Senin, 15 April 2013

Menakar Urgensi Konvensi (Sindo, 16 April 2013)

Menakar Urgensi Konvensi Oleh : Iding R. Hasan Gagasan yang digulirkan Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk menyelenggarakan konvensi pemilhan calon presiden Demokrat menarik untuk disimak. Gagasan konvensi tersebut kini mulai direspons oleh partai-partai politik lainnya. Partai Persatuan Pembangunan (PPP), misalnya, telah mengeluarkan pernyataan akan menyelenggaraan konvensi juga. Sedangkan Partai Nasional Demokrat (NasDem) tengah mempertimbangkan kemungkinan untuk melakukan hal yang sama. Ada sejumlah pertanyaan relevan yang terkait dengan rencana penyelenggaraan konvensi oleh ketiga partai politik tersebut. Apakah sebenarnya target yang ingin diraih oleh partai-partai politik yang hendakan menyelenggarakan konvensi? Dan benarkah konvensi tersebut dilakukan dalam rangka mencari sosok calon presiden (capres) yang akan diusung partai penyelenggara ataukah hanya sekadar forum penahbisan bagi capres yang sebenarnya telah mereka kantongi namanya? Krisis Calon Pemimpin Dari pernyataan yang dikeluarkan para pentinggi partai penyelenggara konvensi, yakni Demokrat dan PPP memang tampak berbeda. Demokrat menegaskan bahwa latar belakang dilaksanakan konvensi adalah untuk membuka partisipasi politik yang seluas-luasnya kepada siapapun untuk menjadi capres Demokrat. Sementara PPP berdalih bahwa konvensi dimaksudkan untuk memfasilitasi capres-capres independen yang sampai saat ini belum diakomodasi dalam Undang-Undang (UU) Pilpres. Namun demikian, ada satu benang merah yang dapat ditarik dari alasan penyelenggaraan konvensi, yaitu bahwa kedua partai tersebut sebenarnya tengah mencari sosok capres yang tepat untuk berkontestasi pada Pemilu 2014. Dengan kata lain, ada krisis calon pemimpin yang tengah melanda partai-partai politik. Seperti diketahui bahwa baik Demokrat maupun PPP sampai saat ini masih belum menentukan siapa capres yang akan diusungnya. Sementara banyak partai politik lainnya telah lebih dulu melakukannya. Golkar dengan Aburizal Bakrie, PAN dengan Hatta Radjasa, Gerindra dengan Prabowo Subianto dan Hanura dengan Wiranto. Tentu saja faktor-faktor penyebab minimnya stok capres di dalam sebuah partai politik berbeda-beda antar satu dengan yang lain. Pada kasus Demokrat problem utamanya terkait dengan kasus-kasus korupsi yang melilitnya. Mantan Ketua Umum partai berlambang mercy ini, yakni Anas Urbaningrum pada awalnya digadang-gadang sebagai capres Demokrat paling potensial. Tipikal gaya politiknya hampir sama dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY): santun, tidak emosional dan sebagainya ditambah dengan usianya yang masih muda. Namun sayangnya, Anas diduga terlibat dalam kasus korupsi pembangunan sarana olahraga di Hambalang. Bahkan saat ini Anas telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terlepas dari pro kontra proses penetapannya. Sebelumnya Andi Mallarangeng, manta Menpora yang juga kader Demokrat potensial sebagai capres mengalami nasib serupa, bahkan lebih dulu dijadikan tersangka. Praktis kedua kader muda partai berkuasa (the ruling party) tersebut telah kehilangan kesempatan dan momentum untuk diusung Demokrat menjadi capres. Pada saat yang sama Demokrat belum memiliki kader-kader lain yang potensial untuk diusung sebagai capres. Nama Ani Yudhoyono yang notabene isteri SBY dan Pramono Edhi Wibowo yang juga ipar SBY, kemudian disebut-sebut sebagai kader Demokrat yang layak dijadikan capres. Namun problemnya, relasi kekeluargaan dengan SBY bisa menjadi batu sandungan karena dianggap melanggengkan politik dinasti bak kerajaan. Bukan tidak mungkin realitas ini akan dijadikan bulan-bulanan serangan politik oleh rival-rivalnya. Sementara PPP, meskipun tidak dilanda kasus korupsi, selama ini memang tidak memiliki stok capres yang mampu dijual (marketable) ke publik. Bahkan ketua umunya sendiri, Suryadharma Ali (SDA), jarang sekali ada yang menyebut-nyebutnya sebagai tokoh yang layak diusung sebagai capres sekalipun dari kalangan internal. Tokoh-tokoh politik di kalangan partai-partai Islam pada kenyataannya memang tidak populer di mata publik kalah dari tokoh-tokoh partai nasionalis. Konsistensi Tidak dapat dimungkiri bahwa dari perspektif partisipasi politik penyelenggaraan konvensi partai politik untuk mencari seorang capres cukup tetap. Konvensi, bagaimanapun, mampu membuka peluang yang sama kepada siapapun, baik dari kalangan internal maupun eksternal partai, untuk berkontestasi menjadi capres dari partai politik penyelenggara. Dengan kata lain, Inilah salah satu bentuk pengejawantahan dari partisipasi politik. Dengan demikian, penyelenggaraan konvensi tentu akan memberikan nilai positif di mata publik bagi partai politik penyelenggara. Partai Golkar di bawah pimpinan Ketua Umum Akbar Tandjung yang notabene partai pertama penyelenggara konvensi di Indonesia mendapatkan kredit poin yang tinggi dari publik usai melaksanakan konvensi. Terlepas dari hasilnya yang kurang memuaskan dan tidak ditradisikan oleh pengurus-pengurus berikutnya, namun konvensi tersebut menjadi catatan bersejarah bagi partai beringin. Oleh karena itu, penyelenggaraan konvensi baik oleh Demokrat maupun partai politik lainnya harus benar-benar dilakukan secara konsisten atau sesuai dengan tujuan, yakni mencari capres secara terbuka dan transparan. Salah satunya harus dibuat mekanisme atau aturan yang jelas, misalnya siapapun dapat berkontestasi untuk menjadi capres. Jangan sampai ada kecenderungan bahwa konvensi hanya sekadar dijadikan sebagai forum penahbisan bagi capres yang sebenarnya sudah dipersiapkan. Tujuannya tentu untuk memopulerkan capres tersebut. Meskipun begitu, tetap harus ada kriteria-kriteria yang jelas dan tegas, misalnya terkait dengan rekam jejak (track record) dari kontestan. Tentu tidak elok kalau ada tokoh yang sebenarnya punya rekam jejak buruk, misalnya terkait kaus korupsi atau pelanggaran HAM, dapat lolos sebagai capres dalam konvensi karena memiliki kekuatan finansial dan jaringan yang kuat. Sebab, inilah yang kemudian bisa menyebabkan fenomena politik uang (voter buying), padahal politik uang merupakan hal paling banyak disorot dalam kasus konvensi terdahulu.. Yang tidak kalah penting juga adalah konsistensi setelah konvensi. Capres yang telah dihasilkan konvensi yang terbuka dan transparan harus didukung sepenuhnya oleh partai politik terkait pada saat pencapresan nanti. Jangan sampai terjadi seperti kasus Golkar di mana Wiranto yang terpilih ketika itu ternyata tidak didukung sepenuhnya oleh Golkar. Akibatnya, bukan hanya capres Golkar tersebut mengalami kekalahan yang cukup telak pada pemilu, tetapi yang lebih parah menjadikan konvensi tidak berguna. Oleh karena itu, konvensi capres jika nanti benar-benar dilaksanakan, harus dipersiapkan sematang mungkin, dari mulai mekanisme, aturan bahkan bila perlu sanksi jika ada tendensi pelanggaran seperti politik uang oleh kontestan. Hanya dengan cara seperti itulah konvensi akan memberikan manfaat bagi partai politik terkait dan pada saat yang sama memberikan pendidikan politik yang baik kepada rakyat. *Penulis, Dosen Komunikasi Politik FISIP UIN Jakarta dan Deputi Direktur The Political Literacy Institute,

Tidak ada komentar: