Rabu, 23 November 2011

Politik Transaksional Demi Mengembalikan Modal (Pikiran Rakyat, 24 Nopember 2011)

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) agaknya tidak pernah sepi dari sorotan publik. Setelah masalah gaya hidup hedonis yang dipertontonkan sebagian anggotanya yang kedapatan memiliki mobil supermewah, kini masalah yang jauh lebih parah kembali mendera mereka: praktik jual-beli pasal. Adalah Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, yang mencuatkan masalah ini ke tengah publik. Menurutnya, sejak tahun 2003 ada 406 kali uji materi terhadap produk UU, sementara yang dikabulkan MA ada 97 buah. Disinyalir bahwa salah satu penyebab buruknya produk legislasi di DPR adanya praktik jual beli pasal.
Sebenarnya praktik jual beli pasal bukanlah barang baru bahkan sudah merupakan rahasia umum yang kerap terjadi. Di masa Orde Baru, misalnya pada penghujung 1997, DPR pernah menghebohkan dunia politik tanah air ketika diundang ke sebuah hotel untuk membahas RUU Ketenakerjaan. Disinyalir bahwa dana yang digunakan untuk membiayai semua proses pembahasan RUU tersebut adalah dana Jaminan Sosial Tenaga Kerja (jamsostek). Menurut Abdul Latief, Menaker waktu itu, PT Jamsostek menyediakan dana 3,1 miliar untuk kepentingan tersebut.
Pada masa reformasi ternyata kecenderungan praktik jual beli pasal tidak juga surut. Beberapa indikator praktik kotor tersebut dapat dikemukakan. Pada periode 2004-2009 pembahasan RUU tentang Aceh Nangroe Darussalam di DPR mencuatkan dugaan praktik itu. Pada periode sekarang pun juga demikian, pembahasan beberapa RUU memunculkan dugaan praktik jual beli seperti UU Kesehatan, RUU Otoritas Jasa dan Keuangan dan sebagainya. Menghilangnya ayat tembakau dari UU Kesehatan kian menegaskan kecenderungan itu.
Salah satu akar masalah kecenderungan di atas adalah adanya politik transaksional sejak para anggota DPR masih menjadi caleg dan berkontestasi di dalam pemilu legislatif. Sudah bukan rahasia lagi bahwa politik uang (votter buying) umum dilakukan oleh para caleg ketika melakukan pencalonan pada pemilu. Seorang caleg pusatnya, misalnya, bisa mengeluarkan dana puluhan miliar demi memperoleh kursi di legislatif. Dan ketika mereka terpilih menjadi anggota legislatif, transaksi UU menjadi salah satu cara untuk mengembalikan modal dengan cepat.
Sayangnya menanggapi kritikan tersebut para anggota legislatif justeru bersikap reaktif. Mereka malah menantang Mahfud MD untuk membuktikan tuduhannya. Tentu saja reaksi tersebut dapat dinilai berlebihan oleh publik karena mereka seolah-olah ingin menutupi aib yang sesungguhnya sudah diketahui publik.
Alih-alih mempertontonkan reaksi yang berlebihan seharusnya para anggota legislatif bersikap bijak dengan menjadikan kritikan tersebut sebagai masukan dan koreksi internal atas kinerja mereka. Bahkan semestinya mereka mengajak semua pihak untuk bersama-sama mengawal semua pembahasan UU di DPR sehingga terhindar dari praktik-praktik yang menyakitkan hati rakyat. Bukankah UU dibuat untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia?
Kritikan itu sebenarnya juga bisa dijadikan masukan bagi partai-partai politik. Bagaimanapun, kecenderungan seperti ini tidak terlepas dari kesalahan partai yang tidak selektif dalam melakukan pencalegan. Banyak partai yang hanya menekankan aspek popularitas dan uang bagi caleg-calegnya, sehingga ketika mereka masuk ke lembaga legislatif, kualitasnya jauh di bawah standar dan mudah tergoda praktik-praktik haram demi mengembalikan modal.

Tidak ada komentar: