Jumat, 08 Januari 2010

Menjadi Pewaris Gus Dur

Wafatnya KH Abdurrahman Wahid atau yang lebih akrab dipanggil Gus Dur merupakan kehilangan yang sangat besar bukan saja bagi warga muslim, khususnya kalangan Nahdliyin, melainkan bagi warga Indonesia secara keseluruhan. Berbagai pemikiran dan kiprahnya dalam kehidupan demokrasi Indonesia selama ini telah memberikan warna yang sangat penting bagi perjalanan demokrasi di negeri ini.

Ikon Demokrasi
Jika ada tokoh yang paling sering disebut-sebut sebagai ikon demokrasi di Indonesia, maka Gus Durlah orangnya. Hal ini tidaklah berlebihan karena peran Gus Dur dalam proses demokratisasi tidak terbantahkan. Kehadirannya di republik ini memang pas dengan momentum derasnya arus demokratisasi yang dipelopori Amerika Serikat dan kemudian disebarluaskan ke hampir semua negara di dunia, terutama Amerika Latin, Asia dan Afrika. Posisinya sebagai Ketua Umum PBNU di mana NU merupakan ormas terbesar di Indonesia juga sangat membantu kiprah Gus Dur tersebut.
Orang sulit melupakan bagaimana Gus Dur selama di PBNU mampu melakukan “perlawanan” terhadap rezim otoritarianisme Orde Baru di bawah kendali Presiden Soeharto ketika itu. Padahal ketika itu hampir semua tokoh dan institusi di Indonesia telah terkooptasi oleh negara melalui kebijakan korporatisme negara yang diterapkan penguasa Orde Baru selama kurang lebih 32 tahun. Tidak aneh kalau rumah Gus Dur menjadi tempat perlindungan, khususnya bagi mereka yang menjadi “musuh” Orde Baru.
Dalam konteks inilah kalangan pro demokrasi yang kemudian tumbuh subur di Indonesia, yang banyak terinspirasi oleh keberhasilan gerakan pro demokrasi di negara-negara Eropa Timur, terutama Polandia, menjadikan Gus Dur sebagai simbol perlawanan terhadap otoritarianisme yang notabene musuh demokrasi. Dan ketika rezim Orde Baru tumbang pada Mei 1998 Gus Dur berada di garda depan bersama tokoh-tokoh demokrasi lainnya.
Komitmen Gus Dur terhadap nilai-nilai demokrasi tidak lekang bahkan ketika nasib membawanya menjadi Presiden Republik Indonesia yang keempat. Terlepas dari gaya komunikasi politiknya yang kerap “membingungkan”, torehan prestasi Gus Dur dalam kehidupan demokrasi Indonesia, meskipun hanya memerintah selama kurang lebih 21 bulan (1999-2001), patut diacungi jempol.
Salah satu prestasi Gus Dur tersebut antara lain mengangkat orang sipil sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan (Mahfud MD) dan menunjuk Panglima TNI dari angkatan laut (Widodo Adi Sucipto). Kebijakan ini tentu dipandang sangat luar biasa ketika militerisme telah sangat mendominasi kehidupan politik Indonesia. Dengan cara ini supremasi sipil yang merupakan esensi demokrasi ingin ditegakkan Gus Dur. Demikian pula dengan dominasi angkatan darat di tubuh militer selama rezim Orba agaknya ingin dihapuskan Gus Dur karena mencerminkan ketidakadilan yang notabene tidak demokratis.

Pluralis Sejati
Tampaknya sulit mencari tandingan tokoh sekaliber Gus Dur mengenai komitmen terhadap pluralisme baik dalam pikiran maupun tindakannya. Kita kerap menemukan tokoh yang begitu vokal menyuarakan pluralisme tetapi cenderung menghindar dari penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
Namun Gus Dur tidaklah demikian, ia berbicara sekalius mengaplikasikan prinsip pluralisme di dalam kehidupannya. Dalam hal ini ada tiga prinsip yang senantiasa dipegang Gus Dur, seperti yang pernah diungkapkan salah seorang terdekatnya, Hermawi Taslim, yang menjabat Ketua DPP PKB yaitu, berpihak kepada yang lemah; anti diskriminasi dalam bentuk apapun; dan tidak pernah membenci orang sekalipun disakiti.
Oleh karena itu, pergaulan Gus Dur begitu luas, tidak saja dengan muslim tetapi juga dengan non-muslim. Ia tidak pernah membeda-bedakan orang dari latar belakang keagamaan dan kesukuannya. Ia akan segera kagum dan hormat kepada orang atau kelompok yang melakukan kebaikan meskipun agamanya berbeda. Sebaliknya, ia segera terusik manakala menyaksikan orang atau kelompok yang melakukan keburukan, meskipun seagama dengannya.
Gus Dur pun begitu dihormati oleh kalangan non-muslim yang merasa dibela kepentingannya. Penganut Konghucu, misalnya, luar biasa senang karena keyakinannya dimasukkan sebagai salah satu agama resmi dan Hari Raya Imlek dijadikan salah satu hari besar di Indonesia, padahal sebelumnya hal tersebut “ditelantarkan”.
Yang luar biasa adalah bahwa Gus Dur melakukan itu semua tanpa takut menghadapi resiko apapun, bahkan ketika kemudian dibenci oleh sebagian umat Islam. Ketika Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dibentuk, misalnya, Gus Dur merupakan tokoh muslim yang paling lantang menyuarkan penentangan. Tentu bukan karena membenci orang-orang muslim di situ, tetapi karena ia memandang organisasi tersebut akan menumbuhsuburkan politik aliran yang selama ini kerap itentang Gus Dur dengan prinsip plularalismenya. Kekhawatiran Gus Dur itu tidaklah berlebihan apalagi ketika ICMI sangat nempel dengan kekuasaan dengan menjadikan BJ Habibie, Wapres ketika itu, sebagai ketua umumnya.
Dan yang paling menghebohkan adalah keinginan Gus Dur saat menjadi Presiden RI untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel dan mencabut TAP MPR nomor XXV Tahun 1966 tentang Pelarangan Penyebaran Faham Komunisme, Fasisme dan Leninisme. Gelombang protes dari umat Islam ketika itu sangat besar dan Gus Dur menjadi sasaran ejekan, caci maki dan sebagainya. Namun Gus Dur bergeming, meski kebijakannya itu tidak berhasil digolkan, komitmennya terhadap hal tersebut tetap kuat.
Khusus tentang penghapusan pelarangan komunisme tampaknya didasari oleh keprihatian Gus Dur atas nasib yang menimpa anak cucu para mantan anggota PKI yang dipersulit oleh pemerintah. Gus Dur melihat bahwa mereka sesungguhnya tidak berdosa sehingga tidak pantas diperlakukan tidak adil atau diperlakukan secara diskriminatif. Lagi-lagi prinsip pluralisme Gus Dur tidak pernah pandang bulu.
Sesungguhnya masih terlalu banyak torehan prestasi Gus Dur dalam kehidupan demokrasi secara umum dan pluralism secara khusus di Indonesia. Kini Gus Dur telah pergi meninggalkan kita semua untuk selama-lamanya. Maka, selain doa yang selayaknya kita hantarkan untuk Gus Dur, yang terpenting adalah bagaimana kita sebagai generasi penerus menjadi pewaris-pewarisnya di kemudian hari. Selamat Jalan, Gus.

Tidak ada komentar: