Kamis, 16 Februari 2012

Negara dan Paradoks Kekerasan (Suara Pembaruan, 16 Februari 2012)

Persoalan kekerasan yang kerap dikaitkan dengan organisasi kemasyakatan (ormas) tertentu kembali menjadi pemberitaan hampir seluruh media di Indonesia. Hal ini diawali dengan aksi penolakan sejumlah besar kelompok masyarakat di Kalimantan Tengah (Kalteng) terhadap delegasi Front Pembela Islam (FPI). Sebagaimana diketahui bahwa rombongan FPI tersebut akan menghadiri acara pelantikan pengurus FPI di beberapa tempat di Kalteng. Tidak lama setelah itu di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, muncul pula aksi yang juga menyuarakan penolakan terhadap FPI.
Sayangnya, respons FPI terhadap aksi tersebut agak berlebihan. Alih-alih melakukan instrospeksi, FPI justeru tanpa segan-segan menuding bahwa aksi tersebut ditunggangi oleh kelompok-kelompok politik tertentu. Padahal sudah bukan rahasia lagi bahwa dalam banyak kasus ormas ini sangat akrab dengan aksi kekerasan ketika melancarkan misi dakwahnya. Dengan kejadian tersebut seharusnya FPI lebih menyadari bahwa ada banyak kelompok di dalam masyarakat, kalau bukan keseluruhan, yang sebenarnya tidak suka dengan model aksi mereka.

Pembiaran Negara
Di republik ini, kekerasan tampaknya kerap menemukan lahan empuknya. Padahal ini sebuah paradoks, negara Indonesia yang terkenal dengan penduduknya yang agamis dan ramah justeru acap menghadirkan wajah kekerasan yang menyeramkan. Celakanya lagi bahwa berbagai tindakan kekerasan di negeri ini seringkali dilakukan dengan mengatasnamakan agama. Hanya karena kelompok tertentu dianggap “tidak sejalan” dengan pandangan keagamaan mayoritas, misalnya, lalu dianiaya sedemikian rupa.
Kecenderungan ini terjadi tidak saja pada lingkup internal agama tetapi juga tidak jarang terjadi antar agama. Sehingga toleransi yang kerap didengung-dengungkan sebagai budaya hidup penduduk Indonesia seolah terlindas begitu saja dan digantikan oleh intoleransi, primordialisme dan sebagainya. Banyak kasus yang bisa diangkat dalam konteks ini, seperti tragedi berdarah di Cikeusik (internal agama) atau tragedi yang menimpa Jamaat GKI Yasmin (antar agama). Tentu masih sederet kasus kekerasan lainnya yang bisa didaftar di sini.
Ironisnya adalah bahwa sejumlah kekerasan yang dilakukan ormas tertentu seolah-olah “dibiarkan” oleh negara, atau ada kesan bahwa negara seperti “melindungi” tindakan mereka. Kecurigaan tersebut semakin kuat ketika pelaku-pelaku tindakan kekerasan tersebut tidak segera ditindak. Pemerintah justeru berlindung di balik undang-undang yang ada, padahal sesungguhnya berbagai kasus tersebut bisa dimejahijaukan karena jelas-jelas merupakan tindakan kriminal.
Bukan hanya membiarkan, bahkan dalam derajat tertentu negara sesungguhnya telah “menciptakan” kelompok yang seakan-akan dibebaskan untuk melakukan tindakan kekerasan. Inilah pembacaan dari fenomena terbentuknya pamswakarsa, sebuah organisasi sipil yang diberikan pelatihan kemiliteran dan dibiarkan bertindak seolah-olah militer. Celakanya, hal ini menyelusup terhadap berbagai ranah kehidupan termasuk kebebasan beragama atau berkeyakinan.
Diduga bahwa FPI sebenarnya juga merupakan “ciptaan” dari kelompok-kelompok elite politik tertentu yang mencoba ingin melanggengkan kekuasaannya. Dalam praktiknya ormas ini memang hampir tidak menyuarakan kritik keras terhadap isu-isu yang bersinggungan dengan kekuasaan, seperti korupsi, politik uang dan sebagainya. Tentu saja sikap ini sangat mengherankan padahal korupsi jelas-jelas merupakan musuh nomor satu bagi semua orang dari kelompok manapun.

Komitmen Pemerintah
Realitas tersebut tentu tidak dapat dibiarkan terus menerus, tetapi harus segera diatasi oleh pihak yang paling otoritatif, dalam hal ini pemerintah. Salah satu solusinya adalah dengan merevisi Undang-Undang Oganisasi Kemasyarakat (UU Ormas). Pernyataan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi terkait dengan hal tersebut patut diapresiasi. Bahkan pernyataan serupa pernah ia kemukakan dalam diskusi “Forum Penguatan Penghayatan Ideologi Pancasila” pada Nopember tahun lalu. Revisi tersebut menegaskan bahwa setiap ormas yang kedapatan melakukan tindakan kekerasan akan langsung dibekukan tanpa melalui proses yang panjang dan berlapis. Pembekuan tersebut bakal dilakukan berbarengan dengan proses hukum kasus kekerasan yang dilakukan ormas.
Sementara itu dalam UU tentang Ormas yang digunakan selama ini, yaitu UU Nomor 85 Tahun 1985 disebutkan bahwa sebuah ormas hanya dapat dibekukan atau dibubabarkan bila telah melakukan beberapa kali pelanggaran. Persyaratan seperti ini dinilai terlalu lama sehingga membuat aparat negara kesulitan untuk mengeksekusinya secara segera sementara kekerasan yang dilakukannya demikian terang benderang.
Perubahan pasal tentang pembekuan ormas yang melakukan tindakan kekerasan secara lebih sederhana prosesnya dibandingkan UU terdahulu jelas merupakan langkah maju. Namun demikian, bukan berarti hal tersebut sudah cukup. Masih ada langkah lain yang justeru lebih penting dari sekadar perubahan, yaitu komitmen pemerintah. Perubahan UU tanpa disertai komitmen pelaksananya tentu akan muspra saja seperti yang terjadi pada sejumlah UU di negeri ini.
Komitmen tersebut setidaknya harus diejawantahkan negara dalam sejumlah hal. Pertama, tindakan kekerasan apapun bentuknya dan siapapun pelakunya merupakan tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan dalam perspektif agama manapun. Maka, jika ada pihak yang membiarkan apalagi melindungi tindakan kekerasan tersebut jelas harus dimaknai pula sebagai pihak yang turut melakukan tindakan kekerasan.
Kedua, pelaksanaan hukuman atau sanksi pembekuan terhadap ormas yang melakukan tindakan kekerasan harus dilakukan secara adil dan tidak pandang bulu, apalagi kalau hanya didasarkan pada kepentingan politik pemerintah. Selama ini, pemerintah terkesan membiarkan tindakan kekerasan sebuah ormas karena seolah mendapatkan “keuntungan” politik di baliknya. Kecenderungan seperti ini tentu harus dibuang jauh-jauh jika ingin UU ini berjalan efektif.

Menaikkan Citra
Satu hal yang selama ini seolah diabaikan oleh pemerintah adalah bahwa berbagai tindakan kekerasan di republik ini sejatinya telah mendegradasikan pencitraan negara ini khususnya di kalangan dunia internasional. Beberapa negara bahkan tidak sungkan-sungkan untuk menyatakan bahwa negara Indonesia sebagai negara yang menakutkan dan sebagainya. Tidak heran kalau citra toleransi keagamaan di negara ini kian buruk bahkan kebebasan beragama atau keyakinan semakin hari semakin memperlihatkan wajah yang menyedihkan.
Oleh karena itu, kalau pemerintah ingin menaikkan kembali pencitraan yang baik tentang negeri ini, maka perubahan UU tentang Ormas terkait pasal pembekuan tersebut mesti benar-benar dijalankan disertai komitmen yang kuat. Jika itu yang dilakukan, sangat mungkin kehidupan yang toleran dan harmonis antar para pemeluk agama (koeksistensi damai) yang sejatinya memang sudah menjadi ciri khas negeri ini akan kembali menemukan rumahnya.

Tidak ada komentar: