Minggu, 23 September 2012

Pilkada DKI dan Evaluasi Partai Politik (Pikiran Rakyat, Senin 24/09/2012

Pilkada dan Evaluasi Partai Politik Iding R. Hasan* Kemenangan pasangan Joko Widodo (Jokowi)-Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) atas pasangan Fauzi Bowo (Foke)-Nachrowi Ramli (Nara) pada putaran kedua Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 20/09 kemarin, seperti yang dirilis oleh berbagai lembaga survei melalui hitung cepat (quick count), jelas merupakan tamparan keras bagi partai politik. Betapa tidak, partai-partai politik yang secara beramai-ramai mengusung Foke-Nara pada kenyataannya tidak mampu menjadikan Foke memerintah Jakarta untuk yang kedua kalinya. Pasangan Foke-Nara yang pada putaran pertama meraih total suara 34,05 persen seharusnya bisa menambah perolehan suara secara meyakinkan karena mendapatkan tambahan dukungan dari partai-partai politik seperti Golkar dan PKS yang pada putaran pertama mengusung calon sendiri. dari perolehan suara pasangan Hidayat Nur Wahid-Didik J. Rachbini yang diusung PKS sebesar 11,72 persen dan pasangan Alex Noerdin-Nono Sampono yang diusung Partai Golkar sebesar 4,74 persen saja tentu sudah cukup kalau solid. Tetapi ternyata bergabungnya dua partai politik besar dan menengah tersebut tidak memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perolehan suara Foke-Nara. Evaluasi Realitas yang tergambarkan dari Pilkada DKI 2012 tersebut mau tidak mau harus dijadikan evaluasi bagi partai-partai politik. Dalam konteks ini, hal yang paling harus dijadikan bahan introspeksi diri bagi partai politik adalah ketidaksinkronan antara kehendak elite partai dan aspirasi anggota partai. Mengapa keputusan yang telah dibuat para elite partai politik ternyata tidak dipatuhi oleh para anggota partai sehingga keputusan tersebut tidak dapat diwujudkan sesuai harapan? Tentu ada sejumlah alasan yang dapat dikemukakan terkait masalah tersebut. Pertama, ada kecenderungan umum di kalangan partai-partai politik Indonesia bahwa para petinggi partai politik kerap terseret oleh kepentingan segelintir elite partai sehingga dalam membuat sebuah kebijakan partai lebih berorientasi kepada mereka ketimbang pada basis massa di bawah. Kedua, kecenderungan pragmatisme kekuasaan di kalangan partai-partai politik di Indonesia sudah berada pada derajat yang cukup parah. Bahkan partai yang identik dengan partai kader yang ideologis seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sekalipun tidak dapat menghindarinya. Hal ini, misalnya, terlihat dari pilihan yang diberikan PKS pada pasangan Foke-Nara. Padahal dari segi pencitraan, partai yang kerap menampilkan dirinya sebagai partai yang bersih dan peduli ini, seharusnya lebih lebih menjatuhkan pilihan pada pasangan Jokowi-Ahok. Faktor “kue” kekuasaan disinyalir sebagai motif utamanya. Dari gambaran di atas semestisnya partai-partai politik di negeri ini segera menyadari dan mengubah performanya sehingga lebih disukai dan merasa dimiliki oleh basis massanya. Oleh karena itu, para elite partai politik harus sering turun ke bawah untuk menyerap aspirasi konstituennya sehingga berbagai keputusan yang akan dibuat partai lebih berorientasi pada aspirasi tersebut. Pencapresan Selaian evaluasi partai, hal yang mesti dipertimbangkan kembali oleh partai-partai politik, bercermin dari kasus Pilkada DKI 2012, adalah perlunya melakukan evaluasi pencapresan. Keunggulan kekuatan figur Jokowi dengan penampilannya yang bersahaya, merakyat, jauh dari kasus korupsi dan sebagainya sehingga mampu mencuri hati sebagian besar warga Jakarta jelas mesti dijadikan bahan evaluasi bagi partai, baik yang sedang mencari bakal calon presiden maupun yang sudah mengusung calonnya secara resmi. Tentu evaluasi tidak bisa bersifat asal-asalan atau hanya sekadar tambah sulam belaka, melainkan menyeluruh. Artinya, jika calon yang kini tengah dielus-elus atau bahkan diusungnya tidak memberikan pengharapan, maka, partai sebaiknya tidak perlu ragu untuk mengevalusi pencalonannya dengan mencari sosok-sosok lain yang lebih tepat. Dalam konteks Golkar, misalnya, langkah yang diambil partai beringin untuk tetap mencalonkan Aburizal Bakrie (Ical) dan sekarang mencari sosok pendamping yang lebih merakyat, karena terinspirasi sosok Jokowi, barangkali tidak akan berpengaruh banyak. Sebab, masalah utamanya justeru terletak pada sosok Ical yang jauh dari kesan-kesan merakyat, sederhana apalagi bersih. Kalaupun partai ini nanti menemukan sosok seperti Jokowi sebagai pasangan Ical, kecil kemungkinan untuk berhasil karena akan terkubur oleh problem yang ada pada diri Ical. Hal ini berbeda dengan Jokowi. Meskipun mendapatkan banyak serangan khususnya yang ditujukan pada pasangannya, Ahok, baik terkait SARA maupun cap sebagai politisi kutu loncat, namun semua itu mampu ditutupi oleh ketokohan Jokowi yang kuat. Sehingga berbagai serangan yang bertubi-tubi tersebut tidak memberikan pengaruh yang signifikan. Oleh karena itu, menurut hemat penulis, partai-partai politik di republik ini tidak perlu ragu untuk mengevaluasi kembali pencapresan yang telah dibuatnya jika ingin benar-benar memperoleh kemenangan. *Penulis adalah Deputi Direktur The Political Literacy Institute, Kandidat Doktor Komunikasi Unpad.

Tidak ada komentar: