Selasa, 03 Februari 2015

Jokowi dan Evaluasi PDIP (Suara Pembaruan, 3 Pebruari 2015)

Di tengah kisruh perseteruan Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai buntut dari penetapan calon tunggal Kapolri Komisaris Jenderal (Pol) Gudi Gunawan (BG) sebagai tersangka, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengadakan pertemuan dengan Prabowo Subianto. Pertemuan tersebut jelas mengundang perhatian publik karena Ketua Dewan Pembina Gerindra tersebut merupakan rival berat Jokowi pada saat Pilpres 2014 yang lalu dan telah menyatakan diri sebagai oposisi pemerintah. Oleh karena itu, banyak kalangan yang bertanya apa sesungguhnya yang ingin dicari Jokowi sehingga mengadakan pertemuan tersebut? Apakah pertemuan itu didasari oleh kekecewaan Jokowi terhadap partai pengusung utamanya, PDIP dan Ketua Umum Megawati Soekarnoputri karena belakangan terdapat kerenggangan hubungan di antara mereka? Dan bagaimana seharusnya PDIP sebagai partai pemerintah menyikapi situasi politik yang kian memanas itu? Pertanyaan yang sangat menggoda terkait pertemuan Jokowi-Prabowo tersebut adalah mungkinkah mantan Gubernur DKI itu akan berpaling ke KMP dan meninggalkan Koalisi Indonesia Hebat (KIH)? Pertanyaan ini tidak berlebihan jika melihat sinyal-sinyal kerenggangan hubungan antara Jokowi dan PDIP (baca: Mega), bahkan ada tanda-tanda bahwa Jokowi mulai menjaga jarak dengan puteri Bung Karno itu dalam mengambil sejumlah keputusan penting. Setelah tidak segera melantik BG sebagai Kapolri baru menggantikan Jenderal (Pol) Sutarman, padahal diduga Mega menginginkan hal yang sebaliknya, Jokowi kemudian malah mengangkat Tim 9 tanpa komunikasi dengan Mega terlebih dahulu. Tim 9 ini ditugaskan Jokowi untuk menyelesaikan perseteruan Polri-KPK. Tindakan Jokowi tersebut ternyata mendapatkan reaksi yang keras dari kalangan PDIP. Reaksi paling keras terlihat dari pernyataan salah seorang elite partai moncong putih tersebut yang menyiratkan secara terang benderang bahwa Jokowi berpeluang untuk dilengserkan (impeachment) karena tindakannya itu. Pernyataan ini jelas kian memperlihatkan ketidaknyamanan PDIP terhadap Jokowi. Sebelumnya salah seorang politisi PDIP juga menjadi salah seorang pelapor petinggi KPK ke kepolisian. Melihat dari apa yang telah dilakukan politisi-politisi PDIP terhadap Jokowi agaknya sulit dipercaya benar-benar terjadi. Bagaimana mungkin partai yang sejak awal menjadi pengusung utama Jokowi pada pilpres yang lalu kini justeru berubah menjadi partai yang seolah-olah memainkan peran oposisi. Yang lebih menyedihkan lagi bahkan partai kepala Banteng ini tampak berusaha “mendepak” Jokowi. Yang sangat disayangkan adalah kerenggangan Jokowi dan PDIP tersebut hanya karena persoalan egoisme pribadi, dalam hal ini Mega. Mega merasa seolah-olah Jokowi tidak lagi mau mematuhi apa yang diinginkannya. Para loyalis Mega di PDIP pun kompak berang terhadap Jokowi karena dianggapnya tidak tahu “berterima kasih” atas peran partai yang menghantarkannya menjadi presiden. Berdasarkan analisis di atas agaknya tidak mustahil jika Jokowi merasa semakin tidak nyaman bersama PDIP.. Karena itu, meninggalkannya merupakan alternatif yang sangat memungkinkan. Dalam konteks inilah, pertemuan Jokowi dan Prabowo dapat dipahami.. Memang diketahui bahwa pertemuan itu hanya membahas masalah penyelesaian BG terkait pencalonannya sebagai Kapolri, tetapi bukan tidak mungkin ke depan akan ada kesepakatan-kesepakatan politik lainnya. Elite-elite penentu di KMP mulai menampakkan sikap lunak terhadap Jokowi. Aburizal Bakrie (Ical), misalnya, kini tidak lagi galak pada pemerintahan Jokowi-JK setelah ada skema penyelesaian utang-utang Lapindo oleh pemerintah. Kecenderungan yang sama bisa juga terjadi pada Prabowo dengan penawaran-penawaran konsensi ekonomi-politik. Jika hal ini bisa dipegang Jokowi, tentu ia akan mudah melakukan komunikasi politik dengan KMP untuk mendapatkan dukungan politik. Andai PDIP tidak mau mengubah sikap politiknya terhadap Jokowi seperti yang terlihat sekarang, perpindahan haluan politik Jokowi ke KMP hanya tinggal menunggu waktu saja. Mesti Berkaca Jika skenario di atas terjadi, maka yang sesungguhnya dirugikan adalah PDIP itu sendiri. Pertama, PDIP bisa ditinggalkan sendirian dalam peta politik Indonesia. Paling jauh, Nasdem yang dapat diandalkan dari KIH karena kedekatan Surya Paloh dengan Mega, tetapi partai-partai politik lainnya seperti PKB, Hanura dan PPP mungkin akan lebih cenderung ke Jokowi. Situasi ini jelas akan sangat merugikan PDIP. Tidak salah kalau ada pihak yang menyebutkan PDIP tengah menggali lubang kuburnya sendiri. Kedua, citra PDIP kian buruk di mata publik. Bukan rahasia lagi bahwa pendukung utama BG untuk menjadi Kapolri adalah Mega dan diduga Megalah orang yang mengusulkannya untuk menjadi pengganti Sutarman. Oleh karena itu, kalau PDIP tetap pada posisi seperti yang sekarang, maka kesan publik bahwa partai ini menghendaki orang yang berstatus tersangka sebagai pejabat publik kian menguat. Padahal selama ini partai ini selalu menampilkan diri sebagai partai yang anti korupsi. Dengan demikian, yang paling tepat dilakukan PDIP sekarang ini harus berani mengkritisi Polri yang seperti melakukan perlawanan terhadap institusi KPK bahkan menyerukan pembatalan pelantikan BG. PDIP seharusnya mendukung KPK sebagai lembaga penegak hukum (pemberantas koruopsi) yang paling dipercaya publik saat ini, bukan ikut merongrong KPK dengan melakukan pengaduan hukum yang tidak jelas junterungannya. Inilah saatnya bagi PDIP untuk melakukan evaluasi terhadap tindakan politiknya. Sudah semestinya partai ini berada terus di belakang Jokowi dalam memimpin pemerintahan ini. Bagaimana pun kehadiran Jokowi justeru lebih menguntungkan PDIP. Karena itu, kalau sampai ditinggalkan Jokowi, kuburan politik siap menelannya.

Tidak ada komentar: