Jumat, 09 November 2012

Efek Jokowi di Pilkada Jabar (Suara Pembaruan, 02/11/2012)

Efek Jokowi di Pilkada Jabar Iding R. Hasan* Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jawa Barat sebentar lagi akan digelar, yakni pada 2013. Sebagian partai-partai politik (parpol) telah menominasikan calon-calonnya. Sampai saat ini sudah tiga parpol yang telah menyatakan secara resmi calonnya untuk memerebutkan posisi Gubernur Jabar. Demokrat telah memutuskan Yusuf Macan Effendy (Dede Yusuf), Golkar menominasikan Irianto M. Syaifudin (Yance) dan PKS kembali menjagokan Ahmad Heryawan, masing-masing sebagai calon gubernur (cagub). Sementara PDIP tampaknya masih sedang mempertimbangkan untuk mengusung Rieke Diah Pitaloka. Yang menarik adalah bahwa perhelatan Pilkada Jabar 2013 digelar tidak lama setelah penyelenggaraan Pilkada DKI 2012 yang telah dimenangkan pasangan Joko Widodo (Jokowi)-Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Kemenangan Jokowi dianggap sebagai fenomenal, selain karena tidak terduga-duga, juga mampu mengalahkan petahana (incumbent) Fauzi Bowo (Foke) yang didukung oleh banyak parpol, seperti Demokrat, Golkar, PKS dan lain-lain. Sementara Jokowi hanya didukung dua parpol saja, yakni PDIP dan Gerindra. Mungkinkah kemenangan Jokowi akan memberikan efek terhadap Pilkada Jabar? Kekuatan Figur Dalam konteks pemilihan umum di Indonesia, baik dalam skala nasional seperti pemilihan presiden (pilpres) maupun lokal seperti pilkada, kekuatan figur tampaknya masih cukup dominan. Kemenangan Jokowi di Pilkada DKI 2012 yang belum lama berlangsung menjelaskan kecenderungan tersebut. Demikian pula kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Presiden Republik Indonesia pada dua pemilu, yaitu 2004 dan 2009. Dilihat dari realitas politik Indonesia seperti itu, maka parpol-parpol yang akan berkontestasi dalam Pilkada Jabar tampaknya memang lebih mengedepankan kekuatan figur. Itulah kenapa parpol-parpol besar telah menominasikan calon-calon yang diyakini merupakan figur-figur kuat di Jabar. Salah satu indikator kekuatan figur adalah popularitas. Dede Yusuf, misalnya, jelas memiliki popularitas yang tinggi antar lain karena faktor keartisannya. Yance, meski bukan artis, tetapi cukup dikenal di Jabar, selain mantan Bupati Indramayu yang dianggap sukses, juga sekarang menjabat sebagai Ketua DPD Golkar Jabar. Dibandingkan kader-kader beringin lainnya, Yance merupakan kader yang paling populer. Dominannya kekuatan figur dalam konteks politik Indonesia juga sebenarnya didukung oleh pola perilaku pemilih di negeri ini, termasuk di Jawa Barat. Salah satu lembaga survei pernah melansir hasil penelitian bahwa perilaku pemilih Indonesia, terutama di Jabar cenderung menyukai figur populer. Mereka pada umumnya tidak mau pusing-pusing memikirkan program yang ditawarkan calon. Ini bisa jadi merupakan penjelasan mengapa pasangan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf mampu keluar sebagai pemenang pada Pilkada Jabar yang lalu. Dalam konteks seperti inilah, maka parpol-parpol yang sekalipun telah menetapkan cagub populer masih tetap mencari pasangan yang populer juga. Dede Yusuf yang notabene cagub terpopuler masih dipandang perlu oleh Demokrat untuk dipasangkan dengan Rieke sehingga ada wacana koalisi Demokrat-PDIP. Demikian pula PKS mencoba menjajaki untuk menduetkan Heryawan dengan Deddy Mizwar, salah seorang aktor yang cukup populer. Yance juga sempat diwacanakan untuk berduet dengan Nurul Arifin, kader Golkar dari kalangan artis, hanya saja Nurul tidak bersedia. Realitas ini kian diperkuat oleh kecenderungan parpol-parpol di negeri ini yang sangat pragmatis dalam derajat akut. Parpol-parpol berharap bahwa figur-figur yang populer akan menjadi pendulang suara (vote getter) yang andal pada waktu pemilihan, sehingga mesin-mesin parpol tidak perlu bekerja terlalu keras. Dengan kata lain, parpol hanya memikirkan kekuasaan belaka dengan berupaya untuk meloloskan calonnya untuk mendapatkan kemenangan. Tidak penting benar apakah visi, misi dan program partai dapat diketahui dan diserap oleh publik ataukah tidak. Perlu Kehati-hatian Bahwa efek Jokowi akan terasa dalam perhelatan Pilkada Jabar mungkin sulit untuk dihindari. Namun, parpol juga harus berhati-hati dalam konteks tersebut. Artinya, Pilkada DKI tentu tidak sama persis dengan Pilkada Jabar. Karena itu, perlu ada perlakuan yang berbeda atau khusus terhadap Pilkada Jabar. Hal ini juga berlaku bagi partai PDIP sebagai pengusung utama Jokowi. Pernyataan sebagian elite PDIP untuk melahirkan "Jokowi"-"Jokowi" baru dalam sejumlah pilkada di Indonesia perlu disikapi secara kritis. Figur seperti Jokowi tidak dapat dibentuk secara instan apalagi dilahirkan melalui rekayasa. Jokowi menjadi tokoh seperti sekarang ini melalui proses yang alamiah, tidak dibuat-buat. Sikap kesederhanaan dan kepopulisannya, misalnya, merupakan sesuatu yang genuine. Karenanya, PDIP tidak boleh sembarang menentukan calonnya. Kemenangan Jokowi juga antara lain ditentukan oleh adanya cap kegagalan terhadap kepemimpinan Foke sehingga resistensi publik sangat tinggi. Maka, kemunculan Jokowi dengan kekuatan figurnya itu seolah menjadi alternatif yang menjanjikan perubahan nyata bagi publik Jakarta. Sementara dalam Pilkada Jabar, pasangan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf sekalipun tidak memiliki prestasi yang dianggap menonjol, tetapi juga tidak dipandang gagal oleh publik Jabar. Karena itu, para pesaing Heryawan tidak akan semudah Jokowi dalam berkontestasi. Dari sisi ini, parpol-parpol harus lebih jeli dalam menentukan calon dan pasangannya jika ingin keluar sebagai pemenang. Bagi PDIP sendiri, hemat penulis, pilihan yang cukup tepat adalah segera menetapkan Rieke sebagai cagub di Pilkada. Kepopuleran Rieke selama ini, bukan hanya karena faktor keartisannya saja, melainkan juga karena konsistensinya dalam memperjuangkan hak-hak orang-orang tertindas, seperti kaum buruh, TKI dan sebagainya. Ia bahkan kerap ikut turun aksi ke jalan ketika saluran-saluran komunikasi formal yang telah dilakukannya ternyata tidak berjalan sesuai yang diharapkan. Dengan demikian, sikap Rieke di atas bukanlah dibuat-buat atau artifisial, tetapi memang lahir dari dalam jiwanya. Wacana untuk menduetkan Rieke dengan Teten Masduki juga merupakan langkah yang tepat. Ini akan menjadi perpaduan yang pas dilihat dari berbagai segi. Dari segi jender, jelas ini merupakan hal yang tepat. Juga dari segi latar belakang politik antara orang parpol dan nonparpol. Koalisi antara orang parpol dengan nonparpol tentu akan jauh lebih mudah daripada antar parpol yang terlalu banyak melakukan tawar menawar (bargaining). Dari segi komitmennya terhadap pemberantasan korupsi, keduanya tidak diragukan lagi. Publik tahu bahwa selama ini Teten merupakan seorang pegiat antikorupasi dan pendiri Indonesian Corruption Watch (ICW) yang sangat kritis Bagaimanapun kecenderungan masyarakat Indonesia sekarang, tak terkecuali di Jawa Barat, sedang mengharapkan pemimpin-pemimpin yang mampu memberantas musuh terbesar di negeri ini, yaitu korupsi. Maka, jelas duet Rieke-Teten akan menjadi alternatif bagi para pemilih Jawa Barat. Tanpa harus berkoalisi dengan partai lainpun peluang pasangan ini sangat besar, apalagi fakta membuktikan bahwa koalisi parpol ternyata tidak berbanding lurus dengan suara arus bawah. *Penulis adalah Deputi Direktur The Political Literacy Institute, Dosen Komunikasi Politik FISIP UIN Jakarta

Tidak ada komentar: