Minggu, 10 November 2013

UU "Ramah" Korupsi (PR Senin, 11/11/13)

Baru-baru ini publik Tanah Air dikejutkan oleh pemberitaan tentang rencana diberikannya uang pensiun bagi kalangan mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Yang lebih mengherankan lagi adalah mereka yang terlibat kasus korupsipun bahkan yang sudah menjadi terpidana seperti Muhammad Nazaruddin dan Angelina Sondakh tetap mendapatkan uang pensiun. Wajar saja jika reaksi publik kemudian sangat keras terhadap keinginan lembaga legislatif tersebut. Hampir semua kalangan mengungkapkan bahwa sangatlah tidak layak seorang pejabat negara yang hanya beberapa saat saja bekerja lalu mendapatkan uang pensiun selama hidupnya. Apalagi jika sang pejabat tersebut selama dalam pekerjaannya terbukti melakukan korupsi untuk memperkaya dirinya. Sayangnya, para wakil rakyat tersebut tampaknya tetap bergeming dengan keinginannya itu. Terlalu Legalistik Alasan DPR untuk memberikan uang pensiun bagi anggota-anggotanya adalah karena ada aturan mengenai hal tersebut. Seperti diketahui bahwa aturan tentang uang pensiun anggota DPR tertera dalam Pasal 12 hingga 21 UU No 12 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan/Administrasi Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara serta Bekas Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara. Atas dasar inilah semua mantan anggota DPR termasuk yang sudah menjadi terpidana sekalipun mendapatkan uang pensiun. Apalagi sampai saat ini tidak ada UU yang mengatur secara khusus mengenai pemberian sanksi misalnya dengan melarang pemberian uang pensiun bagi angota DPR yang jelas-jelas terpidana korupsi. Bahkan dalam UU No 27 Tahun 2009 atau yang dikenal UU MD3 juga tidak terdapat pelarangan tersebut. Namun sebenarnya jika para anggota DPR peka terhadap aspirasi dan memiliki empati terhadap kehidupan mereka, tidak semestinya para wakil rakyat yang terhormat itu terlalu mengedepankan aspek prosedural atau legalistik dalam kasus ini. Betul bahwa secara legal formal dimungkinkan bagi mereka termasuk terpidana korupsi untuk mendapatkan uang pensiun, tetapi apakah hal ini tidak menciderai rasa keadilan masyarakat. Ini yang tampaknya tidak dijadikan pertimbangan oleh mereka. Menurut hemat penulis, seyogianya para anggota DPR mengedepankan keadilan subtantif setiap kali menangani kasus-kasus seperti ini bahkan kasus hukum secara keseluruhan. Secara substantif, orang yang sudah nyata-nyata melakukan tindak pidana korupsi apalagi ia pejabat negara seperti anggota DPR, maka ia telah mengkhianati konstitusi sekaligus menodai amanah yang diberikan rakyat kepadanya. Tentu saja sangat tidak pantas kalau orang seperti ini tetap diberikan uang pensiun. Bahkan bila perlu ia harus mengembalikan uang yang diterima dari negara selama ini. Revisi UU Oleh karena itu, satu hal yang mendesak untuk segera dilakukan adalah merevisi UU yang jelas-jelas sangat ramah terhadap praktik korupsi di negeri ini. Bahkan pemberian uang pensiun bagi mantan anggota DPR sekalipun tidak terlibat tindak pidana korupsi sebenarnya dianggap banyak kalangan sebagai hal yang tidak tepat. Beberapa waktu lalu hal ini pernah juga menjadi perdebatan publik, tetapi karena para anggota DPR seperti biasanya sangat ngotot untuk urusan kesejahteraan diri mereka, aturan tersebut tetap berjalan. Padahal sebagai pejabat negara yang bertugas dalam waktu yang singkat bahkan ada yang hanya separuh dari masa tugasnya yang lima tahun karena di-PAW-kan oleh fraksinya, sungguh tidak masuk akal jika kemudian mendapatkan uang pensiun yang bakal diterimanya sepanjang hidupnya. Sementara gaji dan fasilitas yang mereka terima selama masa tugasnya sangat besar. Bandingkan dengan para Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang sangat lama masa tugasnya dengan gaji dan fasilitas yang secukupnya. Tetapi karena para anggota DPR lebih mengedepankan aspek legal-formal ketimbang aspek substantif, maka satu-satunya cara adalah dengan merevisi UU No 12 Tahun 1980 dan UU No 27 Tahun 2009. Yang pertama terkait dengan pemberian uang pensiun. Dalam hal ini, negara harus berani mengubahnya sehingga tidak lagi mantan pejabat negara seperti anggota DPR mendapatkan pensiun. Sedang pada yang kedua harus ditegaskan bahwa pejabat negara yang terpidana korupsi harus dicabut semua haknya. Dengan merevisi UU tersebut kecenderungan anggota DPR untuk selalu berlindung di balik aspek legalistik dan mengakal-akali hukum tidak dapat lagi dilakukan secara leluasa. Dalam konteks ini, kritisisme publik sangat diperlukan mengingat sedemikian bebalnya watak para politisi Senayan tersebut dalam urusan kesejahteraan diri mereka sendiri. Dan yang terpenting dari revisi UU tersebut di atas bahwa keinginan segelintir anggota DPR untuk mencoba-coba melakukan tindak pidana korupsi sedikit demi sedikit terhalangi. Dengan kata lain, UU tersebut menjadi UU yang tidak lagi ramah terhadap praktik korupsi seperti sekarang. *Penulis, Deputi Direktur Bidang Politik The Political Literacy Institute dan Doktor Komunikasi Unpad

Tidak ada komentar: