Minggu, 23 September 2012

Artis dan Revolusi Cerdas DKI (Sindo, Kamis 20/09/2012)

Artis dan Revolusi Cerdas DKI Iding R. Hasan* Ada satu peristiwa yang cukup menarik perhatian publik jelang diselenggarakannya putaran kedua Pemilihna Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta, yaitu deklarasi Gerakan Revolusi Cerdas DKI yang digagas sejumlah artis ibukota pada Senin (17/09). Di antara beberapa artis yang terlibat dan hadir di dalam acara tersebut adalah Katon Bagaskara, Dedy Mizwar, Andre Hehanusa, Glen Fredly, Charles Bonar Sirait, Nugie, Sherina dan lain-lain. Gerakan tersebut pada intinya mengajak seluruh warga DKI untuk berpartisipasi aktif dalam Pilkada DKI 2012 ini. Dua hal penting yang dapat dimaknai dari peristiwa tersebut adalah keberadaan artis itu sendiri dan Gerakan Revolusi Cerdas DKI. Terkait dengan artis, dari perspektif komunikasi politik, keterlibatan mereka di dalam gerakan tersebut tampaknya memiliki makna yang cukup penting, setidaknya untuk eksistensi mereka sendiri di dalam kehidupan politik di Indonesia. Politik Substantif Ada sejumlah alasan yang dapat dikemukakan dalam konteks ini. Pertama, sebagai salah satu khalayak politik yang dapat dikategorikan sebagai apa yang disebut Dan Nimmo (1978) publik berperhatian (public attentive), para artis yang terlibat di dalam Gerakan Revolusi Cerdas DKI tersebut berhasil memperlihatkan pada publik secara umum konsern mereka atas isu-isu politik secara cerdas di republik ini, terutama dalam Pilkada DKI. Mereka boleh jadi akan dipandang sebagai orang-orang yang mempunyai kepedulian tinggi terhadap terselenggaranya kehidupan politik yang lebih baik dan bersih. Kedua, keterlibatan artis dalam gerakan politik yang bersifat subtantif seperti di atas setidaknya juga dapat menimalisasi persepsi negatif atau pandangan miring sebagian besar publik selama ini terhadap keberadaan mereka di dalam kehidupan politik. Sebagaimana diketahui bahwa keterlibatan para artis dalam politik, terutama sejak masa reformasi, mengalami eskalasi yang luar biasa baik di ranah legislatif maupun eksekutif. Di badan legislatif pusat, misalnya, terdapat delapan artis yang berhasil lolos. Namun sayangnya, keberadaan mereka, sebagian besar lebih banyak dipandang sebagai “aksesoris” politik belaka sehingga peran dan kiprah mereka kurang menonjol. Dalam pandangan salah seorang pakar komunikasi politik di Indonesia, Effendy Ghazali (2000), kehadiran kalangan artis dalam kehidupan politik mempertegas kenyataan bahwa politik Indonesia sangat mengedepankan politik pencitraan yang jauh dari masalah-masalah substansial. Ketiga, keterlibatan artis dalam politik dengan cara seperti ini sesungguhnya bisa menjadi semacam pembelajaran politik yang berharga bagi mereka. Ini merupakan modal politik yang jauh lebih bernilai dari sekadar popularitas yang mereka andalkan. Modal popularitas dalam banyak hal justeru kerap “merusak” proses politik demokratis yang tengah dibangun di negeri ini, khususnya dalam modernisasi partai politik. Salah satu ciri politik modern adalah tahapan kaderisasi yang berjenjang. Pertama rekrutmen atas kader-kader yang potensial. Tentu tidak dilakukan sembarangan atau asal comot saja. Kedua, pembinaan kader menjadi loyalis organisasi partai sehingga dapat menjadi seperti yang disebuh Daniel Katz (dalam Dan Nimmo 1989) politisi-politisi ideolog di kemudian hari. Ketiga, pendistribusian pada sumber-sumber politik baik di eksutif maupun legislatif. Rekrutmen artis oleh partai-partai politik di Indonesia jelas tidak melalui tahapan-tahapan seperti tersebut di atas. Partai politik merekrut mereka dan langsung masuk pada tahapan ketiga dengan menempatkannya sebagai calon-calon legislatif (caleg) maupun sebagai calon gubernur, bupati atau walikota dalam sejumlah pilkada. Akibatnya, mereka tidak dapat dapat memainkan peran politik yang substansial karena bekal politik yang masih sangat minim. Oleh karena itu, dengan semakin banyak artis yang mengawali keterlibatannya di dalam politik melalui gerakan-gerakan politik seperti Gerakan Revolusi Cerdas DKI tersebut, maka tingkat pemahaman mereka terhadap politik juga semakin baik dan meningkat. Sehingga jika suatu waktu benar-benar terjun di dalam kehidupan politik praktis, bekal politik mereka cukup memadai. Dengan demikian, skeptisisme publik terhadap eksistensi mereka di dalam politik pun dapat terkikis sedikit demi sedikit. Revolusi Cerdas DKI Terlepas dari pengagas Gerakan Revolusi Cerdas DKI adalah para artis ibukota, jelas gerakan ini patut diacungi jempol dan didukung oleh semua pihak yang mengharapkan kehidupan politik yang lebih baik dan bersih. Salah satu butir penting yang dikemukakan dalam deklarasi tersebut adalah hendaknya warga Jakarta berpartisipasi aktif dalam Pilkada DKI dengan mengawal proses demokrasi. Dengan kata lain, warga Jakarta bukan hanya sekadar mengikuti dan berpartisipasi saja dalam pilkada, melainkan juga mengawal hak-haknya, sehingga tidak dimanipulasi pihak lain. Satu hal yang sangat dikhawatirkan oleh berbagai kalangan adalah potensi kecurangan yang akan mungkin timbul dalam putara kedua Pilkada DKI 2012 ini. Tanpa bermaksud menuduh pihak-pihak tertentu, Pilkada DKI kerap diidentikkan dengan kecurangan dan kekerasan baik secara fisik maupun simbolik. Oleh karena itu, tanpa pengawalan yang ketat dari warga, boleh jadi potensi-potensi tersebut bisa muncul kembali. Dari sisi literasi politik, gagasan Gerakan Revolusi Cerdas DKI ini tentu sangat penting. Hal ini bisa menjadi semacam pendidikan politik yang baik bagi para pemilih Jakarta. Pendidikan politik yang baik umumnya mengacu pada tiga hal penting, yaitu pengetahuan politik (political knowledge), sikap politik (political attitude) dan keterampilan politik (political skill). Dalam konteks Pilkada DKI, misalnya, jika para warga mau menjadi pemilih yang cerdas tentu mereka harus memiliki setidaknya pengetahuan dan sikap politik. Misalnya, memilih kandidat Gubernur DKI harus didasarkan pada pengetahuan politik pemilih antara lain tentang rekam jejak (track record) baik saat sebelum maupun sesudah menjabat. Memilih tidak seharusnya didasarkan karena kedekatan keluarga, etnis dan juga agama. Peristiwa ini juga begitu penting karena terjadi di ibukota. Bagaimanapun Pilkada DKI merupakan barometer bagi pilkada-pilkada di tempat lainnya. Oleh karena itu, kalau Pilkada DKI dapat terselenggara secara bersih, tentu diharapkan akan menjadi lokomotif perubahan politik di seluruh Indonesia. *Penulis, Deputi Direktur Bidang Politik The Political Literacy Institute, Dosen Komunikasi Politik FISIP UIN Jakarta

Tidak ada komentar: