Senin, 18 Januari 2010

Dilema Partai Matahari

Ibarat sebuah film, Kongres III Partai Amanat Nasional (PAN) di Batam berakhir antiklimaks, tanpa greget, tanpa kejutan. Penonton (publik) tentu merasa kecewa. Tadinya mereka berharap akan mendapat suguhan pertarungan yang seru antara dua kandidat ketua umum, Hatta Rajasa dan Drajad Wibowo, yang merepresentasikan dua kutub yang sangat jauh berbeda.
Perbandingan kedua kandidat tersebut ibarat Goliath melawan David. Yang pertama sarat dengan sumber daya politik sedang yang kedua sangat minim; yang pertama dilimpahi “gizi” politik yang seakan tak terbatas sedangkan yang kedua hanya mengandalkan gagasan dan keberanian; yang pertama telah banyak makan asam garam samudera politik sedangkan yang kedua boleh dikatakan masih anak kemarin sore dalam jagat politik.
Memang seandainya pun pertarungan dilanjutkan sampai babak terakhir, yang menang sudah dapat ditebak, “Sang Goliath”. Tetapi paling tidak, jika pertempuran itu tak segera “dipaksa” diakhiri di babak semi final, publik akan disuguhi sebuah perlawanan sengit yang diberikan “David” sampai titik darahnya yang penghabisan. Sebuah pertarungan untuk harga diri.
Sayangnya yang terjadi tidaklah demikian. Tidak ada pertempuran; tidak ada perlawanan. Semua aktor yang bermain di kongres tampaknya terlalu tunduk kepada “Sang Sutradara”. Hatta Rajasa, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Kabinet Indonesia Bersatu II, akhirnya menang dengan aklamasi. Dan Drajad Wibowo, pesaingnya, menjadi Wakil Ketua Umum (Waketum).

Realitas di atas sesungguhnya memperlihatkan bahwa Partai Matahari itu belum mampu menampilkan dirinya sebagai partai yang modern seperti yang diharapkan di awal pendiriannya. Salah satu cirinya adalah terlalu mengagungkan ketokohan seseorang, dalam hal ini Amien Rais.
Dari Kongres III PAN yang baru saja berakhir tampak dengan jelas bahwa ketokohan Amien Rais, ketua umum pertama, di kalangan kader-kader PAN begitu kuat. Amien Rais bahkan mampu memainkan peran sebagai sutradara sehingga bisa mengatur jalannya kongres.
Namun sayangnya, Amien Rais hemat saya, terlalu memaksakan diri untuk intervensi terlalu jauh ke dalam kongres. Ia seolah memanfaatkan ketokohan dirinya di PAN untuk menjadi “king maker”, sesuatu yang sesungguhnya dapat mengesampingkan dinamika demokrasi. Kongres yang berakhir dengan kemenangan aklamasi Hatta Rajasa pun sebenarnya bernuansa “pemaksaan”.
Sebagaimana diketahui bahwa menjelang pemilihan ketua umum, Amien Rais mengadakan pertemuan tertutup dengan Hatta Rajasa dan Drajad Wibowo. Setelah pertemuan terjadilah kesepakatan politik bahwa Hatta Rajasa menjadi Ketua Umum sedangkan Drajad Wibowo menjadi Wakil Ketua Umum. Artinya pemilihan secara voting seperti yang diagendakan tidak perlu dilakukan.
Dari sini terlihat bahwa ada “pemaksaan” yang dilakukan Amien Rais kepada Drajad Wibowo untuk tidak melanjutkan pertarungan. Hal ini, misalnya, terlihat dari pernyataan Drajad sendiri bahwa ia sebenarnya tidak mengundurkan diri sebagaimana yang diberitakan, ia hanya mengatakan bahwa Hatta Rajasalah yang berhak menjadi ketua umum.
Dengan demikian, jauh di lubuk hatinya Drajad Wibowo sebenarnya ingin terus melanjutkan pertarungan sampai titik akhir. Drajad Wibowo tentu tidak ingin menurunkan “derajat kewibawaannya” di hadapan publik, terutama para pendukungnya yang sempat menitikkan air mata pasca keputusan tersebut. Hanya saja ia tidak mampu menolak “titah” Amien Rais, orang yang sangat ia kagumi.
Realitas di atas menjelaskan bahwa PAN, sebagaimana partai-partai politik yang lain di Indonesia, sesungguhnya masih belum mampu menampilkan dirinya sebagai partai modern. Ini tentu menjadi pekerjaan rumah bagi Hatta Rajasa di masa depan. Apakah penunjukan Taufik Kurniawan sebagai Sekretaris Jenderal PAN dengan menyisihkan Hanafi Rais, putera Amien Rais, merupakan sinyal dari Hatta bahwa ia tidak ingin lagi bergantung pada ketokohan Amien Rais?

Dilema
Menjelang pemilihan Hatta Rajasa telah memberikan janji-janji politik di hadapan para kader PAN bahwa ia akan membawa PAN menjadi partai reformis, terbuka, modern dan tetap kritis. Mungkinkan ia melakukan itu semua dengan posisinya sekarang di kabinet dan kedekatannya dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bahkan disebut-sebut sebagai orang kepercayaannya?
Dari segi kapasitas dan kapabilitas politik, memang tidak ada yang meragukan Hatta Rajasa. Karir politiknya selama ini memperlihatkan dengan jelas bagaimana piawai dan lincahnya Hatta bermain politik. Tetapi seorang aktor politik tidak bisa melepaskan diri dari struktur politik (Teori Strukturasi Anthony Giddens). Seorang aktor, meski bisa berkreasi, tetapi tetap terikat oleh aturan-aturan dan sumber daya yang ada (struktur).
Sebagai ketua umum partai dan pada saat yang sama sebagai seorang menteri tentu Hatta Rajasa terikat oleh aturan-aturan yang dalam derajat tertentu membawanya pada posisi dilematis. Sebagai ketum partai ia dituntut harus membesarkan partai dan sebagai menteri ia diharuskan untuk mendahulukan kepentingan negara (rakyat). Dalam posisi seperti itu, bagaimana ia harus bersikap pada sebuah kebijakan negara yang, misalnya, tidak berpihak kepada kepentingan rakyat. Etiskah ia mengkritik padahal ia merupakan bagian dari pembuat kebijakan itu sendiri?
Dengan demikian, janji Hatta untuk menjadikan PAN tetap bersikap kritis sangatlah musykil. Bersikap kritis dari dalam sistem tentu bukanlah pekerjaan mudah. Salah-salah PAN justeru akan larut dan lebur ke dalam sistem yang ada tanpa bisa mewarnainya.
Satu hal yang pasti bahwa yang lebih diuntungkan oleh kondisi tersebut adalah SBY dan Partai Demokrat. Kemenangan Hatta kian mempertegas daya cengkeram kekuasaan SBY terhadap partai-partai pendukung koalisi. Semua ketua umum partai koalisi kini berada dalam “genggaman” SBY. Maka, SBY semakin mudah “menjinakkan” mereka demi melanggengkan kekuasaannya.
Maka, dalam lima tahun ke depan jika pemerintahan ini berhasil, pihak yang akan menikmati hasilnya tentulah SBY dan Demokrat. Sementara PAN hanya akan mendapatkan cipratannya saja. Sebaliknya, jika pemerintahan gagal, PAN akan kena getahnya.
Dengan posisi dilematis seperti itu, sungguh berat target yang dipatok Hatta bahwa pada Pemilu 2014 nanti PAN akan memperoleh 20 persen suara.

Tidak ada komentar: