari sudut berbeda. JK sebenarnya menyadari bahwa ia akan kalah pada pilpres, tetapi ia bersedia terus maju sekadar untuk memecah pendukung seterunya. Jika pilpres nanti berlangsung dua putaran, ia akan memberikan suaranya pada pasangan yang ia dukung (Megawati dan pasangannya). Dalam konteks ini, koalisi besar di parlemen yang ditandatangani empat partai besar, yakni PDIP, Golkar, Gerindra, Hanura, dan sejumlah partai kecil dapat dipahami. Jika kalah, JK masih bisa berharap dapat "perlindungan" dari koalisi besar di parlemen tersebut.

Dari kedua pembacaan terhadap langkah politik JK tersebut, semuanya mengandung pertaruhan politik yang sangat berisiko bagi JK. Itulah ongkos politik yang mesti dibayar. ***

Penulis, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Komunikasi Unpad Bandung dan Deputi Direktur Bidang Politik the Political Literacy Institute.

Tidak ada komentar: