Jumat, 09 November 2012

Dahlan Iskan Versus DPR (Jurnal Nasional, 06/11/2012)

Dahlan Iskan Versus DPR Iding R. Hasan* Hubungan antara Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Dahlan Iskan, dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tampaknya kian memanas. Hal ini bermula sejak munculnya surat edaran dari Sekretaris Kabinet (Seskab) Dipo Alam kepada pada menteri dan jajaran di Kabinet Indonesia Bersatu II. Surat edaran Nomor 542/Seskab/IX/2012 itu memuat tentang pengawalan APBN 2013-2014 dengan mencegah praktik kongkalikong. Setelah surat itu beredar, Dipo Alam mengakui telah menerima pesan singkat dari Dahlan yang menyatakan tentang masih adanya upaya pemerasan pada BUMN oleh oknum-oknum di DPR. Pernyataan Dahlan tentang adanya sejumlah oknum DPR sebagai pemeras BUMN inilah yang membuat gerah kalangan anggota legislatif. Apalagi kemudian pernyataan tersebut bocor ke publik dan beredar luas khususnya di jejaring sosial dengan menggunakan inisial sejumlah nama anggota dewan dari berbagai fraksi. Celakanya, apa yang beredar di tengah publik tersebut ternyata lebih banyak dari apa yang dilaporkan Dahlan. Menurutnya, ada sepuluh nama yang ia laporkan, tetapi yang beredar mencapai lima belas orang. Tentu ini membuat hubungan Dahlan dengan DPR kian runyam. Hubungan antara Dahlan dan DPR agaknya akan terus meruncing selama permasalahan pokoknya tidak segera diklarifikasi. Oleh karena itu, tidak heran kalau sejumlah pihak menghendaki agar segera diadakan pertemuan antara menteri BUMN dengan lembaga legislatif tersebut. Resmi dan Terbuka Sebetulnya sinyal untuk segera menuntaskan masalah benar tidaknya sejumlah oknum anggota dewan memeras BUMN sudah cukup jelas. Dahlan dalam berbagai kesempatan menyatakan kesiapannya untuk mengklarifikasi pernyataanya secara terang benderang jika diundang secara resmi oleh DPR. Artinya, menteri BUMN tersebut menghendaki agar pertemuan dilakukan secara resmi dan sekaligus terbuka bagi publik. Menurut penulis, permintaan yang dilakukan Dahlan tersebut sudah tepat dengan sejumlah alasan. Pertama, pihak yang kena getah dari pemberitaan tentang ulah sejumlah oknum anggota dewan sebagai pemeras BUMN adalah lembaga DPR itu sendiri. Karena itu, sudah seharusnya lembaga inilah yang mesti berinisiatif. Dalam hal ini, Badan Kehormatan (BK) merupakan pihak yang paling tepat untuk melakukan pemanggilan terhadap menteri BUMN untuk klarifikasi. Kedua, jika pertemuan tersebut benar-benar dilakukan, maka sudah seharusnya diadakan secara terbuka sehingga semua publik Indonesia mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Saat ini publik bertanya-tanya manakah yang berada di pihak yang benar. Sementara kalau pertemuan itu diselenggarakan secara tertutup, potensi untuk terjadinya “kompromi” antar kedua belah pihak cukup besar. Dan ini bisa memunculkan persoalan baru. Ketiga, secara prosedural-birokratis Dahlan sebenarnya sudah melakukan langkah yang benar. Ia melaporkan penemuannya kepada atasannya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan menginformasikannya kepada Dipo Alam sebagai Seskab. Bahwa laporannya itu kemudian bocor ke publik merupakan hal yang berada di luar kekuasaan dirinya. Keempat, pertemuan secara resmi dan terbuka jelas lebih etis daripada upaya tunjuk batang hidung secara langsung. Seperti diketahui bahwa sejumlah anggota dewan meminta Dahlan untuk langsung saja menyebutkan nama oknum-oknum terkait, bukan sekadar inisial saja. Padahal penyebutan nama seperti itu memiliki konsekwensi hukum yang tidak ringan. Kredibilitas Dari perspektif komunikasi, kredibilitas merupakan faktor yang sangat penting bagi seorang komunikator ketika menyampaikan pesannya kepada publik atau khalayak. Seorang komunikator yang kredibel tentu akan jauh lebih mudah memersuasi khalayak ketimbang sebaliknya. Dalam konteks ini, Dahlan sebenarnya berada dalam posisi di atas angin karena kredibilitasnya di mata publik lebih baik dari DPR dalam kaitannya dengan upaya pembersihan instansi dari praktik kotor korupsi. Rekam jejak (track record) Dahlan dan sepak terjangnya sejak menjabat sebagai menteri BUMN cukup meyakinkan publik. Komitemennya untuk bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya juga menambah catatan baiknya. Bahkan terhadap tudingan miring dari kalangan legislatif atas inefisiensi anggaran PLN sebesar 30 trilyun saat menjadi Dirut ia siap menanggung resikonya. Secara tegas Dahlan mengatakan, ikhlas di penjara jika tindakannya itu dianggap melanggar hukum. Ketegasan sikap tersebut justeru kian membuat DPR terpojok karena opini publik yang terbangun lebih berpihak kepada Dahlan. Oleh karena itu, satu-satu jalan untuk menyelamatkan muka lembaga ini adalah melakukan tindakan proaktif. Menunggu pihak Dahlan untuk berinisiatif melaporkan kasus tersebut ke BK sama saja dengan membiarkan opini publik terus berpihak kepadanya. Jelas hal ini tidak menguntungkan lembaga DPR. Mengedepankan egosime kelembagaan juga bukan pilihan yang bijak apalagi lembaga legislatif dan kementerian sebenarnya merupakan patner kerja. Selama ini apa yang dilontarkan kalangan legislatif lebih memperlihatkan egoisme kelembagaan saja atau ketersinggungan emosional terhadap perilaku Dahlan. Kebijakan-kebijakan Dahlan dalam menata organisasi kementerian BUMN pun, misalnya, kerap ditanggapi secara emosional oleh pihak legislatif. Oleh karena itu, duduk bersama antar kedua belah pihak merupakan langkah yang urgen. Tentu bukan sekadar pertemuan, melainkan berkomitmen untuk melakukan upaya pembersihan seperti dengan membuka secara jelas oknum-oknum anggota DPR yang terlibat. Dan jika benar-benar terbukti harus ditindak tegas dengan diberikan sanksi, baik administratif maupun pidana. Apalagi publik sebenarnya sudah tahu bahwa prakik-praktik pemerasan oleh segelintir oknum dengan beragam modusnya bukan hal yang baru. Ini sudah menjadi semacam rahasia umum karena sudah berlangsung sejak lama. Persoalannya adalah apakah DPR memiliki komitmen untuk memberantas berbagai praktik tindakan kotor di republik ini ataukah tidak. Jika pihak Dahlan sudah berkomitmen untuk siap buka-bukaan dengan konsekwensi apapun, termasuk ikhlas di penjara, seharusnya pihak DPR juga mempunyai komitmen yang sama. Sebab, jika ada komitmen bersama semacam itu, muara pertemuan tersebut tentu akan lebih jelas. *Penulis, Dosen Ilmu Politik UIN Jakarta dan Deputi Direktur Bidang Politik The Political Literacy Institute

Tidak ada komentar: