Selasa, 26 November 2013

Reposisi Peran Parpol Islam, Koran Sindo Rabu 27/11

Reposisi Peran Parpol Islam Iding R. Hasan* Hampir semua partai-partai politik (parpol) Islam atau berbasis massa Islam menolak dikotomi antara Islam versus nasionalis dalam konteks politik Indonesia masa kini. Dikotomisasi inilah yang sebenarnya telah mereduksi Islam, karena seolah-olah parpol yang berlabel Islam tidak nasionalis, dan begitu pula sebaliknya. Padahal dalam kenyataannya kalangan nasionalis justeru banyak lahir dari rahim Islam. Tokoh-tokoh Islam sendiri tersebar di banyak parpol lain, seperti Demokrat, Golkar, PDIP dan lain-lain. Dengan kian cairnya sekat ideologis antar parpol Islam dan nasionalis, maka menjadi tidak relevan lagi dalam konteks sekarang untuk mewacanakan koalisi antar parpol Islam. Selain PPP, parpol-parpol Islam lainnya seperti PKS, PKB bahkan PBB bahkan menolak tegas koalisi tersebut karena pada gilirannya justeru akan mengentalkan kembali dikotomisasi Islam-nasionalis. Padahal para pemilih hari ini tidak lagi tertarik untuk melihat partai dari identitas ideologisnya. Seorang petinggi PKS, Fachri Hamzah, dalam seminar tentang Prospek Parpol Islam di Pemilu 2014 di UIN Jakarta (22/11), misalnya, menegaskan bahwa kian cairnya perbedaan ideologis tersebut menuntut kita untuk meredefinisi parpol Islam. Pendefinisian Islam yang kental dengan ideologis di masa lalu terjadi karena memang pada saat itu parpol Islam berhadapan vis a vis dengan parpol-parpol yang secara jelas menonjolkan ideologinya seperti PKI dan PNI. Dengan demikian, tidak selayaknya parpol Islam sekarang dipandang secara kaku seperti dulu. Pada kenyataannya parpol-parpol yang ada saat ini tidak lagi menonjolkan sisi ideologis dalam konteks seperti di atas. Bahkan banyak kalangan menilai bahwa identitas kepartaian (party identity) di Indonesia semakin tidak jelas atau sangat cair. Orang makin tidak dapat mengidentifikasi lagi mana pendukung partai A atau B karena cairnya identitas kepartaian tersebut. Dalam konteks ini, pengentalan ideologis parpol-parpol menjadi hal yang kontraproduktif. Reposisi Peran Membangun koalisi antar parpol Islam saat ini, seperti ditegaskan Marwan Ja’far, salah seorang elite PKB, selain bisa mengentalkan kembali dikotomi Islam-nasionalis, juga bukan tidak mungkin kian memperburuk citra politik Islam itu sendiri. Bagaimanapun sejarah parpol Islam sering diwarnai dengan konflik dan perpecahan internal. Keluarnya NU dari Masyumi, yang ketika itu sebagai wadah aspirasi politik Islam, dan kemudian NU menjadi partai tersendiri merupakann salah satu contoh nyata yang tak terbantahkan. Pada masa Orde Baru ketika partai-partai Islam berfusi menjadi PPP juga tidak pernah lepas dari konflik internal apalagi fusi itu dilakukan secara “terpaksa” akibat politik penyederhanaan partai oleh pemerintah. Faksi-faksi yang terdapat di dalam partai berlambang Ka’bah seperti NU, MI dan lainnya kerap berselisih dalam sejumlah hal. Di awal reformasi ketika parpol-parpol kembali ke jati dirinya masing-masing akibat liberalisasi politik juga tidak sepi dari konflik. Memang pada Pemilu 1999 sempat melakukan gebrakan dengan membuat koalisi poros tengah yang cukup berhasil, tetapi pada akhirnya juga melahirkan konflik baru. Sampai saat ini PKB yang merasa dikhianati poros tengah agaknya belum dapat melupakannya. Karena itu, alih-alih membangun koalisi yang memperlihat rekam jejak (track record) kurang menguntungkan di masa lalu, justeru yang mesti dilakukan parpol-parpol Islam sekarang adalah bagaimana menjalankan fungs-fungsi kepartaian dengan baik. Harus diakui bahwa fungsi-fungsi parpol mulai dari rekrutmen, agregasi, sosialisasi, komunikasi politik dan sebagainya di kalangan parpol-parpol Islam masih kalah jauh dari parpol-parpol besar. Tidak ada figur-figur menonjol di kalangan parpol Islam yang cukup marketable untuk bersaing di Pemilu 2014, yang notabene merupakan salah satu faktor rendahnya perolehan suara parpol Islam dalam berbagai hasil survei belakangan ini, dapat ditutupi apabila fungsi kepartain berjalan secara maksimal. Dengan kata lain, institusionalisasi kepartaian harus mendapatkan prioritas utama dalam mengatasi kemandegan parpol Islam. Dalam konteks ini, menurut hemat penulis, parpol-parpol Islam harus berani melakukan reposisi perannya sebagai parpol. Maksudnya adalah dalam melakukan peran dan fungsi kepartaiannya di tengah-tengah masyarakat, parpol-parpol Islam tidak mesti terbatasi pada hal-hal yang bernuansa kepentingan Islam. Membangunkan masjid, misalnya, tentu tidak ada yang menolak kalau itu merupakan perbuatan baik, tetapi hendaknya parpol Islam tidak hanya terfokus pada masalah itu saja. Tampaknya apa yang dilakukan PKS cukup berhasil dalam upayanya melakukan reposisi peran tersebut. Baru-baru ini, misalnya, kader PKS yang berada di kementerian sosial menyumbangkan bantuan berupa bibit babi kepada masyarakat non-Islam di daerah Bali. Boleh jadi sebagian orang Islam heran dengan tindakan tersebut terutama karena melihat babinya yang notabene merupakan hewan yang diharamkan dalam agama Islam. Tetapi justeru dengan terobosan ini PKS berusaha keluar dari peran kepartaian Islam yang sempit, dan ini boleh jadi akan menjadi nilai lebih bagi PKS di masa yang akan datang. Pada saat yang sama parpol-parpol Islam juga harus piawai dan cerdas dalam merespons isu ke tengah-tengah masyarakat. Dalam hal ini, isu-isu yang berkaitan langsung dengan kebutuhan ril masyarakat secara umum, baik muslim maupun non-muslim, harus menjadi prioritas perhatian mereka. Sangat disayangkan hingga saat ini jarang sekali elit-elite parpol Islam yang kerap berbicara ke publik, misalnya, tentang isu HAM, ekonomi kerakyatan, masalah kesejahteraan kaum buruh, nasib para TKI di luar negeri dan sebagainya. Karena itu, parpol-parpol Islam harus berani keluar dari perannya sebagai penyuara kepentingan Islam an sich, melainkan kepentingan rakyat dan bangsa secara keseluruhan. Jika langkah ini yang terus dilakukan, optimisme pun dapat disematkan di tubuh parpol Islam. Setidaknya pada Pemilu 2014 parpol-parpol Islam tidak akan tenggelam. *Penulis adalah Dosen Komunikasi Politik FISIP UIN Jakarta dan Deputi Direktur The Political Literacy Institute,

Tidak ada komentar: