Kamis, 07 November 2013

Selebriti di Panggung Politik, Gatra 7-13 Nop 2013

Jelang Pemilu 2014, alih-alih berkurang, kehadiran selebriti di panggung politik Indonesia justeru kian bertambah. Selain yang sudah lawas seperti Tantowi Yahya,dan Dedi Gumelar, kini muncul nama-nama baru: Anang Hermansyah, Ayu Azhari, Angel Lelga, Irwansyah, Ridho Rhoma dan lain-lain. Sejak reformasi, entah karena ingin ikut menyuarakan aspirasi rakyat atau sekadar berpindah panggung, dari layar kaca ke ruang politik, eskalasi mobilitas selebriti ke dalam politik menemukan momentumnya. Dalam konteks ini, peran partai politik yang cenderung pragmatis jelas sangat besar. Jika dulu para selebriti hanya dijadikan sebagai pendulang suara (vote getter), kini mereka benar-benar ditampilkan sebagai aktor politik. Faktor popularitas dan juga finansial agaknya merupakan pertimbangan penting. Hampir semua parpol membuka pintunya lebar-lebar bagi kaum selebriti untuk menjadi caleg-calegnya. Siapa sesungguhnya selebriti? Salah satu definisi selebriti menyebutkan, mereka yang dikenal secara luas dalam sebuah masyarakat atau budaya yang biasanya mendapatkan perhatian dari media massa (Lynda Lee Kaid & Christina Holtz-Bacha, 2008: 90). Mengacu definisi ini, siapapun bisa menjadi selebriti. Tetapi dalam tulisan ini, selebriti politik dibatasi pada mereka yang berasal dunia seni hiburan (entertainment) seperti artis, penyanyi, pelawak, atau olahragawan yang kerap diliput media massa dan sekarang menjadi politisi. Khusus di lembaga legislatif, terdapat 18 selebriti yang lolos pada Pemilu 2009. Jika diklasifikasi, ada yang sudah pernah terpilih sebelumnya seperti Adjie Massaid (alm), Angelina Sondakh dan Nurul Qomar; ada yang baru tetapi sudah memiliki pengalaman politik sebelumnya seperti Nurul Arifin, Rieke Diah Pitaloka dan Dedi Gumelar; dan yang terbanyak justeru muka-muka baru semisal Eko Patrio, Rachel Maryam, Okky Asokawati dan lain-lain. Perspektif Dramaturgis Komunikasi politik di panggung politik merupakan kajian yang sangat menarik terutama jika dilihat dari perspektif dramaturgis Erving Goffman, khususnya tentang presentasi diri (self-presentation) seperti dijelaskan dalam karyanya The Presentation of Self in Eevryday Life (1959). Konsep ini erat kaitannya dengan pengelolaan kesan (impression management). Dalam pengelolaan kesan orang berusaha untuk menampilkan dirinya sebaik mungkin untuk mendapatkan kesan yang baik dari orang lain. Seorang komunikator yang mendapatkan kesan baik dari khalayak tentu akan mudah menyampaikan pesan-pesannya, dan demikian sebaliknya. Penampilan diri komunikator terutama dilakukan di wilayah depan yang oleh Goffman disebut panggung depan (front stage), yakni apa yang dapat disaksikan oleh penonton. Dalam konteks ini, para selebriti politik tampaknya berusaha menampilkan diri mereka sebaik mungkin baik di ruang-ruang persidangan maupun di ruang-ruang publik secara umum seperti media massa. Berbagai cara atau teknik mereka persiapkan untuk keperluan tersebut. Pada kenyataannya sebagian selebriti cukup berhasil melakukan presentasi diri yang baik di panggung depan sehingga mendapatkan kesan yang baik pula dari publik. Mereka yang berpengalaman sebelumnya atau yang baru tetapi sudah memiliki pengalaman politik dapat dimasukkan ke dalam ketegori ini. Sebagian lain ada yang berusaha sebatas supaya “diangap serius” tetapi sebegitu jauh kurang maksimal dalam melakukannya. Dan yang sebagian besar justeru tenggelam oleh politisi-politisi lainnya karena tidak mampu memaksimalkan panggung depan baik di ruang komisi, paripura maupun ruang publik lainnya. Yang cukup memprihatinkan adalah ketika ada di antara selebriti yang seolah tidak menyadari akan presentasi dirinya di panggung depan sehingga tidak memperhitungkan penilaian publik. Misalnya, beberapa kali seorang angota legislatif selebriti yang berlatar belakang komedian tampil di acara-acara reality show di televisi yang berbau komedi. Celakanya statusnya sebagai wakil rakyat kerap menjadi bahan “olok-olokan” rekan-rekan komedian lainnya. Dari sisi presentasi diri, hal ini, disadari atau tidak, sangat merusak citra dirinya sebagai politisi. Penampilan diri berkaitan dengan konsep diri (self-concept) dari George Herbert Mead (1934), yakni seperangkat persepsi yang relatif stabil yang dipercaya orang mengenai dirinya sendiri. Konsep diri inilah yang kemudian memberikan motif yang penting untuk perilaku orang. Menurut Mead, karena memiliki konsep diri orang memiliki mekanisme untuk berinteraksi dengan dirinya sendiri. Mekanisme ini digunakan untuk menuntun perilaku dan sikap. Para selebriti di panggung politik bagaimanapun telah memiliki konsep diri yang baru berdasarkan pandangan orang lain terhadap diri mereka, bahwa kini mereka adalah politisi, yang oleh Dan Nimmo (1995) dimasukkan ke dalam kategori komunikator politik. Oleh karena itu, seharusnya mereka berperilaku sebagaimana layaknya seorang politisi, tidak lagi seperti selebriti biasa. Mau tidak mau mereka harus fokus dalam bekerja sebagai politisi. Sayangnya, ada di antara mereka yang masih tetap tergoda untuk tampil di dunia hiburan, bahkan sampai sekarang tetap main sinetron. Kenyataan ini jelas dapat menodai konsep diri baru mereka sebagai politisi. Kredibilitas Efektivitas komunikasi akan mudah tercapai ketika kredibilitas komunikator dianggap baik oleh khalayak. Demikian pula komunikasi politik para selebriti di panggung politik. Kredibilitas biasanya didasarkan pada sejumlah aspek seperti keahlian (expertise) atau penguasaan terhadap masalah, kedapatdipercayaan (trustworthiness), kekuasaan (power), yakni kemampuan memengaruhi orang lain dan daya tarik (attractiveness). Dalam konteks daya tarik, tidak dapat dimungkiri, para selebriti dapat memaksimalkannya secara baik. Apalagi konsep daya tarik, meski tidak selalu, sangat berkaitan dengan penampilan fisik komunikator. Para selebriti yang secara umum berpenampilan menarik, ganteng dan cantik, jelas memiliki daya tarik di mata khalayak. Apalagi kalau kemudian ditunjang oleh kemampuan komunikasinya yang piawai seperti yang terlihat pada sebagian selebriti. Sayangnya pada aspek yang bersifat lebih substansial, yakni keahlian, kedapatdipercayaan dan kekuasaan sebagian besar selebriti politik belum mampu memperlihatkannya dengan baik, kecuali satu dua orang. Bahkan sebagian ada yang justeru terganggu kredibilitasnya, misalnya terlibat kasus korupsi seperti Angelina Sondakh, tersangkut masalah keretakan rumah tangga seperti Rachel Maryam, Venna Melinda dan Tere (sudah mundur). Hal ini, terutama kasus korupsi jelas merusak kredibilitas. Untuk kasus kedua juga bisa memperlihatkan kesan bahwa mereka tidak mampu mengelola persoalan internal sendiri. Yang dikhawatirkan munculnya anggapan publik: bagaimana mampu mengelola urusan rakyat, sesuatu yang banyak dituntut dari politisi, jika persoalan rumah tangga sendiri terbengkalai. Setali tiga uang, persoalan keahlian dan kekuasaan selebriti politik juga kerap mendapatkan masalah. Jarang sekali selebriti yang mampu memerankan kedua aspek tersebut dengan baik. Barangkali hanya segelintir selebriti yang mampu melakukannya. Nuruf Arifin, misalnya, bahkan mendapatkan posisi penting di partai sehingga kerap menjadi juru bicara. Demikian pula Rieke yang sering tampil menyuarakan hal-hal berkaitan dengan urusan publik, baik di forum DPR maupun di ruang-ruang publik lainnya. Di forum seperti paripurna kedua selebriti ini sering berbicara sementara yang lain ada yang sesekali bahkan ada yang tidak pernah berbicara sama sekali. Kecenderungan serupa juga bisa ditemukan di panggung politik lainnya, eksekutif. Selebriti yang berhasil menjadi pemimpin daerah umumnya tampil sebagai “ban serep” saja setelah sebelumnya dijadikan vote getter dalam kampanye seperti kasus Rano Karno. Akibatnya, kehadiran mereka, meminjam istilah dalam bahasa Arab, wujuduhu kaadamihi, keberadaannya tidak dianggap. Bahkan ada yang kemudian terpental seperti yang dialami Dicky Chandra sewaktu menjadi Wakil Bupati Garut. Realitas ini seharusnya menjadi pembelajaran bagi para selebriti politik jika ingin tetap bertahan. Meskipun masyarakat Indonesia, meminjam istilah Rocky Gerung, sebagai masyarakat sinetronik yang menyukai tontonan, tetapi harus disadari bahwa tingkat kritisisme publik juga semakin baik. Jika kredibilitas mereka semakin buruk, besar kemungkinan publik tidak lagi memberikan kepercayaan pada mereka. *Penulis disertasi “Komunikasi Politik Selebritis di Unpad Bandung, 2013. Dosen Komunikasi Politik FISIP UIN Jakarta dan Deputi Direktur The Political Literacy Institute

Tidak ada komentar: