Sabtu, 27 Juli 2013

Meminimalisasi Biaya Politik, Jurnal Nasional 08/05/2013

Satu fakta yang tidak dapat dimungkiri bahwa biaya politik di Indonesia kini sangat mahal. Dalam hajatan pemilihan legislatif (pileg), misalnya, setiap caleg mesti memersiapkan modal finansial yang sangat besar agar bisa sukses melenggang ke lembaga legislatif. Menurut perkiraan pada Pemilu 2014, untuk tingkat DPRD II saja seorang caleg harus memiliki 100-200 juta, untuk tingkat DPRD I antara 500 juta sampai 1 milyar dan untuk DPR di atas 1 milyar. Kisaran angka ini hanyalah taksiran minimal, boleh jadi di kota-kota tertentu angka riilnya lebih besar. Dana besar yang akan dikeluarkan para caleg tersebut tentu saja membuat kita sebagai masyarakat kian miris. Pasalnya, hal ini bisa menjadi faktor pendorong bagi para caleg untuk melakukan hal-hal tidak terpuji di lembaga legislative ketika mereka sudah terpilih. Bukan mustahil mereka akan berusaha dengan segala cara untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkannya. Inilah yang kemudian memunculkan praktik politik transaksional seperti halnya dalam dunia bisnis: modal yang dikeluarkan harus kembali bahkan dengan nilai yang jauh lebih banyak. Mahalnya biaya politik tersebut tentu diakibatkan oleh sejumlah faktor. Pertama, diterapkannya sistem pemilihan proporsional terbuka. Berbeda dengan system proporsional tertutup yang mengutamakan nomor urut, sistem ini mengasumsikan bahwa suara mayoritas merupakan penentu utama lolosnya seorang caleg menjadi anggota legislatif. Meskipun berada di nomor sepatu atau bawah, tetapi jika memeroleh suara paling banyak, maka caleg bisa melenggang dengan aman. Oleh karena peroleh suara yang paling menentukan, maka setiap caleg berlomba-lomba untuk mendapatkan suara sebanyak-banyaknya dengan berbagai cara. Dalam situasi seperti inilah para caleg berupaya keras misalnya untuk melakukan sosialisasi diri mereka agar dikenal luas oleh masyarakat. Iklan di media massa, baliho, spanduk, poster, pamflet dan sebagainya menjadi alat sosialisasi tersebut. Di sinilah kemudian mereka harus mengeluarkan dana dalam jumlah yang sangat besar. Kedua, waktu penyelenggaraan kampanye untuk Pemilu 2014 lebih panjang daripada waktu kampanye pada Pemilu 2009. Jika pada 2009 waktunya hanya beberapa bulan saja, maka untuk 2014 waktunya sampai satu tahun. Tentu saja dengan lamanya waktu penyelenggaraan kampanye dana yang harus dikeluarkan para caleg akan terus membengkak. Apalagi kalau kampanye yang dilakukan para caleg tersebut melalui media massa seperti iklan politik baik di media cetak maupun elektronik. Ketiga, biaya politik mahal juga diakibatkan oleh kemalasan partai politik untuk menyelenggarakan program-program partai termasuk dalam rangka mendekatkan kader-kadernya di tengah masyarakat. Partai seolah berjarak dengan masyarakat sehingga masyarakat banyak yang tidak mengetahui program partai dan kader-kadernya. Partai asyik dengan dunianya sendiri. Akibatnya, tidak heran kalau kemudian banyak kadernya yang tidak dikenal luas oleh masyarakat. Karena tidak dikenal itulah pada akhirnya kader partai harus melakukan sosialisasi dari awal. Jelas lebih membutuhkan biaya besar ketimbang jika mereka sejak jauh-jauh hari sudah sering terjun di tengah masyarakat melaksanakan program partai. Keempat, ada salah kaprah dalam program pendidikan politik yang dilakukan partai-partai politik di Indonesia selama ini. Dalam konteks ini, partai justeru kerap menjadi “guru” bagi masyarakat untuk terciptanya politik uang. Partailah yang mengajarkan bahwa uang adalah segala-galanya untuk meraih tujuan politik. Politik transaksional yang sudah demikian mewabah malah diawali di partai itu sendiri. Bahkan pada tahap perekrutan kader pun politik transaksional tampak terlihat. Penentuan nomor urut meski sudah tidak menentukan lagi dan penentuan daerah pemilihan (dapil), misalnya, juga tidak lepas dari kecenderungan transaksional. Tanpa disadari hal ini memberikan pendidikan politik yang keliru kepada masyarakat. Akibatnya, masyarakat yang melihat praktik tersebut pada gilirannya menilai bahwa uang memang segala-galanya dan mereka pun pada akhirnya mau berpartisipasi politik, misalnya memberikan suara, asalkan mendapatkan uang. Itulah yang kemudian menjadikan para caleg harus merogoh kocek yang tidak sedikit. Dalam situasi seperti inilah praktik politik uang (voter buying) tidak dapat dihindarkan. Maka, politik pun kian mahal harganya.

Tidak ada komentar: