Selasa, 10 Februari 2009

Iklan Politik dan Keterlibatan Publik

Panggung politik Indonesia kian riuh rendah dengan pertarungan citra antar calon presiden (capres) melalui iklan-iklan politik. Kondisi seperti ini tampaknya akan terus berlangsung sampai digelarnya Pemilu 2009. Tentu publik Indonesia akan disuguhi berbagai parade iklan politik dengan aneka variasinya.
Yang menarik adalah bahwa pertarungan citra melalui iklan politik tersebut mengerucut antar dua capres: Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai incumbent dan Megawati Soekarnoputri sebagai oposisi. Antar keduanya terjadi saling berjawab iklan politik, sesuatu yang sebenarnya positif dalam kultur demokrasi. Inilah masalah yang ingin coba diangkat dalam tulisan ini.

Kegamangan
Harus diakui bahwa tradisi berjawab iklan politik melalui media massa merupakan hal yang relatif baru di negara Indonesia, baik bagi kalangan elite politik itu sendiri maupun publik. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau iklan-iklan politik yang ditampilkan ke hadapan publik baik dari kalangan oposisi yang menyerang maupun dari pemerintah yang menjawabnya masih terasa gamang.
Inilah yang terjadi antara kubu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang mengusung Megawati sebagai capresnya dan Partai Demokrat (PD) yang mendukung SBY. Kubu PDIP menayangkan iklan yang menyerang kebijakan pemerintahan SBY dengan mendaftar empat hal yang dianggapnya sebagai pembohongan publik, termasuknya di dalamnya kebijakan untuk menurunkan harga BBM. Sementara kubu Demokrat menjawabnya dengan mendafar sejumlah keberhasilan pemerintahan SBY berlipat-lipat dari daftar kritikan kubu PDIP.
Apa yang dapat dibaca dari kedua iklan tersebut? Tentu ada banyak persepsi yang dapat diberikan. Salah satunya barangkali adalah bahwa orang mungkin akan melihat adanya semacam kepanikan di kedua belah pihak. Kubu PDIP panik karena melihat kebijakan SBY akhir-akhir ini semakin pro publik sehingga simpati publik akan meningkat, maka segera mendaftar sejumlah “kegagalan” SBY. Sementara kubu Demokrat panik melihat daftar yang ditampilkan lawan, karena takut akan menurunkan citra SBY, maka segera menjawabnya dengan daftar keberhasilan yang jauh lebih banyak jumlanya.

Efektivitas
Apakah iklan politik dari kedua pihak yang berseteru tersebut efektif? Kalau melihat dari model iklan PDIP yang mendaftar sejumlah kegagalan pemerintahan SBY sebagai incumbent agaknya kurang efektif. Dalam sejumlah literatur komunikasi politik disebutkan bahwa ada beberapa hal yang mesti diperhatikan oleh tim-tim sukses seorang capres dalam membuat iklan.
Pertama, kesederhanaan (Simplicity). Kesederhanaan yang dimaksud di sini adalah bahwa isu yang ditampilkan dalam iklan tersebut harus yang mudah dimengerti publik sehingga publik akan merasa terlibat terhadap isu tersebut. Oleh karena itu, cukup satu isu saja yang ditampilkan ke publik sehingga perhatian publik akan terfokus pada isu itu. Dan incumbent biasanya juga akan menjawab kritikan lawan terhadap isu itu, sehingga terjadi saling berjawab iklan politik secara terfokus. Dari situ publik akan melihat dan menilai kubu mana yang lebih laik diberikan dukungan.
Hal ini sulit terjadi jika isu yang ditampilkan baik kubu oposisi maupun incumbent jumlahnya banyak seperti yang terjadi antara kubu PDIP dan Demokrat. Publik pun akan merasa malas membacanya, jangankan rakyat biasa, mungkin kaum terdidik pun juga demikian.
Kedua, relevansi (relevancy). Relevansi terkait dengan apakah isu yang ditampilkan ke publik betul-betul menjadi perhatian publik ataukah tidak. Iklan politik yang cerdas selalu memperhatikan aspek ini, karenanya survei mesti dilakukan terlebih dahulu sebelum dibuat iklan. Dalam hal ini, kita dapat mengajukan pertanyaan, tepatkah kebijakan pemerintahan SBY untuk menurunkan harga BBM itu dijadikan isu dalam iklan politik PDIP, bahkan dikatakan sebagai kebijakan “yoyo”?
Kalau kita cermati pembicaraan di kalangan publik, terutama pada tingkat rakyat kebanyakan, kita akan menemukan bahwa penurunan harga BBM tersebut disambut dengan sangat antusias secara taken for granted. Bagi rakyat, tidaklah penting kebijakan penurunan tersebut sebagai kebijakan politis menjelang pemilu ataukah tidak. Biarlah itu menjadi urusan para elite politik, yang penting mereka bisa bernafas kembali setelah sekian lama tercekik.
Bandingkan dengan kampanye Barack Obama beberapa waktu yang lalu ketika bersaing dengan Mc Cain menuju Gedung Putih. Kubu Obama, misalnya, menampilkan isu tentang penarikan pasukan AS dari Irak sebagai bentuk kampanye menyerang (attacking campaign) terhadap kebijakan George W. Bush yang sebaliknya ingin mempertahankan keberadaan pasukan AS di sana. Pada kenyataannya, publik AS, seperti terlihat dalam berbagai jajak pendapat, sudah muak dengan kebijakan Bush tersebut. Dengan demikian, serangan kubu Obama sangat tepat momentumnya.
Ketiga, konsistensi (consistency). Konsistensi dalam konteks ini adalah bahwa sebaiknya kubu oposisi konsisten menyuarakan isu yang telah dipilihnya secara matang, sehingga publik akan menilai bahwa memang itulah yang dijadikan concern utama kampanye mereka. Sebenarnya PDIP, hemat penulis, telah memilih isu yang tepat karena momentumnya pas, yakni “sembako murah”. Seharusnya kubu PDIP fokus dan terus menerus menyuarakan masalah sembako murah ke hadapan publik, sehingga publik akan menilai PDIP konsisten dengan isu tersebut. Dan itu, tentu saja, merupakan kredit yang sangat menguntungkan untuk pemilu nanti.
Ala kulli hal, dalam menampilkan sebuah iklan politik, publik harus dijadikan perhatian utama. Keterlibatan publik terhadap isu yang ditayangkan dalam iklan politik tersebut menjadi tolak ukur keberhasilan. Tanpa keterlibatan publik iklan politik tentu akan terasa sia-sia. Bukankah tujuan utama iklan politik adalah meraih simpati publik sebanyak-banyaknya?

Tidak ada komentar: