Selasa, 25 Mei 2010

Nakhoda Baru Demokrat

Koran Jakarta, Selasa, 25 Mei 2010

Dinamika politik yang terjadi dalam Kongres ke-2 Partai Demokrat di Bandung sungguh menarik.

Sampai menjelang pemilihan, ketiga kandidat, yakni Anas Urbaningrum (AU), Andi Malarangeng (AM), dan Marzuki Ali (MA), tetap maju.

Isu dipanggilnya mereka oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) agar terjadi koalisi sehingga ada kandidat yang bersedia mengundurkan diri ternyata tidak terbukti di lapangan.

Ketiganya bergeming dengan keputusannya untuk menjadi orang nomor satu di partai bentukan SBY tersebut.

Realitas politik tersebut justru merupakan hal yang positif bagi demokrasi Indonesia.

Artinya, Demokrat telah menyuguhkan praktik demokrasi yang benar melalui kongresnya yaitu suara masing-masing peserta tidak (mau) “dibungkam” oleh elite, bahkan ketua dewan pembina sekalipun.

Kalau dibandingkan dengan kongres yang telah diselenggarakan PAN dan PDIP, kongres Demokrat jauh lebih maju.

Pada konteks PAN, misalnya, kehadiran Amien Rais menjadikan persaingan sirna dengan mundurnya Dradjad Wibowo.

Lebih-lebih pada kasus PDIP, baru ada suara yang mencalonkan tokoh selain Megawati saja sudah terberangus sedemikian rupa.

Oleh karena itu, kongres Demokrat kemarin dapat dipandang sebagai pembelajaran politik yang penting.

Dalam konteks tersebut, SBY sebagai Ketua Dewan Pembina cukup berhasil untuk memainkan kenetralannya selama kongres.

Meskipun kehadiran anaknya, Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas), di barisan pendukung AM yang dianggap sebagai representasi dukungan Cikeas sedikit banyak menodai kenetralannya, SBY mampu menahan diri untuk tidak menyatakannya secara eksplisit.

Hal ini, selain sikap hati-hati juga bisa dianggap sebagai sebagai strategi SBY untuk mencari aman, sehingga apabila kandidat yang didukungnya tersebut tidak menang, ia tidak akan kehilangan muka. Dan itulah yang terjadi.

AM yang oleh berbagai pihak disebut- sebut kandidat yang mendapatkan “restu” paling awal dari SBY ternyata gagal total.

Kemenangan AU

Dalam persaingan tersebut akhirnya AU tampil sebagai pemenang dengan perolehan suara yang meyakinkan, yakni 280 pada putaran kedua, mengalahkan MA yang hanya memperoleh 246 suara. Sedangkan AM sudah tersingkir pada putaran pertama.

AU tampil sebagai kandidat yang penuh dengan gagasan politik yang cerdas.

Sebagai seorang politisi, AU tidak terjebak pada aktifi sme belaka.

Ia tetap dapat meluangkan waktunya untuk berkarya.

Sampai saat ini AU sudah menelurkan kurang lebih sepuluh buah karya dalam bentuk buku.

Menjela kongres pun masih sempat menerbitkan dua terbarunya. kalau kemudian sebagai politisi atau intelektual.

Kemenangan kongres ini dari politik diusungnya.

tidak gencar melakukan kampanye politik di media massa seperti halnya AM.

Sebaliknya ia banyak melakukan kunjungan dan berdialog langsung dengan para pengurus DPD dan DPC seraya menawarkan gagasan-gagasan politik hidup mereka.

faktor kunci kemenangan adalah gagasannya memberdayakan DPD dan DPC antara lain dalam berbagai sehingga mereka bertanggung jawab atas berjalantidaknya keputusan tersebut.

ini agaknya dipandang sebagai terobosan yang menarik oleh kalangan DPD dan DPC, apalagi selama mereka hanya dianggap penting kalau memasuki masa baik presiden, legislatif, ataupun pemilukada.

keberadaan mereka kali hanya sebagai saja.

politik gagasan, ada yang daya tarik para peserta kongres.

Pertama adalah gaya politiknya. Dalam banyak hal, gaya politik AU identik dengan gaya politik SBY: santun, tidak emosional, akomodatif sehingga mudah diterima semua pihak.

Hal ini berbeda dengan gaya politik AM yang kadang-kadang terlalu “flamboyan” atau dengan MA yang masih kaku dan acap demam panggung.

Kedua, relasi politik AU terutama dengan sesama partai tampaknya lebih luas dari dua pesaingnya.

Hal ini karena AU, meskipun termuda, tetapi pengalaman organisasi politiknya justru lebih lama.

Ketiga, faktor Jawa.

Dalam konteks politik Indonesia dimensi kejawaan masih cukup kuat.

AU dalam hal ini sangat diuntungkan apalagi ia berasal dari Blitar yang merupakan asal-usul keturunan SBY juga.

AU telah resmi sebagai pengganti Hadi Utomo untuk menakhodai partai berlambang mercy tersebut selama lima tahun ke depan.

Oleh karena itu, beberapa hal sudah harus dipersiapkan.

Pertama, dalam setiap kali pemilihan yang melibatkan banyak kandidat, tentu ada banyak pihak yang saling berseberangan.

Maka, tugas pertama pemenang adalah merangkul semua kekuatan termasuk mereka yang dikalahkannya.

Dalam konteks ini, AU tidak akan kesulitan melakukan hal tersebut apalagi tidak terjadi friksi yang tajam selama kongres.

Kedua, ini yang sangat penting, yakni konsistensi atas janji politik untuk memberdayakan DPD dan DPC selama kepengurusannya.

Jika AU benar-benar merealisasikan apa yang telah ditawarkannya, tentu dukungan mereka akan terus menguat.

Bagaimanapun, kemenangan AU adalah kemenangan gagasan.

Karenanya, hal tersebut harus dijaga.

Ketiga, membentuk kepengurusan yang akomodatif.

Salah satu hal yang sangat penting adalah rencana menjadikan Ibas sebagai Sekretaris Jenderal.

Kehadiran Ibas tentu bukan hanya dipandang representasi kubu AM, melainkan yang lebih penting representasi keluarga Cikeas.

Bagaimanapun SBY yang terpilih kembali sebagai Ketua Dewan Pembina tetap merupakan figur kunci di Demokrat.

Penulis adalah Deputi Direktur Bidang Politik The Political Literacy Institute.

Tidak ada komentar: