Kamis, 16 Februari 2012

GKI Yasmin dan Toleransi (Waspada online, 7 Februari 2012)

Keprihatinan kembali menimpa para jemaat Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin Bogor. Beberapa waktu lalu saat para jemaat tersebut beribadat di salah satu rumah warga, sekelompok orang yang anti pendirian GKI mencoba membubarkan mereka. Kejadian seperti ini tentu bukan yang pertama kali. Sejak kericuhan terjadi terkait dengan pendirian GKI Yasmin para jemaat kerap mendapatkan perlakuan yang buruk.
Apa yang tengah menimpa para jemaat GKI Yasmin memperlihatkan dengan jelas betapa masalah kerukunan antar umat beragama yang selama ini dibanggakan di negara Indonesia ternyata masih menyimpan sejumlah problem. Roh toleransi yang sejatinya dijadikan kunci dalam menjalani kehidupan antar umat beragama seolah-olah tidak ada artinya sama sekali. Sebaliknya, yang muncul adalah sikap kebencian, saling curiga dan semacamnya. Bagi negeri yang berlandaspan pada Pancasila ini, realitas tersebut tentu merupakan ironi.

Pemaknaan Toleransi
Secara konseptual toleransi yang diterapkan di negeri ini sesungguhnya masih menyimpan sejumlah masalah sehingga kurang mampu mendorong koekistensi damai (peaceful coexistence) antar para pemeluk agama. Salah satu kritik terhadap konsep dan implementasi toleransi di bumi Indonesia pernah disampaikan dalam sebuah kesempatan oleh seorang sejarahwan dan budayawan terkemuka Indonesia, yakni almarhum Kuntowijoyo.
Kuntowijoyo, misalnya, mengatakan bahwa toleransi kerap dimaknai dalam ungkapan negatif: tidak mengganggu, tidak melanggar, atau tidak intervensi masalah orang (agama) lain. Pemaknaan toleransi yang sedemikian ini pada gilirannya justeru membuat para pemeluk agama di Indonesia cenderung berbuat pasif atau enggan melakukan berbagai upaya dan terobosan dalam kerangka menjalin hubungan yang substantif antar pemeluk agama. Barrier yang ada di antara mereka seolah-olah dibiarkan tetap menjadi benteng kokoh.
Seharusnya dalam konteks kehidupan antar umat beragama toleransi, menurut Kuntowijoyo, dimaknai secara positif: menghormati, menghargai, atau memberikan empati dan sebagainya antar para pemeluk agama. Pemaknaan toleransi dalam ungkapan positif di atas diharapkan dapat mendorong mereka untuk lebih berbuat aktif dan selalu berusaha melakukan berbagai usaha dan terobosan sehingga menjadikan kerukunan hidup antar umat beragama semakin harmonis. Dialog antar iman, misalnya, bisa dikategorikan ke dalam upaya tersebut.
Toleransi yang ideal sejatinya dibangun di atas landasan keadilan. Ini sering disampaikan almarhum Cak Nur –panggilan akrab Nurcholis Madjid--, dalam berbagai kesempatan. Dengan mengutip salah satu ayat dalam Kitab Suci, “Jangan sampai kebencianmu terhadap suatu kaum membuat kamu berbuat tidak adil...” ia mendorong umat untuk berlaku adil sekalipun terhadap pemeluk agama lain. Bahkan jika, misalnya, umat Islam memiliki kebencian terhadap pemeluk agama lain, entah karena alasan apapun, tetap mereka harus bersikap adil.
Dalam konteks pendirian GKI Yasmin sesungguhnya tidak akan terjadi kericuhan yang tidak perlu jika umat Islam bersedia memedomani ayat yang telah disinggung di atas. Betapapun warga, yang notabene muslim, di sekitar GKI Yasmin, Bogor, tidak menyukai pendirian rumah ibadat tersebut, namun seyogianya mereka berlaku adil dengan menghormati hak mereka. Sebab, menjalankan ibadat menurut keyakinan masing-masing telah dijamin oleh UUD 1945. Dan beribadat tentu memerlukan sarana berupa rumah ibadat, karena itu mereka harus dibiarkan membangunnya. Menghalanginya atau merusaknya jelas merupakan tindakan yang tidak adil.
Namun demikian, yang jauh lebih penting dalam hal toleransi adalah adanya tokoh atau kelompok yang bersedia melakukan advokasi dalam implementasinya di lapangan. Dalam konteks ini, peran tokoh sekaliber almarhum Gus Dur –panggilan akrab mantan Presiden Abdurrahman Wahid—dalam mengawal toleransi, antara lain dengan melakukan advokasi terhadap warga minoritas tidak diragukan lagi. Kita beruntung masih memiliki keluarga Gus Dur yang tetap berkomitmen untuk melanjutkan apa yang telah diperjuangkannya. Sayangnya tokoh-tokoh yang mau melakukan hal semacam ini di Indonesia masih sangat kurang.

Relokasi, Apakah Solusi?
Salah satu solusi yang ditawarkan untuk menyelesaikan kericuhan GKI Yasmin adalah relokasi gereja ke tempat lain yang lebih aman. Hal ini, misalnya, dikemukakan oleh ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Amidhan, dengan alasan pernah dilakukan juga di Bekasi. Namun, menurut penulis, dalam konteks GKI Yasmin, gagasan relokasi tersebut bukanlah solusi yang ideal dengan beberapa alasan.
Pertama, gagasan ini memperlihatkan bahwa pemerintah telah melakukan simplifikasi persoalan. Seolah-olah masalah tersebut hanya dipicu oleh adanya bangunan rumat ibadat di tempat yang ditentang oleh sekelompok warga. Karena itu, tinggal memindahkan rumah ibadat itu, maka persoalan beres. Padahal masalah yang substantif adalah masalah hubungan antar umat beragama yang ternyata masih menyimpan problem seperti masih adanya rasa kebencian, rasa saling curiga dan sebagainya antar umat beragama.
Kedua, mengedepankan isu relokasi pada sisi lain juga memperlihatkan betapa pemerintah gagal dalam memenuhi hak asasi manusia (HAM) dalam hal menjalankan ibadat sesuai dengan keyakinan pemeluknya. Oleh karena itu, bisa dipahami kalau tokoh-tokoh umat Kristiani berkeberatan dengan opsi relokasi tersebut karena mereka merasa bahwa perjuangannya untuk mendapatkan hak sebagai warga negara Indonesia dalam menjalankan ibadat menjadi sia-sia. Mereka seolah-olah warga kelas dua yang harus manut saja diperlakukan sedemikian rupa.
Ketiga, opsi relokasi juga sekaligus menunjukkan ketidaktegasan sekaligus “cuci tangan” pemerintah dalam mengatasi kericuhan masalah GKI Yasmin. Pemerintah seolah-olah membiarkan saja kericuhan tersebut terus berlangsung tanpa ada upaya-upaya substantif untuk menyelesaikannya. Bahkan setelah ada keputusan Mahkamah Agung (MA) pun, pemerintah tidak segera melakukan tindakan sehingga keputusan tersebut menjadi tidak artinya. Dengan kata lain,, dengan mengedepankan opsi relokasi dapat ditafsirkan bahwa pemerintah seolah ingin lari dari tanggung jawab terhadap persoalan GKI Yasmin tersebut.
Bagaimanapun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, merupakan orang yang paling otoritatif untuk dapat menyelesaikan kericuhan GKI Yasmin. Alasan sebagian kalangan bahwa kewenangan itu ada di pemerintahan daerah dalam hal ini walikota sebenarnya tidaklah tepat benar. Sebab, jika mengacu pada UU No. 22 Tahun 1999 atau No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, masalah kehidupan keagamaan merupakan kewenangan pusat. Oleh karena itu, presiden sesungguhnya bisa mengambil-alih kewenangan tersebut demi menjaga kericuhan supaya tidak berlarut-larut.

*Penulis, Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta dan Deputi Direktur The Political Literacy Institute.

Tidak ada komentar: