Kamis, 16 Februari 2012

Politik Uang dan Citra Partai (Pikiran Rakyat, 13 Februari 2012)

Kisruh internal di tubuh Partai Demokrat tampaknya belum ada tanda-tanda bakal mereda. Alih-alih, persoalan demi persoalan terus bermunculan. Setelah digoyang oleh isu penonaktifan Anas Urbaningrum dari posisi Ketua Umum Partai Demokrat kini muncul isu politik uang (votters buying) dalam Kongres II Partai Demokrat di Bandung pada 2010 yang lalu. Isu tersebut terus berhembus seiring dengan mulai mengemukanya pengakuan sejumlah kader Demokrat yang menerima uang agar memilih Anas sebagai ketua umum.
Merebaknya isu politik uang dalam Kongres Partai Demokrat tentu saja mengundang sejumlah pertanyaan. Mengapa masalah ini baru diungkap sekarang padahal kejadiannya sudah berlangsung sejak kurang lebih dua tahun yang lalu? Apakah ini merupakan bentuk lain dari tekanan terhadap Anas yang tetap tidak bersedia mengundurkan diri dari posisi ketua umum? Kalau benar, tidakkah langkah ini justeru akan membuat citra Demokrat semakin merosot di mata publik?

Tekanan
Sebagaimana diketahui bahwa Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam konferensi pers beberapa waktu yang lalu menegaskan bahwa tidak ada niatan untuk menonaktifkan Anas dari posisi ketua umum partai. Namun disinyalir bahwa keengganan SBY untuk menonaktifkan Anas sesungguhnya hanyalah strategi retoris belaka karena sebenarnya SBY justeru menghendaki hal yang sebaliknya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa SBY tidak klop dengan Anas sejak awal pencalonannya menjadi ketua umum partai.
Namun karena lebih memilih bermain aman (safety player), SBY agaknya lebih suka menunggu sinyal pengunduran diri dari Anas langsung atau sampai ada keputusan hukum yang menjadikan anas sebagai tersangka. Di samping itu, pertimbangan supaya konflik internal tidak semakin meluas sampai ke akar rumput (grass root) juga mendorong SBY untuk tetap mempertahankan Anas. Bagaimanapun dukungan terhadap Anas terutama di daerah-daerah masih cukup kuat.
Pilihan yang diambil SBY tersebut meskipun di satu sisi memperkuat kembali posisi Anas dari goyangan arus yang menghendaki pengunduran dirinya, tetapi hal tersebut hanyalah bersifat sementara. Penulis sendiri melihat bahwa dikuaknya kasus politik uang oleh sejumlah kader Demokrat lebih merupakan bentuk penekanan baru terhadap Anas. Karena tidak ada tanda-tanda dari Anas untuk mengundurkan diri secara sukarela, pihak yang menghendaki pengunduran diri Anas mencoba mencari jalan lain. Dan politik uanglah yang kemudian dijadikan kartu mati untuk mendongkel Anas.
Dugaan tersebut didukung oleh sejumlah fakta. Pertama, penggantian formasi di tubuh Demokrat agaknya bisa dilihat dalam konteks ini. Misalnya, Sekretaris Dewan Kehormatan Amir Syamsuddin diganti oleh TB Silalahi bahkan Silalahi kini diberikan jabatan sebagai Ketua Dewan Kehormatan. Terlepas dari pengakuan Amir bahwa penggantian itu merupakan inisiatifnya, namun yang sulit dibantah bahwa penggantinya Silalahi adalah orang kepercayaan SBY. Kenyataannya Silalahi terus proaktif melakukan pengusutan terhadap isu politik uang di Kongres Demokrat di Bandung. Dialah yang sekarang menjadi komandan pembersihan di tubuh Demokrat.
Kedua, kalau tidak ada tujuan-tujuan politis di balik isu pengungkapan politik uang, tampaknya kader-kader Demokrat tidak akan mau begitu saja mengutarakannya ke publik yang notabene merupakan borok internal partai. Apalagi kasus tersebut terjadi di waktu yang lalu sehingga, dalam situasi yang normal, mereka pasti lebih suka menutupinya rapat-rapat supaya tidak terendus pihak luar. Oleh karena itu, tentu ada maksud politis tertentu, yang mudah diduga muaranya adalah agar Anas semakin terpojok dan pada gilirannya mau mengundurkan diri.
Ketiga, pengungkapan isu politik uang dimulai dari daerah-daerah. Seperti diberitakan bahwa yang pertama kali mengungkapkan isu ini ke publik adalah Diana Maringka, mantan Ketua Dewan Pimpinan Cabang Partai Demokrat Kabupaten Minahasa Tenggara, Sulawesi Utara. Bukan tidak mungkin strategi ini sebagai salah satu cara pendelegitimasian Anas yang memang mendapat banyak dukungan dari kader-kader di daerah.

Citra
Namun demikian, cara yang ditempuh Demokrat di atas sebenarnya mengandung resiko politik besar jika tidak disertai dengan langkah-langkah pengusutan isu politik uang tersebut secara tuntas. Dengan kata lain, kalau penguakan kasus tersebut hanyalah dilakukan dalam rangka memberikan tekanan politik tinggi terhadap Anas, justeru yang akan terkena dampak buruknya adalah Partai Demokrat itu sendiri. Citra partai sebagai sarang korupsi akan makin lekat di tubuh partai berlambang mercy ini.
Sebagaimana diketahui bahwa citra Demokrat makin merosot seiring dengan banyak terkuaknya sejumlah kasus korupsi yang melibatkan kader-kader Demokrat seperti kasus suap Wisma Atlit yang kini sedang hangat-hangatnya. Survei yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pada periode Januari – Februari 2012 menunjukkan bahwa posisi Demokrat hanya berada di posisi ketiga dengan angka 13,7 persen di bawah Partai Golkar yang meraih suara 18,9 persen dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang didukung suara 14,2 persen.
Oleh karena itu, Demokrat sebenarnya sedang mempertaruhkan citranya di mata publik dengan mengangkat kasus politik uang. Maka tidak ada jalan lain bagi elite-elite Demokrat selain mengusut tuntas kasus tersebut dan kemudian melakukan penindakan tegas terhadap kader-kader yang terlibat secara tidak pandang bulu termasuk Anas jika terbukti. Namun sebaiknya penindakan tersebut jangan hanya ditujukan pada kubu Anas saja, melainkan juga kubu-kubu yang lain, karena masalah politik uang dalam sebuah kongres umumnya terjadi pada semua kandidat.
Kalau ini bisa dilakukan, mungkin publik akan percaya bahwa Demokrat benar-benar telah melakukan pembersihan diri dari noda-noda korupsi. Bukan tidak mungkin partai penguasa (the ruling party) ini juga bisa memperbaiki kembali citranya yang telah anjlok tersebut.

Tidak ada komentar: