Jumat, 09 November 2012

Jokowi Way, Gatra 18-25/10/2012

Jokowi Way Iding R. Hasan* Resmi sudah Joko Widodo (Jokowi) dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta periode 2012-2017 setelah dilantik pada Senin (15/10). Kini setumpuk pekerjaan telah menanti: kemacetan, banjir, kriminalitas, penataan birokrasi dan sebagainya. Tak ada jalan lain bagi Jokowi kecuali bekerja keras dengan irama yang cepat. Membangun Komunikasi Politik Langkah pertama yang harus segera dilakukan Jokowi adalah membangun komunikasi politik dengan berbagai pihak, termasuk kubu Fauzi Bowo (Foke) yang dikalahkannya. Bagaimanapun, sebuah kontestasi politik kerap meninggalkan residu kekalahan yang berpotensi menimbulkan konflik. Maka, sungguh elegan jika Jokowi bersedia merangkul dan mengajaknya untuk bersama-sama membangun Jakarta. Langkah ini tentu dapat menjadi pintu masuk bagi Jokowi untuk menjalin komunikasi politik yang seluas-luasnya, khususnya dengan partai-partai politik pendukung Foke. Tidak dapat dihindari, dalam memimpin kota ini, Jokowi akan sering berhadapan dengan mereka yang berjumlah mayoritas sebagaimana yang terepresentasikan di DPRD DKI. Sementara Jokowi hanya didukung PDIP dan Gerindra yang jumlahnya hanya 15 persen. Apalagi belakangan terhembus isu keretakan antara kedua partai tersebut yang disinyalir dipicu oleh naiknya popularitas Prabowo Subianto saat pilkada kemarin. Ucapan Megawati baru-baru ini tentang “penumpang gelap” kian memperteguh keretakan tersebut. Sebab, dari sisi konteks komunikasi, ucapan Ketum PDIP tersebut jelas ditujukan kepada Prabowo. Prabowo sendiri ternyata tidak menghadiri acara pelantikan. Realitas ini tentu menjadi pekerjaan tambahan bagi Jokowi untuk bisa menyolidkan kembali keduanya. Pada saat yang sama Jokowi juga dituntut untuk bisa menjalin komunikasi politik dengan para pemimpin dari kota-kota satelit di sekitar Ibu Kota Jakarta, seperti Bekasi, Depok, Bogor dan Tangerang. Pembangunan kota Jakarta tentu akan selalu bersinggungan dengan kota-kota tersebut. Karena itu, jika jika Jokowi berhasil berkomunikasi secara baik dengan mereka, penanggulangan terhadap berbagai problem di Jakarta akan lebih mudah dilakukan. Komunikasi Mendengarkan Masyarakat dengan tradisi oral yang kuat seperti Indonesia cenderung lebih suka berbicara daripada mendengarkan. Para pemimpin di republik ini, baik yang berada di ranah eksekutif maupun legislatif, umumnya lebih suka berbicara atau didengarkan daripada mendengarkan. Kecenderungan ini kian diperparah dengan mentalitas feodalistik warisan kolonial Belanda yang hanya mau dilayani, bukan melayani. Selama ini, kita bisa melihat dan merasakan betapa birokrasi yang berlangsung di Indonesia, dari hulu sampai ke hilir, memperlihatkan kecenderungan seperti itu. Pada level kelurahan atau desa, misalnya, para lurah atau kepala desa umumnya lebih mau didengarkan ketimbang mendengarkan dan lebih mau dilayani daripada melayani. Apatah lagi para pemimpin di level yang lebih atas. Oleh karena itu, salah satu pekerjaan Jokowi adalah mengubah mentalitas para birokrat Jakarta agar mempunyai mentalitas pelayan publik (public servant). Mentalitas ini dapat dibangun antara lain dengan sering melakukan komunikasi interaksional. Merujuk John R. Wenburg dan William W. Wilmot dalam The Personal Communication (1973), model komunikasi interaksional mengandaikan bahwa proses komunikasi berlansung secara dua arah. Komunikan atau penerima tidak bersifat pasif, melainkan aktif dengan senantiasa memberikan umpan balik (feed bacak) yang mesti direspons oleh komunikator. Dalam konteks ini, maka seorang pemimpin atau birokrat (komunikator) mestinya lebih mau mendengarkan rakyat (komunikan) daripada didengarkan, karena rakyat bukanlah sekumpulan orang pasif. Rakyat kerap memberikan umpan balik berupa aspirasi kepada pemimpinnya yang seyogianya direspons dengan segera. Jika ini berjalan dengan baik, pada akhirnya seorang pemimpin akan lebih mau melayani rakyatnya ketimbang dilayani. Jokowi yang dikenal sebagai figur sederhana dengan gaya komunikasinya yang populis secara genuine tentu memiliki potensi besar untuk mengubah mentalitas tersebut. Pengalamannya di Solo membuktikan bahwa ia merupakan tipikal pemimpin yang mau melayani dan mendengarkan rakyat ketimbang sebaliknya. Kini, setelah menjadi Gubernur Jakarta, ia, misalnya, telah berkomitmen untuk lebih banyak di lapangan daripada di kantor. Jelas ini merupakan pengejawantahan dari mentalitas tersebut. Simbolisasi gaya komunikasi Jokowi yang populis, misalnya, bisa dilihat publik setelah acara pelantikannya sebagai gubernur. Tanpa ragu dan canggung Jokowi menghampiri para pendukung (rakyat)nya. Ini dapat ditafsirkan sebagai sebuah simbol bahwa Jokowi siap untuk mendengarkan suara rakyatnya; bahwa Jokowi siap mendatangi mereka dan pada gilirannya siap melayani mereka. Komunikasi mendengarkan semacam inilah yang sebenarnya dirindukan dari para pemimpin di republik ini, bukan hanya pada level daerah tetapi juga nasional. Rakyat Indonesia tentu sudah sangat bosan bahkan gerah dengan pemimpin yang lebih banyak berkeluh kesah atau menumpahkan curahan hati (curhat) ke publik, karena seharusnya pemimpinlah yang mesti mendengarkan keluh kesah dan curhat rakyat untuk kemudian memberikan solusi. Salah satu efek positif dari komunikasi mendengarkan yang dilakukan seorang pemimpin adalah bahwa rakyat akan merasakan kehadirannya di tengah-tengah mereka. Dan bagi pemimpin sendiri, langkah ini bisa menjadi jalan untuk memahami aspirasi rakyat yang kemudian merealisasikannya dalam program kerja. Jika ini yang terjadi, tentu rakyat akan menganggap pemimpinnya sebagai milik mereka, bukan milik golongan atau partai tertentu. Bagi Jokowi, pengidentifikasian dirinya sebagai milik semua rakyat Jakarta, bukan milik partai tertentu sangat penting. Ini sekaligus dapat menangkis tuduhan sejumlah pihak bahwa sejak awal ia telah “ditunggangi” oleh kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Maka, selama Jokowi, dengan gaya komunikasinya yang populis, mampu “hadir” dan “bersama” dengan rakyat Jakarta, tudingan seperti itu lambat laun akan sirna. Jika berhasil dalam memimpin Ibu Kota Jakarta, maka, besar kemungkinan gaya komunikasi politik Jokowi selama memimpin akan menjadi role model bagi pemimpin-pemimpin lainnya di negeri ini. Inilah Jokowi way. *Penulis, Deputi Direktur The Political Literacy Institute, Dosen Komunikasi Politik FISIP UIN Jakarta

Tidak ada komentar: