Oleh Iding Rosyidin*
Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) akhirnya merombak (reshuffle) kabinet. Ada lima menteri dan sekretaris kabinet yang diganti. Menko Polhukam Tedjo Adhy Purjiatno, Menko Perekonomian Sofyan Djalil, Menko Kemaritiman Indroyono Soesilo, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas Adrinof Chaniago, Menteri Perdagangan Rachmat Gobel dan Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto dipensiunkan.
Mereka diganti Luhut Binsar Panjaitan sebagai Menko Polhukam, Darmin Nasution menjadi Menko Perekonomian, Rizal Ramli menduduki Menko Kemaritiman, Thomas Lembong menjabat Menteri Perdagangan dan Pramono Anung selaku Sekretaris Kabinet. Sementara Sofyan Djalil digeser menjadi Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas.
Isu perombakan kabinet telah lama mengemuka. Hal ini dipicu antara lain persoalan ekonomi yang tidak kunjung membaik sampai hampir satu tahun pemerintahan Jokowi-JK. Indikator paling kasat mata menurunnya kinerja ekonomi karena nilai tukar rupiah yang kian melemah terhadap dolar AS. Belakangan nilainya makin melemah mendekati 14.000 rupiah per 1 dolar AS.
Bukan rahasia lagi, soliditas kabinet ini tidak terlampau kuat. Koordinasi kerja antarmenteri kerap tidak sinkron di mata publik. Yang paling menghebohkan ketika diduga salah seorang menteri menjelek-jelekkan presiden di tempat umum. Apakah perombakan kabinet cukup tepat untuk mengatasi berbagai masalah tadi? Dari sisi kenerja ekonomi, Menko Perekonomian Sofyan Djalil sejak awal memang dianggap tidak mumpuni karena latar belakang dan pengalamannya di bidang ekonomi kurang begitu kuat. Darmin Nasution penggantinya mungkin dianggap lebih mampu karena sebagai mantan Gubernur BI. Dia tentu menguasai masalah moneter, apalagi problem yang tengah dihadapi sekarang kemerosotan nilai tukar rupiah.
Kehadiran Rizal Ramli mungkin bisa menjadi sesuatu yang positif. Mantan menko perekonomian di zaman Pemerintahan Abdurrahman Wahid itu dikenal memiliki kemampuan kuat dalam bidang ekonomi. Meskipun ditempatkan sebagai Menko Kemaritiman, pengalamannya sebagai menko akan cukup membantu. Selain itu, aspek ketokohan Rizal Ramli akan menjadi poin tersendiri untuk kabinet kerja pascaperombakan. Secara psikologis, efeknya terhadap pasar cukup baik.
Hanya, mungkin yang menjadi pertanyaan banyak pihak ditunjuknya Thomas Lembong sebagai Menteri Perdagangan menggantikan Rachmat Gobel. Sebagai pengusaha muda, kapasitasnya masih dianggap belum memadai untuk mengatasi masalah-masalah perdagangan nasional.
Andi Widjajanto diganti Pramono Anung bisa menjadi salah satu perekat soliditas kabinet kerja. Santer diketahui bahwa terjadi kerenggangan hubungan antara Jokowi dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (Megawati Soekarnoputri) dalam waktu-waktu terakhir. Jokowi diberitakan mulai jarang berkonsultasi dengan Mega, sehingga hubungan keduanya semakin menjauh.
Menurut PDIP, penyebab renggangnya hubungan Jokowi- Mega adanya orangorang di sekitar Jokowi yang sengaja membatasi gerakan mantan Wali Kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta itu untuk bertemu Mega. Dalam bahasa Ketua Umum PDIP, mereka adalah orang-orang yang menyalip di tikungan. Ironisnya, orang-orang yang dituding tersebut nota bene adalah orangorang yang sebelumnya didukung PDIP seperti Andi Widjajanto.
Dalam konteks inilah, kehadiran Pramono Anung merupakan petanda positif. Dia dikenal sebagai tokoh lama PDIP dan mampu mengartikulasikan berbagai tema. Dia juga dekat dengan Mega. Pramono bisa menjadi jembatan penghubung yang tepat antara Jokowi dan Mega. Bagaimanapun Jokowi tidak bisa mengabaikan Mega karena PDIP-lah pengusung saat pemilihan presiden.
Koordinasi
Persoalan lain yang mesti diselesaikan adalah koordinasi kabinet. Jokowi harus mau mengubah gaya kepemimpinannya supaya koordinasinya berjalan lancar. Kebiasaannya blusukan mungkin perlu ditinjau ulang. Tentu bukan karena dianggap tidak baik, hanya mesti dilihat efektivitasnya.
Indonesia adalah sebuah negara, bukan provinsi, apalagi kabupaten atau kota. Cakupan geografinya sangat luas dan otomatis permasalahannya jauh lebih melimpah. Karena itu, blusukan tidak akan terlalu bermakna kalau terlalu sering dilakukan. Mungkin sesekali saja dilakukan pada tempat-tempat yang memang mendesak sekali untuk dilihat secara langsung.
Mungkin karena kebiasaannya itu Jokowi pada akhirnya kesulitan untuk koordinasi kabinet dengan baik, bahkan dengan wakilnya. Dalam beberapa kasus antara Jokowi dan JK sendiri terdapat perbedaan pendapat yang sayangnya tersajikan di tengah publik. Dalam masalah PSSI, misalnya, Jokowi dan JK memberi pernyataan berbeda. Jokowi cenderung setuju pembekuan, sedangkan JK sebaliknya. Dari sisi komunikasi organisasi, jelas ini sangat tidak baik.
Selain itu, Jokowi sendiri mesti memperbaiki perfoma komunikasinya di hadapan publik. Ia kerap kali membuat blunder dalam berkomunikasi. Salah menyebut tempat kelahiran proklamator Indonesia Bung Karno hanyalah satu dari sekian kekeliruan yang harus segera dibenahi.
Dari perspektif komunikasi, ini bisa mengurangi kredibilitas sebagai komunikator. Padahal kredibilitas, menurut Aristoteles dalam Rhetoric-nya merupakan salah satu faktor utama dari ethos komunikator. Begitu kredibilitas merosot, seorang komunikator akan sulit dipercaya publik. Jika tidak segera diperbaiki, kredibilitas Jokowi bisa bernasib begitu.
Terlepas dari itu semua, pascaperombakan kabinet pemerintahan Jokowi-JK harus segera bekerja keras terutama untuk mengatasi masalah ekonomi. Nilai tukar rupiah harus segera distabilkan karena inilah masalah yang paling rentan untuk merembet ke bidang-bidang lain.
Penulis Ketua Program Studi Ilmu Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Artikel dimuat dalam Kolom Opini Koran Jakarta, Jumat 14 Agustus 2015 dan bisa diakses di