Selasa, 29 November 2011

Zuhud Politik, Mungkinkah? (Republika, 29/11/11)

Meskipun di sejumlah negara kehidupan politik tidak selalu berkelindan dengan kehidupan yang glamor, namun tidak dengan di Indonesia. Terutama di masa-masa kini kehidupan politik di negeri ini sungguh kental dengan nuansa keglamoran. Para politisi pun tidak sungkan-sungkan untuk tampil perlente dan serba wah laiknya kaum selebriti. Mobil-mobil mewah tampaknya sudah menjadi bagian dari gaya hidup mereka.
Salah satu faktor kentalnya aroma ekonomi pada kehidupan politik di Indonesia adalah masuknya kalangan pengusaha ke dalam panggung politik. Inilah yang kerap disebut Andi Faisal Bakti, guru besar ilmu komunikasi di UIN Jakarta, dengan fenomena penguasaha. Artinya, terdapat kolaborasi antara penguasa dan pengusaha. Partai-partai politik sebagai pemasok terbesar politisi umumnya sangat bergantung pada pengusaha bahkan sebagian berhasil dipimpin oleh pengusaha.
Maka, tidaklah mengherankan kalau pengusaha-pengusaha yang sudah terbiasa hidup dengan kemewahan membawa kebiasaannya tersebut ke dalam kehidupan politik. Celakanya adalah para politisi yang tidak berlatar belakang pengusaha pun tidak sedikit yang terjangkiti kebiasaan hidup mewah tersebut. Yang lebih menyedihkan lagi adalah ketika mereka melakukan berbagaima cara ilegal seperti korupsi demi memenuhi keinginan hidup bermewah tersebut.

Zuhud
Konsep zuhud berasal dari terminologi ilmu tasawuf yang berarti tidak tertarik terhadap sesuatu atau meninggalkannya. Dalam hal ini, meninggalkan kehidupan duniawi demi mengejar kehidupan ukhrawi. Sebagian sufi ada yang esktrem memaknai zuhud dengan sama sekali meninggalkan dunia, bahkan sebagian dari mereka menyebutkan bahwa “dunia merupakan penjara bagi orang-orang beriman.” Dengan demikian, kalau orang masih terikat kehidupan duniawi, sulit baginya untuk mencapai kehidupan ukhrawi yang lebih baik.
Namun tidak semua pelaku tasawuf memaknai konsep zuhud sedemikian ekstrim. Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang biasa disebut HAMKA, dalam karyanya Tasawuf Modern Perkembangan dan Pemurniannya (1939), misalnya, menjelaskan bahwa zuhud adalah tidak ingin atau tidak demam terhadap dunia, kemegahan, harta benda dan pangkat. Artinya, seorang pelaku zuhud tidak berarti meninggalkan sama sekali dunia, namun hatinya tidak demam atau tidak terikat pada dunia.
HAMKA menegaskan bahwa pelaku zuhud menerima kemiskinan sebagaimana halnya ia menerima kekayaan. Saat ia mendapatkan kekayaan yang berlimpah ruah, ia tetap ingat akan kehidupan ukhrawi, sama seperti ia berada di dalam kemiskinan. Dengan kata lain, ia tidak sampai dikuasai atau diperbudak oleh hartanya, tetapi justeru ia lah yang menguasai hartanya tersebut untuk dimanfaatkan dalam kebaikan dan sesuai dengan proporsinya.
Di tengah gaya hidup hedonistik-kapitalistik yang tengah menjangkiti kehidupan para pejabat di negeri ini, khususnya para politisi Senayan yang kini banyak disorot publik, gaya hidup zuhud tampaknya memberikan tawaran yang mencerahkan. Tentu saja ada banyak manfaat atau hikmah yang dapat mereka peroleh jika, setidaknya, semangat zuhud mampu diejawantahkan dalam kehidupan politik mereka.
Pertama, kalau para wakil rakyat mampu menerapkan zuhud dalam kehidupannya, tentu ini akan menjadi teladan yang baik bagi rakyat. Salah satu problem akut bangsa ini adalah krisis keteladanan dari para pemimpin; rakyat seakan sulit sekali menemukan sesuatu yang dapat mereka teladani dari para elite di republik ini kecuali berbagai perilaku yang menyedihkan.
Argumen salah seorang anggota dewan yang mengatakan "Apa salah saya memiliki mobil mewah, toh saya membelinya dengan uang sendiri, bukan korupsi" agaknya memperlihatkan krisis keteladanan tersebut. Dia barangkali atau pura-pura tidak menyadari bahwa sebagai seorang elite, terlebih sebagai yang mewakili rakyat, perilakunya tersebut dapat memberikan pengaruh pada mereka. Kalau mereka hidup bermewah-mewah sebenarnya mereka sedang memberikan contoh gaya hidup seperti itu kepada rakyat.
Kedua, orang yang mampu menerapkan zuhud di dalam kehidupannya akan mampu membangun empati sosial terutama terhadap orang-orang yang menderita. Bagi para wakil rakyat, gaya hidup zuhud sangatlah mendukung pekerjaannya. Sejatinya para wakil rakyat bekerja semata-mata untuk memperjuangkan nasib dan aspirasi rakyat. Maka, jika mereka hidup bermewah-mewah tentu tidak akan merasa nyaman ketika berhadapan dengan rakyat yang sedang mereka perjuangkan karena terdapat kesenjangan yang demikian menganga.
Ketiga, pelaku zuhud tidak menemukan kenikmatan hidup pada perolehan materi yang berlimpah, tetapi pada bagaimana ia berbagi kepada orang lain dengan hartanya tersebut. Ia mampu mengendalikan hartanya, tidak sebaliknya harta yang mengendalikannya. Baginya, hidup dengan mencukupi semua kebutuhannya sudah dianggap baik, sekalipun tidak semua keinginannya terpenuhi.
Para politisi yang memiliki semangat zuhud di dalam jiwanya tentu tidak akan mengukur keberhasilannya dengan kepuasan materi yang di dapatnya selama menjabat. Tetapi bagaimana ia mampu menjalankan amanahnya tersebut dengan baik dan mendapatkan harta sesuai dengan hak yang semestinya ia peroleh. Dengan demikian, mereka tidak akan menghalalkan segala cara demi memperolehnya harta tersebut.

Spiritualitas Politik
Dunia politik praktis yang berlangsung di republik ini, bahkan mungkin juga di negara-negara lain, agaknya memang jauh dari kehidupan spiritual. Politik sampai saat ini masih lebih dominan dimaknai ala Harold Lasswell, siapa mendapatkan apa, kapan dan bagaimana. Dengan kata lain, ujung dari gerak politik adalah bagaimana memperoleh dan mempertahankan kekuasaan.
Sekarang ini jarang orang berbicara tentang politik sebagai pengalokasian nilai-nilai (allocation of the values) atau seperti yang ditekankan ilmuwan politik klasik semacam Plato mengenai kebaikan bersama. Politik dalam maknanya seperti ini justeru bisa menekankan masalah komitmen bersama untuk mendistribusikan nilai-nilai keadilan, kebaikan dan sebagainya.
Dalam konteks inilah, politik sesungguhnya bisa menampilkan aspek spiritualitasnya sehingga tidak terasa kering. Dan zuhud sebagai salah satu konsep yang berasal dari khazanah tasawuf barangkali bisa menjadi salah satu pembangkit spiritualitas politik. Mungkinkah?

Tidak ada komentar: