Minggu, 20 November 2011

Pembekuan Ormas

Pernyataan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi dalam diskusi “Forum Penguatan Penghayatan Ideologi Pancasila” Senin 14/11 bahwa Undang-Undang Oganisasi Kemasyarakat (UU Ormas) akan direvisi terkait dengan aksi kekerasan agaknya patut disambut dengan baik. Pasalnya Mendagri berjanji bahwa setiap ormas yang kedapatan melakukan tindakan kekerasan akan langsung dibekukan tanpa melalui proses yang panjang dan berlapis. Pembekuan tersebut bakal dilakukan berbarengan dengan proses hukum kasus kekerasan yang dilakukan ormas.
Apa yang dilakukan mendagri tersebut tentu saja berbeda dengan UU tentang Ormas yang digunakan selama ini, yaitu UU Nomor 85 Tahun 1985. Menurut ketentuan UU tersebut, sebuah ormas hanya dapat dibekukan atau dibubabarkan bila telah melakukan beberapa kali pelanggaran. Persyaratan seperti ini dinilai terlalu lama membuat aparat negara kesulitan untuk mengeksekusinya secara segera sementara kekerasan yang dilakukannya demikian terang benderang.

Wajah Kekerasan
Sebetulnya bisa dikatakan sebagai sebuah anomali bahwa negara Indonesia yang terkenal dengan negara yang penduduknya agamis dan ramah justeru acap menghadirkan wajah kekerasan yang menyeramkan. Celakanya lagi bahwa berbagai tindakan kekerasan di negeri ini seringkali dilakukan dengan mengatasnamakan agama. Hanya karena kelompok tertentu dianggap “tidak sejalan” dengan pandangan keagamaan mayoritas, lalu dianiaya sedemikian rupa. Dengan kata lain, mereka telah menghadirkan wajah Tuhan yang menyeramkan di muka bumi ini.
Kecenderungan ini terjadi tidak saja pada lingkup internal agama tetapi juga tidak jarang terjadi antar agama. Sehingga toleransi yang kerap didengung-dengungkan sebagai budaya hidup penduduk Indonesia seolah terlindas begitu saja dan digantikan oleh intoleransi, primordialisme dan sebagainya. Banyak kasus yang bisa diangkat dalam konteks ini, seperti tragedi berdarah di Cikeusik (internal agama) atau tragedi yang menimpa Jamaat GKI Yasmin (antar agama). Tentu masih sederet kasus kekerasan lainnya yang bisa didaftar di sini.
Ironisnya adalah bahwa sejumlah kekerasan yang dilakukan ormas tertentu seolah-olah “dibiarkan” oleh negara, atau ada kesan bahwa negara seperti “melindungi” tindakan mereka. Kecurigaan tersebut semakin kuat ketika pelaku-pelaku tindakan kekerasan tersebut tidak segera ditindak. Pemerintah justeru berlindung di balik undang-undang yang ada, padahal sesungguhnya berbagai kasus tersebut bisa dimejahijaukan karena jelas-jelas merupakan tindakan kriminal.
Bukan hanya membiarkan, bahkan dalam derajat tertentu negara sesungguhnya telah “menciptakan” kelompok yang seakan-akan dibebaskan untuk melakukan tindakan kekerasan. Inilah pembacaan dari fenomena terbentuknya pamswakarsa, sebuah organisasi sipil yang diberikan pelatihan kemiliteran dan dibiarkan bertindak seolah-olah militer. Celakanya, hal ini menyelusup terhadap berbagai ranah kehidupan termasuk kebebasan beragama atau berkeyakinan.

Komitmen
Oleh karena itu, jika sekarang ini pemerintah mempunyai keinginan politik (political will) yang kuat untuk mengubah UU tentang Ormas khususnya terkait dengan pasal pembekuan patut disambut baik oleh berbagai kalangan. Dengan demikian, bakal ada peluang yang besar bagi aparat negara untuk segera menindak (membekukan) sebuah ormas jika melakukan tindakan kekerasan tanpa menunggu proses yang berbelit dan panjang.
Perubahan pasal pembekuan ormas yang melakukan tindakan kekerasan secara lebih sederhana dibandingkan UU terdahulu jelas merupakan langkah maju. Namun demikian, bukan berarti hal tersebut sudah cukup. Masih ada langkah lain yang justeru lebih penting dari sekadar perubahan, yaitu komitmen pemerintah. Perubahan UU tanpa disertai komitmen pelaksananya tentu akan muspra saja seperti yang terjadi pada sejumlah UU di negeri ini.
Komitmen tersebut setidaknya harus diejawantahkan negara dalam sejumlah hal. Pertama, tindakan kekerasan apapun bentuknya dan siapapun pelakunya merupakan tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan dalam perspektif agama manapun. Maka, jika ada pihak yang membiarkan apalagi melindungi tindakan kekerasan tersebut jelas harus dimaknai pula sebagai pihak yang turut melakukan tindakan kekerasan.
Kedua, pelaksanaan hukuman atau sanksi pembekuan terhadap ormas yang melakukan tindakan kekerasan harus dilakukan secara adil dan tidak pandang bulu, apalagi kalau hanya didasarkan pada kepentingan politik pemerintah. Selama ini, pemerintah terkesan membiarkan tindakan kekerasan sebuah ormas karena seolah mendapatkan “keuntungan” politik di baliknya. Kecenderungan seperti ini tentu harus dibuang jauh-jauh jika ingin UU ini berjalan efektif.

Menaikkan Citra
Satu hal yang selama ini seolah diabaikan oleh pemerintah adalah bahwa berbagai tindakan kekerasan di republik ini sejatinya telah mendegradasikan pencitraan negara ini khususnya di kalangan dunia internasional. Beberapa negara bahkan tidak sungkan-sungkan untuk menyatakan bahwa negara Indonesia sebagai negara yang menakutkan dan sebagainya.
Tidak heran kalau citra toleransi keagamaan di negara ini kian buruk bahkan kebebasan beragama atau keyakinan semakin hari semakin memperlihatkan wajah yang menyedihkan. Tidak berlebihan kalau menjelang Hari Toleransi Internasional yang jatuh pada 16 November 2011 ada sekelompok orang yang akan mengirimkan sebanyak 2011 kartu pos kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Tentu kartu pos tersebut bukanlah berisi ucapan selamat kepada presiden, melainkan permintaan agar presiden memberikan jaminan kebebasan beragama di Indonesia.
Oleh karena itu, kalau pemerintah ingin menaikkan kembali pencitraan tentang kehidupan toleransi di negeri yang kita cintai ini, maka perubahan UU tentang Ormas terkait pasal pembekuan tersebut mesti benar-benar dijalankan disertai komitmen yang kuat. Jika itu yang dilakukan, sangat mungkin kehidupan yang toleran dan harmonis antar para pemeluk agama (koeksistensi damai) yang sejatinya memang sudah menjadi ciri khas negeri ini akan kembali naik pamor di republik ini.

Tidak ada komentar: