SBY (Tidak) Sama
dengan Mega
Oleh: Iding Rosyidin
Jika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
bersedia kembali dicalonkan untuk menjadi Ketua Umum Partai Demokrat pada
Kongres di Surabaya bulan Mei ini, maka hampir pasti tidak akan terbendung. SBY
jelas masih merupakan simbol dan ikon dari partai yang berlambang logo mobil
merci tersebut yang sulit ditandingi. Dengan kata lain, tanpa harus
bersusah-payah pun SBY akan dengan mudah menjadi ketua umum.
Sebagai pendiri Partai Demokrat SBY
telah menjadi tokoh paling penting dari partai politik yang pernah berkuasa
tersebut. Magnet dan daya tarik SBY tampaknya masih tetap kuat di internal
Demokrat sehingga kehadirannya selalu dinanti-nantikan. Ia tetap menjadi sosok
utama yang dapat melakukan kohesivitas Partai Demokrat yang belum akan
tergantikan mungkin dalam waktu beberapa lama.
Dalam beberapa hal, keberadaan SBY
di Partai Demokrat sama dengan kedudukan Megawati Soekarnoputeri di Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Keduanya dipandang sebagai tokoh pemersatu
dan perekat semua faksi politik yang berada di partainya masing-masing.
Eksistensi keduanya menjadikan tokoh-tokoh lainnya hampir tidak terlihat atau
tidak dapat muncul ke pentas.
Jika Mega telah maju dan terpilih
kembali untuk menjadi Ketua Umum PDIP secara aklamasi, apakah SBY juga akan
melakukan hal yang sama? Pertanyaan ini menjadi menarik ketika sejumlah elite
Demokrat, terutama yang dikenal sebagai loyalis SBY, rajin menyuarakan ke publik
bahwa suara-suara arus bawah seperti yang direpresentasikan sejumlah DPC
Demokrat menghendaki agar SBY bersedia dicalonkan kembali sebagai Ketua Umum
Demokrat.
Ujian Kenegarawanan
Jika
kemudian SBY tergoda untuk maju kembali sebagai calon ketua umum dan bersedia
dipilih secara aklamasi seperti halnya Mega, peluangnya memang sangat besar.
Tetapi jika langkah itu yang diambil SBY, ada banyak persoalan yang justeru
tidak menguntungkan bagi SBY sendiri secara personal.
Selain akan dipandang tidak
konsisten dengan janjinya yang hanya akan mengawal Demokrat sampai kongresnya
yang sekarang ini, sisi kenegarawanan SBY juga akan dipertanyakan publik. SBY
yang sudah pernah menjadi Presiden Republik Indonesia selama dua periode dan
dalam beberapa hal dianggap cukup berhasil tentu bisa turun derajat
kenegarawanannya jika ia mau “merendahkan” dirinya dengan kembali menjadi ketua
umum.
Justeru sekaranglah saatnya SBY
memperlihatkan kepada publik bahwa ia bisa menjadi tokoh nasional atau guru
bangsa yang melampaui semua kepentingan parsial partai-partai politik. Ia sudah
harus berani keluar dari belenggu-belenggu sempit yang hanya akan mengerdilkan
dirinya dalam kerangkeng partai politik.
Apalagi SBY selama ini dikenal
sebagai pemikir politik yang cukup besar. Sekalipun berasal dari dunia militer,
tetapi ia bukanlah militer yang banyak bergerak di lapangan pertempuran,
melainkan lebih sering berkutat dalam pemikiran. Pengalamannya sebagak
Kassospol ABRI di masa lalu menjadi bukti yang tidak dapat dibantah.
Oleh karena itu, yang diperlukan
dari SBY sekarang ini adalah gagasan-gagasan politik besar untuk kepentingan
bangsa dan negara Indonesia ke depan. Sebagai pendiri partai yang kemudian
dinamainya dengan Demokrat, tentu SBY memiliki pandangan dan gagasan besar
tentang nilai-nilai demokrasi yang dijunjungnya. Maka, kalau ia hanya menjadi
ketua umum, selain dianggap tidak demokratis karena akan menutup ruang gerak
kader-kader potensial lainnya, juga ruang gerak pemikiran demokrasinya sendiri
menjadi terbatas.
Dengan kata lain, bagi SBY wadah
yang bernama partai politik sebenarnya terlalu kecil untuk dijadikan tempatnya
berkiprah dalam politik Indonesia. Ada banyak ruang atau forum besar lainnya
yang lebih tepat bagi SBY untuk melanjutkan perjuangannya sebagai tokoh bangsa.
Di sinilah terletak ujian yang
sesungguhnya bagi SBY. Apakah ia akan tergoda oleh bujukan-bujukan politik yang
senantiasa dihembus-hembuskan oleh para loyalisnya agar bersedia kembali
menjadi Ketua Umum Demokrat ataukah tidak. Jika tergoda, maka SBY tidak lebih
seperti Mega di PDIP yang senantiasa “dimitoskan” bahwa kalau orang lain yang
memimpinnya, PDIP akan hancur.
Tetapi jika pada akhirnya SBY mampu
berpikir jernih dan lebih mendahulukan kepentingan bangsa dan negara yang lebih
besar, maka kebesarannya sebagai tokoh politik nasional akan tetap terjaga. Ia
tidak bisa disamakan dengan tokoh-tokoh politik lain semacam Mega atau mungkin
Aburizal Bakrie (ARB) di Golkar yang mudah dibujuk rayu oleh para loyalisnya.
Tentu semuanya berpulang kepada SBY
sendiri. Apakah ia akan memilih sama dengan Mega atau sebaliknya mengambil
sikap yang berbeda dengannya. Masih ada waktu bagi SBY untuk
memertimbangkannya.
*Penulis, Doktor Komunikasi
Unpad dan Deputi Direktur the Political Literacy Institute.