Kamis, 16 Februari 2012

Periode Senjakala Partai Demokrat (Seputar Indonesia, 6 Februari 2012

Partai Demokrat kini tengah mengalami masa-masa yang paling sulit dalam kiprahnya di ranah politik tanah air yang sesungguhnya masih berusia seumur jagung. Berbagai persoalan bertubi-tubi menerpa partai pemenang pemilu yang berlambangkan mercy ini. Yang paling teranyar adalah kasus korupsi pembangunan Wisma Atlit di Jakabaring, Palembang, Sumatera Selatan, yang telah menyeret mantan Bendahara Umumnya, Muhammad Nazaruddin, menjadi tersangka.
Namun agaknya Nazaruddin emoh untuk menjadi “martir” Demokrat sendirian. Maka, bermunculanlah sejumlah nama elite Demokrat dari nyanyian Nazaruddin selama menjalani proses pengadilan. Yang paling disorot dari semua elite Demokrat tersebut adalah Ketua Umum Anas Urbaningrum yang berkali-kali disebutkan Nazaruddin. Bahkan menurut versi Nazaruddin, Anaslah yang disebut-sebut sebagai “ketua besar” dalam konteks kasus tersebut. Kecenderungan yang berkembang sekarang ini kian membuat Anas tersudut.



Maju Kena Mundur Kena
Melihat perkembangan politik yang kian tidak menguntungkan bagi Demokrat tersebut jajaran Dewan Pembina (Wanbin) Partai Demokrat pun segera mengambil langkah. Pertemuan Wanbin terakhir yang diselenggarakan di kediaman Ketua Wanbin Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Cikeas, Bogor, Selasa malam (24/01) tampaknya dilakukan antara lain dalam rangka mengantisipasi kasus tersebut. Beberapa anggota Wanbin yang memberikan pernyataan ke publik juga membenarkannya.
Pertanyaannya adalah apakah SBY sebagai Ketua Wanbin akan segera mengambil tindakan konkret terkait dengan kasus tersebut? Mungkinkah SBY berani bersikap tegas, misalnya menurunkan Anas dari kursi ketua umum ataukah lebih memilih menunggu sampai Anas benar-benar dinyatakan bersalah secara hukum meskipun suara-suara miring terhadap Anas sudah sedemikian nyaring?
Menurut penulis, Demokrat memang berada dalam dilema besar. Ibarat makan buah simalakama, maju kena mundur pun kena. Jika SBY membiarkan Anas tetap memegang jabatannya sebagai Ketua Umum Demokrat, sejumlah resiko politik siap menghadangnya. Pertama, citra SBY dan Demokrat di mata publik sekarang terus mengalami penurunan yang diyakini bahwa salah satu sebabnya adalah kasus korupsi di atas yang ikut menyeret nama Anas. SBY yang kerap menegaskan akan berada di garis terdepan pemberantasan korupsi, akan semakin tidak dipercaya publik jika diam saja terhadap korupsi yang justeru tepat di depan matanya.
Kedua, membiarkan Anas tetap di posisinya sebenarnya sama saja dengan menganggap publik sebagai sekumpulan orang bodoh yang sama sekali tidak tahu apa-apa tentang masalah hukum. Secara common sense saja, orang yang paling awam sekalipun sulit untuk membantah keterlibatan Anas sebagai ketua umum dalam sejumlah kasus korupsi partai. Bagaimana mungkin orang seperti Nazaruddin yang masih muda, baik dari segi usia maupun asam garam politik di republik ini, bisa leluasa “bermain” sendirian tanpa keterlibatan tokoh-tokoh kunci di Demokrat, termasuk tentu saja ketua umumnya.
Ketiga, mengedepankan dalih “menghormati proses hukum,” atau mematuhi “asas praduga tak bersalah” dalam kasus seperti ini sebenarnya tidaklah cukup elegan apalagi di tengah ketidakpercayaan publik (public distrust) terhadap proses-proses hukum di negeri ini sangat tinggi. Banyak kasus besar yang secara perlahan-lahan mulai menghilang dan tidak jelas penyelesaiannya. Bisa jadi kasus korupsi Wisma Atlit pun akan mengalami hal yang serupa. Padahal aspek etika dan moral sebenarnya dapat diterapkan dalam kasus tersebut. Di sejumlah negara maju, seorang tokoh politik tidak mesti harus menunggu proses hukum selesai untuk mendapatkan sanksi politik.
Namun demikian, mengambil langkah tegas menurunkan Anas di tengah jalanpun agaknya tidak cukup menguntungkan secara politik bagi Demokrat. Setidaknya, ada dua alasan yang dapat dikemukakan. Pertama, korupsi yang terjadi di lembaga-lembaga politik di Indonesia, termasuk partai politik, hampir pasti merupakan korupsi berjamaah. Oleh karena itu, kalau sampai Anas “diharuskan” ikut menanggung dosa politik partai, tentu ia tidak akan mau sendirian. Apalagi sejumlah nama lain juga kerap disebut-sebut, seperti anggota Wanbin Andi Mallarangeng, Sekretaris Jenderal Edi Baskoro yang notabene anak SBY, Angelina Sondakh dan sebagainya. Bahkan bukan tidak mungkin SBY pun akan ikut terseret juga. Kalau ini yang terjadi, turbulensi politik yang dahsyat di akan terjadi tubuh Demokrat.
Kedua, menurunkan Anas juga pada gilirannya akan membuat friksi politik di tubuh Demokrat kembali menajam. Bagaimanapun residu Kongres Demokrat di Bandung yang telah menghasilkan Anas sebagai ketua umum masih tetap terasa hingga sekarang. Meskipun sering ditutup-tutupi oleh para elite Demokrat, namun agaknya rivalitas dari mantan pesaing Anas, yakni Marzuki Ali dan Andi Mallarangeng, tidak lantas padam. Bahkan sebagian kalangan meyakini bahwa mencuatnya kasus ini sebenarnya terkait dengan rivalitas tersebut. Hal ini sulit dibantah jika melihat kenyataan bahwa beberapa elite Demokrat kerap mengusulkan penggantian Anas dalam sejumlah pertemuan internal Demokrat.

Persona nongrata
Melihat sejumlah pertimbangan di atas dan berdasarkan pada tipikal SBY sebagai pemimpin yang safety player atau tidak berani mengambil resiko, pilihan yang paling mungkin diambilnya adalah mem”persona nongratakan” Anas dari lingkaran elite Demokrat. Dengan dalih supaya Anas lebih berkonsentrasi dalam menghadapi kasus hukum yang kian mengarah kepadanya, SBY bisa mengambil-alih kendali partai, baik secara langsung ataupun melalui orang lain. Dengan kata lain, secara perlahan-lahan dan halus Anas “disingkirkan” sehingga pada akhirnya bersedia mengundurkan diri.
Namun demikian, pilihan ini pun sebenarnya bukanlah langkah ideal bagi Demokrat ke depan. Masalahnya adalah waktu. Semua mata publik yang kecewa sekarang ini tengah tertuju pada partai bentukan SBY tersebut. Dan kini setelah semua anggota Wanbin Demokrat menyerahkan mandat sepenuhnya kepada SBY selaku Ketua Wanbin untuk segera mengambil tindakan, tentu semua mata tersebut beralih pada SBY. Dengan kata lain, SBY sebenarnya sedang berpacu dengan waktu. Beranikah ia segera melakukan tindakan tegas, itulah kira-kira yang ditunggu-tunggu publik.
Dari semua opsi yang dimiliki Demokrat dan SBY, tampaknya semuanya mengandung resiko politik yang besar. Ibarat pepatah “nasi telah menjadi bubur,” semuanya boleh dikatakan sudah terlambat. Kalau dirunut ke belakang, keadaan ini sebenarnya juga tidak terlepas dari serba keragu-raguan SBY dalam mengambil tindakan ketika awal kasus ini mencuat ke publik. Ini hampir sama dengan kasus Century di mana sikap SBY muncul begitu terlambat.
Dengan kata lain, peluang Demokrat untuk kembali memperbaiki citranya di mata publik sangat berat. Maka, tidak berlebihan kalau ada yang mengatakan bahwa Demokrat kini sedang berada di ambang kehancuran. Inilah periode senjakala Demokrat yang pada Pemilu 2009 lalu tampil begitu jumawa.

*Penulis, Dosen Ilmu Politik FSH UIN Jakarta dann Deputi Direktur Bidang Politik The Political Literacy Institute.

Tidak ada komentar: