Jumat, 26 April 2013

Artis dan Amputasi Parpol Modern, Suara Pembaruan, 26/04/2013

Artis dan Amputasi Parpol Modern Iding R. Hasan* Kehadiran artis dalam dunia politik Indonesia tampaknya masih dianggap sebagai magnet yang mampu menyedot perhatian publik. Dalam daftar calon caleg sementara (DCS) yang telah diajukan partai-partai politik nasional kontestan Pemilu 2014 baru-baru ini terdapat sejumlah nama dari kalangan artis yang sudah tidak asing lagi. Selain nama-nama yang sudah lebih dulu masuk legislatif, kini muncul nama-nama baru. Meskipun banyak kritik yang dialamatkan kepada para artis yang telah berkiprah di dunia politik terkait dengan kapasitas dan kapabilitas politiknya, namun partai-partai politik agaknya tetap bergeming untuk terus merekrut kalangan artis. Memang terdapat hubungan simbiosis-mutualistis antara partai politik dan artis. Partai politik jelas akan diuntungkan oleh kehadiran artis, karena dengan modal popularitas dan finansial, artis lebih berpotensi daripada caleg-caleg lainnya untuk meraih dukungan suara. Sementara bagi artis sendiri, partai memberikannya kendaraan untuk masuk ke dalam dunia politik tanpa harus melewati tahapan-tahapan politik seperti halnya kader-kader partai. Faktor lain yang membuat partai politik masih menjadikan para artis sebagai tumpuan harapan adalah diterapkannya sistem pemilihan proporsional terbuka sejak Pemilu 2009. Dalam sistem seperti ini, suara terbanyak merupakan faktor kunci melenggangnya seorang caleg ke lembaga legislatif. Dalam situasi seperti ini tentu saja para artis mendapatkan keuntungan karena tidak terlalu repot, misalnya dalam melakukan kampanye khususnya melalui iklan politik di media massa. Dalam pekerjaannya mereka kerap wara-wiri di layar kaca sehingga publik mudah mengenali. “Vote Getter”? Banyak kalangan menilai bahwa perekrutan artis sebagai caleg oleh partai politik dilakukan atas dasar pertimbangan, mereka dijadikan pendulang suara (vote getter). Tetapi benarkah artis masih layak dianggap sebagai pendulang suara untuk saat ini? Sebenarnya istilah pendulang suara sudah tidak relevan lagi kalau diterapkan dalam konteks politik Indonesia kontemporer. Istilah pendulang suara atau vote getter pada awalnya disematkan kepada orang-orang terkenal seperti para artis atau tokoh-tokoh masyarakat ketika sistem pemilihan yang diterapkan adalah sistem proporsional tertutup. Dalam sistem proporsional tertutup masyarakat memilih partai bukan orang, dan kemudian partailah yang menentukan siapa yang berhak menjadi anggota legislatif. Biasanya partai sudah menentukan nomor urut caleg dan inilah yang paling menentukan. Karena itu, ada istilah nomor urut jadi yang berada di hitungan awal atau atas dan ada nomor urut sepatu atau bawah. Caleg yang berada di nomor urut atas tentu saja memiliki peluang yang paling besar. Seorang vote getter seperti dari kalangan artis biasanya tidak ditempatkan pada nomor urut jadi, melainkan nomor urut sepatu atau bawah. Hal ini karena fungsi mereka hanyalah untuk mendulang suara bagi kepentingan partai politik yang mengusungnya, bukan untuk dirinya sendiri. Dengan demikian, istilah vote getter tersebut lebih tepat ditujukan pada orang-orang yang memang dipasang hanya untuk mengumpulkan suara bagi kepentingan partai politik. Dalam konteks sistem pemilihan sekarang di mana yang digunakan adalah sistem proporsional terbuka istilah vote getter bagi kalangan artis sebenarnya tidaklah tepat. Dalam sistem proporsional terbuka di mana yang paling menentukan adalah suara terbanyak, nomor urut tidak lagi memainkan peranan penting. Caleg yang mendapatkan nomor urut terbawah pun memiliki peluang keterpilihan yang sama dengan caleg di urutan atas. Para artis yang kemudian ikut berkompetisi dalam sistem pemilihan proporsional terbuka tidak lagi berfungsi sebagai pendulang suara bagi partainya, melainkan bagi dirinya sendiri. Perekrutan para artis atau para pesohor lainnya sebagai caleg, meskipun di satu sisi menguntungkan bagi partai politik dalam hal perolehan suara, tetapi pada sisi lain, juga bisa menjadi penyakit yang kalau dibiarkan akan terus menggerogoti eksistensi partai politik. Dalam hal ini adalah keharusan partai-partai politik di Indonesia untuk menjadi partai modern, yang sesuai dengan tuntutan perkembangan demokrasi. Bagaimanapun masa transisi Indonesia menuju negara demokrasi harus disokong oleh partai-partai politik modern. Salah satu variabel dari partai politik modern yang relevan dalam konteks ini adalah adanya kaderisasi yang berjenjang. Kaderisasi yang seharusnya dilakukan partai politik modern pada umumnya melalui tiga tahapan penting. Pertama, tahap rekrutmen anggota partai. Tentu saja perekrutan anggota partai dilakukan melalui proses seleksi yang ketat dan profesional, tidak asal merekrut orang secara sembarangan seperti berdasarkan kekerabatan, kekuatan modal atau popularitas. Kedua, tahap pembinaan anggota-anggota menjadi kader-kader partai loyalis yang memahami betul platform dan ideologi partai. Inilah orang-orang yang oleh Dan Nimmo dalam bukunya Komunikasi Politik, Komunikator, Pesan dan Media (1999) disebut sebagai politisi-politisi ideolog yang di kemudian hari bisa menjadi penggerak utama utama partai politik. Mereka adalah politisi-politisi yang lahir dari rahim ideologi partai. Oleh karena itu, tahap kedua ini merupakan tahap yang paling penting dalam kaderisasi partai politik. Ketiga, distribusi sumber-sumber daya politik ke dalam pos-pos kekuasaan baik legislatif maupun eksekutif. Setelah para kader dibina menjadi loyalis-loyalis partai barulah mereka diikutkan dalam kompetisi politik seperti dalam pemilihan legislatif yang tidak lama lagi akan berlangsung di negeri ini. Kader-kader semacam inilah yang sebenarnya paling siap untuk berkompetisi secara sehat. Dengan demikian, dari sudut pandang ini perekrutan para artis oleh partai-partai politik di Indonesia dapat dianggap sebagai pengamputasian tahapan partai untuk menjadi partai politik modern. Hal ini karena para artis melompat dari tahap pertama ke tahap ketiga. Mereka tidak melalui tahap kedua yang sebenarnya merupakan tahap yang paling penting. Tidak heran kalau para artis yang kemudian berhasil lolos menjadi anggota legislatif tidak mampu menampilkan performa politiknya yang memadai. *Penulis adalah Deputi Direktur The Political Literacy Institute, Dosen Komunikasi Politik FISIP UIN Jakarta

Tidak ada komentar: