Sabtu, 22 Oktober 2011

Urgensi Wakil Menteri

Drama reshuffle kabinet yang tengah dipertontonkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ternyata menyimpan sebuah kejutan untuk para penonton (publik). Tiba-tiba SBY meng”audisi” sejumlah orang untuk menduduki pos wakil menteri di sejumlah kementerian. Sayangnya, kejutan yang diberikan sang aktor utama dari drama tersebut alih-alih membuat publik terpuaskan, justeru membangkitkan kekecewaan bahkan pandangan miring.
Beberapa calon wakil menteri yang telah diaudisi SBY adalah Ali Ghufron Mukti sebagai Wakil Menteri Kesehatan; Sapta Nirwandar sebagai Wakil Menteri Kebudayaan dan Pariwisata; Wardana sebagai Wakil Menteri Luar Negeri; Musliar Kasim sebagai wakil Menteri Pendidikan Nasional bidang Pendidikan; Wiendu Nuryanti sebagai Wakil Menteri Pendidikan Nasional bidang Kebudayaan; Mahmudin Yasin sebagai Wakil Menteri BUMN; Bayu Krisna Murti sebagai Wakil Menteri Perdagangan; Mahendra Siregar sebagai Wakil Menteri Keuangan; Rusman Heriawan sebagai Wakil Menteri Pertanian; dan Eko Prasojo sebagai Wakil Menteri PAN dan Reformasi Birokrasi.
Bagi banyak kalangan penunjukan beberapa orang calon wakil menteri tersebut menimbulkan sejumlah pertanyaan. Apakah memang urgen mengisi pos wakil menteri untuk meningkatkan kinerja kementerian sementara waktu yang tersisa kurang dari tiga tahun? Ataukah langkah tersebut sebagai bentuk kompromi politik SBY dengan partai-partai koalisi pendukungnya?

Kontra Produktif
Dilihat dari berbagai perspektif pun pengangkatan wakil menteri pada saat sekarang tampaknya kurang tepat. Bahkan boleh jadi akan menjadi kontra produktif dengan upaya peningkatan kinerja kementerian yang sesungguhnya menjadi tujuan utama dari perombakan kabinet.
Menurt hemat penulis, ada sejumlah alasan yang bisa dikemukakan sebagai argumentasi bahwa langkah tersebut kontra produktif. Pertama, dari sudut pandang konstitusi, yang dikategorikan sebagai pembantu presiden adalah menteri, sementara wakil menteri tidak termasuk. Oleh karena itu, dalam rapat-rapat kabinet, misalnya, wakil menteri tidak diundang kecuali kalau menteri terkait berhalangan hadir. Dengan demikian, keberadaan wakil menteri sebenarnya tidak signifikan, karena hanya sebatas pengganti saja.
Kedua, di setiap kementerian sebenarnya sudah ada jabatan sekretaris jenderal, direktur jenderal dan inspektur jenderal. Seharusnya untuk meningkatkan kinerja suatu kementerian yang mesti dioptimalisasikan adalah mereka-mereka tersebut, bukan dengan mengangkat pejabat baru. Dengan demikian, penambahan pos baru dapat dikategorikan sebagai langkah yang mubazir dan bahkan merupakan pemborosan uang negara.
Ketiga, pengangkatan wakil menteri jelas tidak sejalan dengan upaya reformasi birokrasi yang justeru sedang digalakan oleh pemerintahan SBY-Boediono. Menambah pejabat baru di sebuah kementrian jelas membuatnya semakin gemuk. Padahal isu perampingan birokrasi demi meningkatkan efektivitas merupakan problem utama yang harus diselesaikan dalam birokrasi kita. Dengan kata lain, efektivitas yang sebenarnya mesti dikedepankan, justeru kian terkendala.
Keempat, langkah SBY tersebut juga bisa dikatakan sebagai inkonsistensi pemerintah dalam mengeluarkan sebuah kebijakan. Belum lama ini, pemerintah mengeluarkan kebijakan moratorium PNS yang mulai efektif berlaku sejak 1 Agustus 2011 sampai 2012. Ini berarti, selama kurun waktu tersebut pemerintah tidak akan mengangkat pegawai negeri. Dengan demikian, penambahan pos wakil menteri seolah-olah berlawanan dengan kebijakan tersebut.

Kompromi Politik
Dari catatan di atas dapat ditegaskan bahwa pengangkatan pos wakil menteri tersebut jelas tidak semata-mata bertujuan untuk meningkatkan kinerja kementerian, melainkan ada tujuan politis tertentu. Sekalipun pihak istana menepis tudingan tersebut, namun publik yang cerdas tentu mampu mengendus aroma politis yang memang sulit ditutup-tutupi.
Tidak dapat dimungkiri bahwa ada nuansa kompromi politik di balik langkah tersebut. SBY agaknya tidak bisa berubah. Karakternya yang terlampau hati-hati atau peragu, tidak berani ambil resiko dan sebagainya tetap menonjol dalam perombakan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 2. Keistimewaan konstitusional yang dimilikinya menjadi tidak berguna sama sekali dalam kondisi seperti itu.
SBY agaknya tetap tidak mau bersitegang dengan partai-partai koalisi yang mendukungnya di parlemen meskipun ada di antaranya yang kerap melakukan manuver politik jelang reshuffle. SBY lebih memilih untuk tetap “merangkul” semua partai koalisi daripada harus ditinggalkan oleh mereka bahkan oleh salah satu dari mereka. Oleh karena itu, tidak akan banyak menteri-menteri yang berasal dari partai koalisi yang akan diganti oleh SBY.
Bagi SBY pilihan semacam ini tampaknya dianggap paling aman dan nyaman bagi dirinya dan pemerintahan. Namun di mata publik, pilihan tersebut justeru memperlihatkan betapa SBY tetap “tersandera” oleh politik koalisi. SBY seolah tidak berdaya berhadapan dengan partai-partai koalisi. Ini terlihat dari konsultasi SBY yang dilakukan dengan ketua-ketua umum parpol, sesuatu yang sebenarnya tidak mesti dilakukan jika mengingat bahwa pergantian menteri itu merupakan hak prerogratif presiden.

Tidak ada komentar: