Rabu, 25 Februari 2015

Menimbang Keputusan Jokowi (Pikiran Rakyat, 18 Pebruari 2015)

Praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan akhirnya memenangkan gugatan Komisaris Jenderal (Komjen) Polisi Budi Gunawan (BG) seperti yang dibacakan hakim tunggal Sarpin Rizaldi pada Senin 16/02 kemarin. Dengan kemenangan berada di pihak calon tunggal Kapolri tersebut status tersangka BG yang ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 13 Januari lalu otomatis dibatalkan. Karena secara tegas hakim memutuskan penetapan tersangka BG tidak sah. Kenyataan ini pada gilirannya membuat Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang akhir-akhir ini terus didesak untuk segera membuat keputusan terkait BG seolah tidak punya pilihann lain kecuali melantiknya sebagai Kapolri baru. Hal ini karena dengan tidak sahnya status penetapan BG sebagai tersangka sebagaimana diputuskan hakim, BG dianggap tidak lagi memiliki masalah hukum. Dengan kata lain, BG telah memenuhi semua persyaratan untuk menjadi Kapolri. Namun demikian, meski di atas kertas Jokowi tinggal menindaklanjuti hasil proses praperadilan dengan melantik BG, agaknya tidak cukup mudah baginya untuk melakukan hal tersebut. Setidaknya ada dua persoalan yang kemungkinan besar dapat menjadi ganjalan atau kerikil tajam bagi Jokowi ke depan dengan mematuhi keputusan hakim di praperadilan tersebut. Pertama, terkait sentiment publik di mana pada umumnya publik menilai BG memang memiliki masalah cacat hukum sehingga tidak layak menjadi orang nomor satu di jajaran polri. Opini publik tersebut tidak dapat dipersalahkan karena pengalaman selama ini bahwa orang-orang yang ditetapkan KPK sebagai tersangka belum pernah ada yang bebas begitu saja, bahkan biasanya berakhir di penjara. Kenyataan ini menunjukkan bahwa rekam jejak (track record) yang dimiliki KPK jauh lebih baik dari lembaga-lembaga penegak hukum lainnya di Indonesia seperti kepolisian dan kejaksaan. Hanya lembaga inilah yang mampu melakukan pemberantasan korupsi dan menangkap para koruptor bahkan di lingkaran elite kekuasaan. Tidak ada ceritanya seorang menteri di negeri ini ditangkap dan dipenjarakan kecuali setelah ada lembaga ini. Oleh karena itu, tidak heran kalau mayoritas publik Indonesia berada di belakang KPK dalam kisruh Polri-KPK terkait penetapan BG sebagai tersangka. Sekalipun kini status tersangka BG dicabut hakim praperadilan, tetapi diyakini bahwa publik tetap akan mendukung KPK. Kenyataaan inilah yang nanti bakal dihadapi Jokowi dan berpotensi mengganggu pemerintahannya nanti. Kedua, secara substansi hukum sebenarnya BG belumlah aman. Kemenangan yang berada di pihaknya lebih pada aspek prosedur dan mekanisme hukum penetapan seseorang sebagai tersangka. Artinya, yang dimenangkan oleh hakim praperadilan adalah soal proses penetapan, bukan subtansi tindak pidananya. Oleh karena itu, bisa saja jika prosedur penetapannya diperbaiki, BG akan kembali menjadi tersangka. Oleh karena itu, jika Jokowi melantik BG sebagai Kapolri, sama saja dengan menanam sesuatu yang bermasalah. Jokowi tentu akan dipersalahkan publik karena dianggap tidak konsisten dengan pemilihan pejabat publik yang selama ini sering diungkapkannya. Yakni, tidak akan memilih orang yang bermasalah secara hukum atau orang yang berpotensi bermasalah. Dari sudut ini, BG jelas termasuk orang yang berpotensi memiliki masalah hukum ke depannya. Menyelamatkan KPK Selain itu, ada hal lain yang harus dipertimbangkan Jokowi terkait pelantikan BG, yakni soal nasib KPK. Mungkin sebagian kalangan berpandangan bahwa dengan kemenangan BG dalam proses praperadilan, KPK berada di pihak yang salah. Kemudian mereka berusaha membangun opini publik tentang kesalahan KPK sehingga pada gilirannya kredibilitas lembaga ini akan merosot. Tentu hal tersebut sangat disayangkan kalau benar-benar terjadi. Oleh karena itu, Jokowi harus mempertimbangkannya sematang mungkin sebelum mengambil keputusan yang sangat penting ini. Jika pun pada akhirnya Jokowi tidak memiliki jalan lain kecuali melantik BG sebagai Kapolri, maka hendaknya mantan Gubernur DKI tersebut berusaha untuk menyelamatkan KPK. Salah satunya adalah dengan cara “menghentikan” proses pengaduan hukum para komisioner KPK yang agaknya terlalu mengada-ada. Kasus penetapan Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto, misalnya, kelihatan sekali seperti dipaksakan bahkan tampak seperti upaya balas dendam. Demikian pula pengaduan hukum atas Ketua KPK Abraham Samad yang sesungguhnya lebih berada di wilayah etika ketimbang tindak pidana. Dengan kedudukan dan kewenangannya sebagai presiden, tentu Jokowi dapat melakukan hal tersebut. Dalam konteks ini, Jokowi dapat melakukan negosiasi dengan pihak-pihak terkait. Intinya, Jokowi harus berusaha agar jangan sampai kemenangan BG itu dimaknai sebagai kejemawaan polri terhadap KPK, sehingga KPK kemudian berada di pihak yang disudutkan. Inilah yang harus benar-benar dipertimbangkan Jokowi jika benar-benar ia melantik BG sebagai Kapolri.

Tidak ada komentar: