Jumat, 06 Juli 2012

Pekerjaan Rumah Golkar (Suara Pembaruan, 6 Juli 2012)

Gemuruh suara dukungan kader-kader Partai Golkar kepada Sang Ketua Umum Aburizal Bakrie (Ical) untuk menjadi calon presiden (capres) membahana di Hotel Aston, Bogor, pada Jum’at (29/6/2012) malam yang lalu. Acara yang bertajuk Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) III Partai Golkar itu pada akhirnya telah mengukuhkan secara resmi Ical sebagai capres tunggal dari partai beringin tersebut. Sebanyak 33 pengurus DPD tingkat I dan organisasi sayap partai seperti MKGR dan Soksi telah memberikan dukungan penuh terhadap pencapresan Ical. Pertanyaannya adalah apakah pengukuhan Ical secara resmi sebagai satu-satunya capres Golkar bisa menjadi penanda bahwa semua kalangan internal partai benar-benar telah menerima Ical sebagai kader yang paling layak dinominasikan sebagai capres? Dengan kata lain, apakah soliditas partai kuning tersebut benar-benar utuh? Ataukah masih ada ganjalan-ganjalan lain yang bisa menjadi batu sandungan pencapresan Ical pada 2014 mendatang? Soliditas Artifisial? Secara permukaan publik bisa melihat bahwa kader-kader Golkar tampaknya telah bersepakat untuk menjadikan Ical sebagai capres tunggal. Hal ini, misalnya, tampak dari persetujuan yang diberikan salah seorang tokoh senior yang notabene Ketua Dewan Pertimbangan Partai, Akbar Tanjung, atas pencapresan Ical. Akbar bahkan ikut hadir dalam acara pengukuhan pencapresan Ical. Padahal beberapa waktu lalu antar Akbar dan Ical telah terjadi perbedaan pendapat yang cukup tajam terkait dengan pencapresan tersebut. Namun kalau diteliti secara seksama persetujuan Akbar agaknya diberikan secara bersyarat. Akbar, misalnya, mengatakan bahwa meskipun telah menyetujui pencapresan Ical, ia tetap akan memantau elektabilitas Ical antara lain melalui sejumlah survei. Ini bisa diartikan, jika sampai mendekati waktu pemilihan umum (pemilu), elektabilitas Ical tidak sesuai dengan yang diharapkan, bukan tidak mungkin akan ada peninjauan ulang terhadap pencapresan Ical. Tentu saja “peringatan” yang diberikan Akbar tersebut tidak bisa dianggap sepele karena ia merupakan tokoh senior yang masih memiliki pengaruh kuat terutama di kalangan DPD tingkat II di kabupaten/kota. Sementara seperti yang telah diketahui bahwa para pengurus DPD tingkat II hanya dijadikan “penonton” dalam acara Rapimnas tersebut. Ini artinya, ada kemungkinan besar mereka berpaling dari Ical saat melihat grafik elektabilitas Ical yang tidak cukup menjanjikan. Pada sisi lain, ketidakhadiran Jusuf Kalla (JK) dalam acara Rapimnas juga bisa ditafsirkan sebagai bentuk kekecewaannya terhadap Golkar. Padahal JK disebut-sebut banyak kalangan sebagai tokoh Golkar yang lebih potensial untuk menjadi capres daripada Ical. Menurut survei yang dilakukan Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS), elektabilitas JK justeru berada di atas Ical. Ia hanya kalah dari Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri. Tentu saja ketidakhadiran JK bisa menjadi bibit perpecahan internal yang pada gilirannya berpotensi mengganggu soliditas partai. Sayangnya reaksi yang ditunjukkan elite-elite Golkar terhadap potensi perpecahan tersebut agaknya berlebihan atau tidak simpatik. Misalnya, Golkar siap memecat siapapun kader yang akan maju sebagai capres dengan menggunakan kendaraan partai lain. Jelas yang dibidik adalah JK. Selain itu, Golkar juga akan memberikan sanksi kepada pimpinan partai di daerah dan politisi di Parlemen yang tidak bertindak sebagai tim pemenangan atau tidak proaktif dalam pemenangan Ical sebagai capres. Tentu saja ancaman seperti ini dapat dianggap sebagai bentuk ketakutan yang luar biasa dari elite-elite Golkar akan ketidaksolidan kader-kadernya untuk mendukung pencapresan Ical. Dengan kata lain, mereka sebenarnya menyadari bahwa ada banyak potensi di kalangan internal partai yang tidak secara sukarela memberikan dukungan atas pencapresan Ical. Masalah Elektabilitas Ical agaknya berusaha membangun optimisme terkait dengan peluangnya sebagai capres Golkar. Salah satunya ia mencoba mengutip hasil survei yang dilakukan dua lembaga survei tanah air, yaitu Lingkaran Survei Indonesia (LSI) dan Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS). Menurut yang pertama, elektabilitias Golkar berada pada angka 20,9 persen, sementara menurut Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS), Golkar meraih 23 persen. Besaran angka tersebut mampu menggeser posisi dua partai besar lainnya, yaitu Partai Demokrat yang notabene partai berkuasa dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Namun sayangnya elektabilitas Golkar ternyata tidak berbanding lurus dengan elektabilitas Ical sebagai capres. Ada grafik kenaikan yang signifikan pada elektabilitas Golkar tetapi tidak pada elektabilitas Ical. Menurut Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS) pada 6/6/2012, Ical hanya mendapatkan 10,6 persen suara di 163 kabupaten/kota di 33 provinsi. Ia bahkan kalah oleh JK yang mendapatkan 14,9 persen suara. Tentu saja hasil survei tersebut menjadi ironi bagi calon yang dinominasikan Golkar. Pada saat yang sama, tingginya elektabilitas Golkar juga berpotensi terganggu oleh pemanggilan dua orang kadernya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang bertepatan dengan momen pengukuhan Ical sebagai capres terlepas dari apakah bersifat politis atau tidak. Kedua orang tersebut adalah Setya Novanto, Ketua Fraksi Partai Golkar, yang diperiksa sebagai saksi terkait kasus dugaan korupsi pembangunan venue Pekan Olahraga Nasional (PON) di Riau. Dan Zulkaernaen Djabar yang ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan Kitab Suci al-Qur’an di Kementerian Agama. Kasus yang terakhir ini jelas akan sangat berpengaruh terhadap citra Golkar di mata publik. Bukan tidak mungkin publik berasumsi bahwa terhadap hal yang berdimensi spiritual saja kader Golkar bisa melakukan korupsi, maka apalagi terhadap hal-hal yang bersifat duniawi. Maka, kalau partai beringin tidak segera bertindak, grafik kenaikan elektabilitasnya akan terhenti kalau tidak malah anjlok. Batu Sandungan Selain masalah di atas, ada hal lain yang juga berpotensi menjadi batu sandungan bagi pencapresan Ical. Pertama, terkait dengan lumpur Lapindo di Sidoarjo, Surabaya. Betapapun Ical berusaha “mengelak” dari penimpaan dirinya sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap korban-korban lumpur Lapindo, misalnya melalui jalur hukum atau publikasi melalui media-media yang dimilikinya, namun publik tetap memandangnya sebagai pihak yang bertanggung jawab. Kedua, Ical merupakan tipikal seorang pemimpin elitis atau tidak merakyat sehingga sulit baginya untuk mendapatkan dukungan dari arus bawah (grass root). Meskipun belakangan ia kerap melakukan safari politik ke berbagai daerah di Indonesia, namun tampaknya belum cukup maksimal dan juga tidak didukung oleh gaya komunikasi politik yang kuat. Ketiga, realitas bahwa Ical bukan berasal dari suku Jawa bagaimanapun masih menjadi persoalan dalam politik Indonesia. Sulit bagi seorang capres non-Jawa yang bisa memenangkan kontestasi mengingat dominasi Jawa masih berlangsung sampai saat ini. Dari paparan di atas, jelas terlihat banyak sekali pekerjaan rumah yang harus dibenahi Golkar jika ingin pencapresan Ical mendapatkan dukungan yang besar dari publik. Jika tidak, sangat sulit mengharapkan Ical untuk keluar sebagai pemenang pada Pemilu 2014.

Tidak ada komentar: