Rabu, 23 November 2011

Moralitas Politik Pejabat (Suara Karya, Selasa 22 Nopember 2011)

Gaya hidup hedonis di kalangan pejabat publik terutama sebagian anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belakangan ini marak disorot publik. Diketahui bahwa ada sejumlah anggota legislatif yang memiliki koleksi mobil seperti mobil super mewah asal Inggris, Bentley, yang harganya mencapai 7 milyar rupiah. Sementara itu di parkiran gedung DPR sendiri mobil-mobil mewah semacam Alphard acap terpampang di sana dan sudah menjadi pemandangan sehari-hari.
Tentu saja perilaku beberapa anggota dewan tersebut mendapat kecaman publik secara luas. Mereka dianggap tidak peka terhadap kehidupan rakyat yang sebagian besar tengah mengalami berbagai kesulitan ekonomi. Mereka seolah-olah hanya memikirkan kenyamanan dan kenikmatan hidup sendiri dan keluarganya saja, tanpa memikirkan kehidupan orang lain. Mereka seakan-akan membangun dunianya sendiri yang terpisah dari dunia orang lain.


Sayangnya argumen-argumen yang dikemukakan sejumlah anggota dewan yang kedapatan memiliki mobil mewah itu bersifat reaktif bahkan terkesan apalogetik. Setidaknya, ada tiga argumen yang mereka kemukakan terkait hal tersebut.
Pertama, sebagian anggota dewan mengatakan bahwa mengapa para politisi senayan yang selalu disorot padahal para pejabat publik di negeri ini pada umumnya juga bergaya hidup hedonis. Sungguh ironis kalau mereka berargumen seperti ini karena seolah menunjukkan ketidakpahaman terhadap posisi dan fungsi mereka sebagai anggota dewan. Mereka lupa bahwa DPR adalah lembaga yang mewakili rakyat dan duduknya mereka di lembaga terhormat tersebut karena suara rakyat.
Dengan demikian, gaya hidup hedonis mereka tidak saja bisa melukai hati rakyat yang justeru tengah dihimpit berbagai kesulitan hidup, namun juga mencerminkan ketidakpatutan bagi seseorang/kelompok yang mewakili rakyat. Di satu sisi mereka selalu mengatakan siap membela kepentingan rakyat, tetapi di sisi lain mereka terperosok ke dalam gaya hidup yang sangat kontras dengan kehidupan rakyat yang mereka hendak bela.
Kedua, sebagian anggota lainnya berargumen bahwa tidak apa-apa memiliki koleksi mobil mewah sepanjang didapat dengan cara yang halal atau tidak melalui korupsi. Boleh jadi hal itu benar karena banyak anggota dewan yang memiliki latar belakangan pengusaha sehingga sudah kaya raya sebelum menjadi anggota dewan. Namun harus diingat bahwa gaya hidup hedonis merupakan penyakit yang bersifat menular dengan cepat. Orang mudah tergoda untuk berperilaku yang sama ketika orang-orang di sekitarnya melakukan hal tersebut.
Secara sosiologis, faktor lingkungan sangat memengaruhi kehidupan sosial. Bukan tidak mungkin beberapa anggota dewan yang pada awalnya belum mengecap gaya hidup hedonis, kemudian bisa terpengaruh oleh perilaku anggota dewan lainnya yang hedonis. Celakanya, kalau sampai untuk mengikuti tren gaya hidup tersebut mereka melakukan korupsi supaya cepat dapat meraihnya. Ini sangat mungkin terjadi mengingat banyak anggota dewan yang semula diperkirakan bakal tahan terhadap godaan korupsi, tetapi setelah masuk lingkungan senayan ternyata tidak berdaya.
Ketiga, argumen sebagian anggota dewan yang menyebutkan bahwa masalah gaya hidup merupakan pilihan atas kehidupannya masing-masing yang tidak perlu diurusi dan diintervensi sungguh menyedihkan melihat posisi mereka sebagai elite masyarakat. Bukankah semua perilaku mereka akan dilihat oleh orang banyak yang sejatinya bisa diteladani? Padahal di negeri ini krisis keteladanan pemimpin tengah menggerogoti hampir semua ranah kehidupan. Maka, jangan disalahkan jika nanti rakyat yang mereka wakili meniru gaya hidup hedonis mereka.

Tidak Perlu Diatur
Betapa pun sikap hidup hedonis yang dipertontonkan sebagian anggota legislatif dan para pejabat publik di negeri ini sudah sedemikian mewabah, namun untuk mengaturnya di dalam sebuah peraturan, menurut hemat penulis, tidak perlu dilakukan. Masalah gaya hidup adalah masalah cara bagaimana orang memandang dan menikmati hidup dan kehidupannya. Dekan kata lain, ini sebenarnya menyangkut masalah moralitas atau etika hidup.
Pada sisi lain, masalah gaya hidup juga bisa dikatakan sebagai hak asasi setiap orang. Ketika seeorang memiliki kekayaannya dan kemudian menikmati kekayaan tersebut dengan caranya sendiri, maka sistem (negara) tidak perlu memaksanya untuk tidak melakukan hal tersebut melalui peraturan. Dan setiap pemaksaan, apapun bentuknya, akan dianggap sebagai sebuah pelanggaran, padahal belum tentu juga peraturan tersebut bisa efektif.
Maka, yang paling jauh dilakukan untuk mencegah hedonisme kian merebak adalah dengan memberikan himbaun moral, terutama dari kalangan pemimpin. Dalam konteks ini, reaksi Aburizal Bakrie, Ketua Umum Golkar, yang segera meminta kader-kadernya baik yang ada di legislatif maupun di luar untuk tidak mempertontonkan gaya hidup hedonis ke publik. Dan hal tersebut ternyata direspons positif oleh Bambang Soesatyo, salah seorang kadernya yang memiliki mobil mewah, yang berjanji untuk tidak mengikuti himbauan ketua umumnya.
Salah satu cara untuk mengekang gaya hidup hedonis adalah dengan menekankan gaya hidup asketis. Almarhum Nurcholis Madjid yang akrab disebut Cak Nur mengatakan bahwa sikap hidup asketis adalah kemampuan untuk mengingkari diri sendiri (self denial), tidak menikmati reward perjuangan dalam jangka pendek dan kesediaan untuk menunda kesenangan (to defer the gratification). Dengan demikian, orang yang asketis senantiasa mampu menahan diri untuk tidak mudah terperosok ke dalam gaya hidup yang sangat memuja keduniaan sekalipun peluang untuk itu sangat terbuka.
Orang dengan gaya hidup seperti ini sangat mudah untuk membangun empati terhadap kehidupan orang lain terutama mereka yang sedang menderita. Ia tidak segan-segan untuk memberikan sebagian hartanya untuk kebahagiaan orang lain karena mereka menemukan kepuasan batin justeru ketika mereka mampu berbagi dengan orang lain. Sebaliknya, tidak menemukannya ketika mereka menumpuk-numpuk harta atau mengoleksi barang-barang mewah seperti kaum hedonis.
Kiranya sikap hidup asketis seperti inilah yang sesungguhnya harus dimiliki para politisi di republik ini terutama para anggota dewan. Mereka justeru semakin akan menemukan kenyamanan manakala di berbagai forum menyuarakan pembelaan terhadap rakyat dan pada saat yang sama juga berperilaku asketis. Jika ini yang mereka lakukan, maka kepercayaan rakyat terhadap mereka jelas akan kian meningkat.

*Penulis, Deputi Direktur Bidang PolitikThe Political Literacy Institute, Dosen Ilmu Politik UIN Jakarta.

Tidak ada komentar: