Senin, 01 April 2013

Demokrat yang Tidak Demokrat (Pikiran Rakyat, 02/04/2013)

Seperti yang telah diduga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akhirnya dipilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum Partai Demokrat menggantikan Anas Urbaningrum pada Kongres Luar Biasa (KLB) 30-31 Maret 2013. Maka, semua jabatan penting di partai berlambang mercy tersebut sekarang dipegang sendiri oleh SBY, mulai dari Ketua Majelis Tinggi, Ketua Dewan Pembina, Ketua Dewan Kehormatan dan yang paling terakhir Ketua Umum Demokrat. Nama SBY muncul sebagai calon ketua umum pada saat pertemuan Majelis Tinggi dengan para pengurus Dewan Pimpinan Daerah (DPD) di Cikeas pada Minggu 24/03 yang lalu. Praktis sejak saat itu nama SBY terus bergulir kencang menggerus nama-nama elite Demokrat lainnya yang sebelumnya sudah santer disebut-sebut sebagai calon ketua umum. Mereka adalah Marzuki Alie, Saan Mustopa, Edhie Baskoro (Ibas), Ani Yudhoyono, Tri Dianto dan lain-lain. Satu hal yang menarik dianalisis dari kesediaan SBY untuk menjadi Ketua Umum Demokrat adalah terkait cara atau mekanismenya. Tampak betul bahwa SBY ingin pencalonannya berjalan mulus tanpa ada riak-riak internal yang bisa membuatnya kehilangan muka. Itulah mengapa SBY cukup geram sampai mengirimkan SMS pada Marzuki Alie yang secara diam-diam mengumpulkan 99 pengurus DPC di salah sebuah hotel di Jakarta. Marzuki agaknya dianggap sebagai ancaman yang bisa merusak jalan mulus SBY. Apalagi sejak awal sudah ada skenario agar pemilihan dilakukan secara aklamasi, sehingga hal-hal yang berpotensi mengarah pada pemilihan terbuka dipadamkan sesegera mungkin. Dari perspektif demokrasi, kecenderungan seperti ini bukanlah praktik yang sehat. Mengedepankan argumentasi bahwa situasi yang dihadapi Demokra merupakan kondisi "darurat" sehingga memerlukan tindakan yang luar biasa, juga agak sulit diterima akal sehat. Pasalnya, Kongres Luas Biasa (KLB) sebenarnya merupakan mekanisme yang sangat biasa terjadi dalam partai politik. Disebut luar biasa antara lain karena terjadi di luar jadwal yang semestinya. Karena itu, tidak perlu disikapi secara paranoid seperti yang dilakukan SBY dan orang-orang di lingkaran dekatnya. Pada sisi lain, mendaulat SBY sebagai Ketua Umum Demokrat juga dipandang sebagai upaya menegasikan faksionalisme di tubuh Demokrat. Para elite Demokrat tampaknya sangat ketakutan dengan persaingan antar faksi yang bisa membuat turbulensi politik di internal. Maka, dengan naiknya SBY pada posisi ketua umum kecenderungan itu akan sirna karena SBY mampu merekatkan semua faksi tersebut. Tetapi sebenarnya hal tersebut hanya sesaat saja. Bagaimanapun keberadaan faksi dalam sebuah partai merupakan keniscayaan. Tidak ada partai yang tidak memiliki faksi politik. Masalahnya adalah bagaimana menerapkan manajemen konflik yang tepat dalam mengatasi faksionalisme tersebut. Dari sini jelas sekali bahwa Demokrat belum mampu melakukan manajemen konflik dalam menghadapi situasi yang sulit seperti sekarang ini. Para elite Demokrat justeru lebih nyaman berlindung di balik figur SBY. Pendidikan yang Buruk Apa yang telah disajikan Demokrat melalui KLB tersebut tentu tidak memberikan pendidikan politik yang baik rakyat. Kesediaan SBY yang notabene adalah Presiden RI untuk menjadi Ketua Umum Demokrat, secanggih apapun argumentasinya, tetap saja dianggap bukan contoh perilaku politik yang baik. Sebagian besar rakyat Indonesia tidak setuju atas langkah SBY tersebut seperti terlihat dalam rilis hasil survei Lembaga Survei Nasional (LSN) belum lama ini, yakni sebanyak 77,4 persen. Satu hal yang menjadi sorotan publik, misalnya, terkait dengan konsistensi politik SBY. Dalam sejumlah kesempatan SBY kerap meminta menteri-menterinya yang berasal dari partai politik untuk lebih fokus mengurusi kementerian ketimbang partainya. Kini justeru SBY sendiri yang menjadi ketua umum partai di saat masih menjabat Presiden RI. Meskipun SBY berkilah bahwa ia tetap akan lebih fokus pada urusan negara dengan menyerahkan urusan partai pada ketua harian, namun tidak berarti SBY dapat lepas tangan begitu saja. Pada praktiknya, ketua harian akan sering berkoordinasi dan berkonsultasi kepada SBY terkait dengan kebijakan-kebijakan partai apalagi ketergantungan pengurus pada sosok SBY sangat tinggi. Dengan demikian, waktu untuk mengurus negara akan terbagi-bagi dengan urusan partai. Lebih berbahaya lagi jika urusan partai bisa mengalahkan urusan negara. Pada sisi lain, sikap kenegarawanan SBY besar kemungkinan akan dipertanyakan publik terkait kesediaannya untuk menjadi ketua umum. Di saat tokoh-tokoh nasional sekaliber SBY dituntut untuk menjadi seorang guru bangsa, yang diharapkan bisa memberikan kontribusi pemikiran demi kepentingan bangsa dan negara, justeru SBY "menceburkan" diri dalam urusan-urusan politik yang bisa membuatnya semakin partisan. Dari catatan di atas dapat ditegaskan bahwa apa yang telah dilakukan SBY dan para elite Demokrat sesungguhnya sebuah pertunjukan betapa Demokrat merupakan partai yang masih jauh dari nilai-nilai demokrasi. Dengan kata lain, Demokrat bukanlah partai demokrat yang sebenarnya.

Tidak ada komentar: