Jumat, 07 November 2008

Dilema Caleg Perempuan

Sebagian besar partai politik (parpol) di Indonesia, sebagaimana diberitakan "PR", Kamis (21/8), tidak memenuhi kuota 30% bakal calon legislatif (caleg) perempuan pada pengajuan daftar nama caleg ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Menurut data KPU Kota Bandung, dari 38 parpol peserta Pemilu 2009, satu parpol baru memilih gugur sebagai peserta di tingkat Kota Bandung tanpa mengajukan daftar bakal caleg.

Realitas ini sesungguhnya bertolak belakang dengan upaya-upaya yang telah dilakukan para pembuat kebijakan politik di negeri ini untuk kian banyak melibatkan kaum perempuan dalam proses-proses politik. Telah ditetapkannya UU No. 10/2008 tentang Pemilu dan Peraturan KPU No. 18/2008 yang jelas-jelas menegaskan keberpihakan terhadap kaum perempuan ternyata tidak cukup ampuh untuk membuat kalangan parpol merangkul lebih banyak lagi kaum perempuan.

Komunikasi politik

Dalam perspektif komunikasi politik, parpol mempunyai sejumlah fungsi politik, seperti sosialisasi politik, artikulasi politik, agregasi politik, dan sebagainya. Jika komunikasi politik dimaknai, seperti diungkapkan Lynda Kaid, sebagai peranan komunikasi dalam proses politik (Handbook of Political Communication: 2004), fungsi-fungsi politik parpol pada praktiknya tidak akan dapat dilepaskan dari peran komunikasi. Artinya, tanpa kemampuan komunikasi yang baik, parpol tidak akan dapat menjalankan fungsi-fungsi politiknya secara efektif. Sosialisasi politik yang dilakukan parpol atas sebuah kebijakan, misalnya, tentu tidak akan berlangsung efektif jika kemampuan komunikasi politik parpol itu rendah.

Dalam konteks tidak terpenuhinya kuota 30% bakal caleg perempuan, hemat penulis, juga disebabkan antara lain karena gagalnya komunikasi politik parpol dalam menjalankan fungsi-fungsi politiknya, terutama fungsi agregasi politik. Agregasi politik artinya bahwa sebuah parpol sesungguhnya mempunyai fungsi untuk menghimpun atau menggabungkan berbagai kepentingan dan aspirasi politik para konstituen atau pemilihnya, termasuk di dalamnya adalah kepentingan dan aspirasi politik kaum perempuan. Kenyataan ini mengindikasikan secara jelas betapa kaum perempuan di republik ini, sekalipun telah dibantu UU, belum dijadikan sasaran utama oleh parpol untuk diagregasikan aspirasi politiknya.

Parpol-parpol di Indonesia dalam menyongsong Pemilu 2009 tampaknya lebih mengedepankan sisi pragmatisme politik ketimbang idealitas politik. Yang paling penting bagi parpol sekarang ini adalah bagaimana meraih suara sebanyak-banyaknya yang akan berimplikasi pada perolehan kursi legislatif dalam jumlah besar. Demi meraih tujuan tersebut banyak hal yang dilakukan parpol, di antaranya membuka pendaftaran bakal caleg secara terbuka kepada khalayak dan celakanya sering pula tanpa dibarengi seleksi ketat. Dalam situasi seperti ini, mereka yang mempunyai modal ekonomi yang kuat akan dengan mudah masuk menjadi bakal caleg. Lagi-lagi, kaum perempuan kian termarjinalkan karena jarang sekali yang termasuk di dalam barisan tersebut.

Pada sisi lain, artikulasi politik kaum perempuan itu sendiri dalam lanskap politik Indonesia juga memiliki problem yang cukup serius. Di tengah budaya patriarki yang sedemikian kuat dan dominan, yang menghinggapi parpol-parpol di Indonesia, artikulasi politik kaum perempuan menghadapi rintangan berat. Kaum perempuan acap kali hanya dijadikan sebagai "aksesori politik" belaka dalam sebuah parpol betapa pun mereka sebenarnya mempunyai kemampuan politik yang tidak kalah dari kaum laki-laki.

Dengan kata lain, yang dihadapi kaum perempuan di Indonesia dalam dunia politik dewasa ini lebih merupakan problem struktural ketimbang teologis dan kultural seperti pada waktu-waktu sebelumnya. Sekarang, hampir tidak pernah kita dengar lagi keberatan-keberatan yang bersifat keagamaan atau budaya yang mempersoalkan keterlibatan kaum perempuan dalam ruang-ruang publik. Jika sebelumnya kita pernah mendengar sebuah parpol melarang perempuan untuk menjadi presiden dengan merujuk kepada kitab suci, sekarang tidak ada lagi parpol yang menyuarakan hal itu.

Dengan demikian, jika menimpakan kesalahan atas terabaikannya kaum perempuan dalam pencalegan, tentu saja kalangan parpollah yang berada di urutan pertama. Ini berarti, komunikasi politik yang telah dibangun parpol-parpol selama ini belum menyentuh secara penuh kepentingan dan aspirasi politik kaum perempuan. Tentu kenyataan ini merupakan ironi karena pada awal diputuskannya kuota 30% caleg perempuan semua parpol menyambutnya dengan baik dan tidak ada satu pun yang mempersoalkan apalagi menolaknya.

"Affirmative action"

Ketika kuota 30% caleg perempuan ditetapkan beberapa waktu lalu ada sementara kalangan yang menilai bahwa keputusan tersebut tidak cukup elegan karena kuota tidak mengindikasikan sebuah perjuangan. Artinya kaum perempuan hanyalah diberikan jatah tanpa melalui sebuah usaha, padahal karier politik yang kuat adalah yang dilalui dengan tahapan-tahapan yang penuh kerja keras.

Pada satu sisi, penilaian tersebut ada benarnya. Namun kalau melihatnya pada aspek lain, yaitu bahwa realitas politik Indonesia yang masih didominasi budaya patriarki yang justru dilanggengkan hampir semua parpol, maka penilaian tersebut perlu ditinjau kembali. Asumsinya jika kaum perempuan tidak diberikan peluang melalui kuota tersebut, kecil sekali kemungkinan mereka dapat memasuki arena politik dengan leluasa. Faktanya, sudah ditetapkan pun kuota tersebut parpol-parpol tidak berhasil memenuhinya.

Oleh karena itu, penulis berpandangan bahwa kuota 30% hendaknya dilihat sebagai sebuah affirmative action dari kalangan parpol terhadap kaum perempuan. Artinya, parpol seharusnya menjadi sebuah instrumen yang kuat untuk memberikan daya dorong terhadap artikulasi politik kaum perempuan. Mereka tidak lagi dipandang sebagai aksesori politik belaka, tetapi menjadi bagian yang vital dari parpol untuk bersama-sama berjuang membesarkan partai. Tentu saja hal ini memerlukan kesadaran politik yang tinggi dari kalangan parpol, terutama elite-elitenya yang biasanya cenderung enggan berbagi kekuasaan dengan orang lain. Jika ini bisa dilakukan, seharusnya kuota 30% bakal caleg perempuan mudah dipenuhi.***

Sumber, Lihat Pikiran Rakyat, www.pikiran-rakyat.com, Senin, 25 Agustus 2008

Tidak ada komentar: