Kamis, 27 Mei 2010

Anas dan Momentum Alih Generasi

Dimuat di Harian Tribunjabar, Kamis 27 Mei 2010

ALIH generasi di tubuh Partai Demokrat dengan tampilnya Anas Urbaningrum (AU) sebagai ketua umum menggantikan Hadi Utomo telah memberikan pembelajaran politik yang sangat berharga bagi seluruh rakyat Indonesia. Tentu saja peristiwa politik yang demikian penting tersebut sudah sepatutnya dijadikan momentum bagi perkembangan kualitas kehidupan demokrasi di negeri ini.
Ada sejumlah momentum yang kiranya dapat diambil dari proses alih generasi tersebut. Pertama, momentum tampilnya generasi muda. Kemenangan AU (41 tahun) dalam persaingan memperebutkan kursi tertinggi di Demokrat tak diragukan lagi merupakan kemenangan generasi muda. Dibandingkan dua pesaingnya, yakni Andi Malarangeng (AM) dan Marzuki Alie (MA), AU adalah kandidat termuda.
Sulit dimungkiri bahwa tampilnya AU sebagai representasi kaum muda akan berpengaruh pada kebangkitan kaum muda dalam kehidupan politik secara umum di republik ini. Bahkan bukan tidak mungkin akan memiliki efek bola salju (snowballing effect) terhadap partai- partai politik lain yang belum menyelenggarakan kongres. Kaum muda seolah telah diberi jalan untuk tampil merebut peran yang selama ini "dipertahankan" kaum tua dengan berbagai dalih.
Kedua, momentum demokrasi partai. Dinamika politik yang terjadi selama Kongres II Demokrat di Bandung jelas memperlihatkan proses demokrasi yang tak terbantahkan. Suara- suara arus bawah yang berasal dari DPC dan DPD dibiarkan bebas tanpa dikekang oleh kekuatan-kekuatan di atasnya. Elite paling berpengaruh di Demokrat, dalam hal ini Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), tidak berusaha melakukan intervensi politik kecuali sekadar membiarkan anaknya, Edhie Baskoro (Ibas), berada dalam barisan AM.
Sikap SBY tersebut, selain dapat menyelamatkan mukanya dari rasa malu seandainya memberikan dukungan secara eksplisit kepada AM yang ternyata kalah, juga menjadi semacam "tamparan" bagi partai-partai lain. Dalam konteks PAN, misalnya, intervensi Amien Rais sebagai tokoh yang paling berpengaruh menjadikan Kongres PAN tidak lebih sebagai ajang reuni keluarga. Lebih parah lagi yang terjadi di tubuh PDIP di mana kongresnya hanya sekadar ajang penahbisan ketua umumnya, bahkan kemunculan "riak" kecil pun segera dipadamkan. Karena itu, apa yang terjadi dalam Kongres II Demokrat jelas merupakan kemajuan demokrasi dalam kehidupan partai politik.
Ketiga, momentum politik substansi. Kemenangan AU sesungguhnya merupakan kemenangan politik substansi di mana gagasan politik merupakan faktor kunci. AU maju sebagai kandidat dengan berbekal seabrek gagasan dan visi politik yang jelas dalam kerangka menjadikan Partai Demokrat sebagai partai modern. Tidak berhenti sampai di situ, AU juga mengomunikasikan gagasan-gagasan politiknya tersebut kepada kader-kader Demokrat di DPD dan DPC seraya menawarkan keterlibatan mereka dalam pembuatan kebijakan-kebijakan partai. Tidak mengherankan kalau mayoritas DPD dan DPC kemudian memberikan dukungannya kepada AU.
Sementara itu, AM, kandidat dengan suara paling buncit sehingga terlempar di putaran pertama, merepresentasikan politik kemasan di mana pencitraan merupakan faktor kuncinya. Tim sukses AM dengan dimotori lembaga survei Fox Indonesia sejak jauh-jauh hari telah melakukan kampanye besar-besaran, baik melalui media-media massa maupun selebaran, pamflet, baliho, dan sebagainya. Sampai kongres dilaksanakan, baliho yang memajang foto AM merupakan yang terbanyak. AM dicitrakan sebagai orang yang paling bisa memahami SBY karena selama lima tahun telah menjadi juru bicaranya. Namun ternyata pencitraan semacam itu tidak membawa pengaruh yang signifikan.
Keempat, momentum demokrasi berbiaya rendah. Dari peristiwa terpilihnya AU sebagai nakhoda baru Demokrat dapat ditarik kesimpulan bahwa ternyata demokrasi tidak berbanding lurus dengan biaya mahal. Selama ini demokrasi kerap diidentikkan dengan pengeluaran biaya yang sangat besar. Hanya untuk menjadi seorang caleg, misalnya, seseorang harus mengeluarkan uang ratusan juta bahkan miliaran rupiah.
Namun ternyata realitas tersebut dipatahkan oleh kemenangan AU. Dibandingkan dua pesaingnya, gizi politik AU disinyalir paling minim. Karenanya, tim suksesnya tidak banyak melakukan kampanye secara besar-besaran. Tetapi diam-diam AU sangat intensif melakukan dialog dan komunikasi politik terutama dengan para pengurus DPC dengan bermodalkan gagasan politik. Dan pada kenyataannya AU mampu "menaklukkan" mereka untuk berada di belakangnya.
Ini tentu saja harus dijadikan pembelajaran politik bagi siapa pun yang ingin terjun ke dalam kehidupan politik. Bahwa siapa saja tanpa harus memiliki modal yang besar bisa berhasil menapaki karier politik asal ia tekun dan terus menerus belajar politik tiada henti.
Dari catatan di atas kiranya patut kita berharap bahwa apa yang telah disuguhkan Partai Demokrat melalui kongres keduanya tersebut akan menjadi investasi politik yang besar di masa- masa yang akan datang, bukan hanya bagi partai ini, melainkan juga bagi bangsa Indonesia. (*)

Tidak ada komentar: