Jumat, 10 Agustus 2012

Jokowi Effect (Harian Sindo, 16 Juli 2012)

Kemenangan pasangan Joko Widodo (Jokowi)-Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam putaran pertama Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 11 Juli lalu sungguh menohok. Pasalnya, dalam catatan hampir semua lembaga survei menjelang digelarnya pilkada pasangan petahana (incumbent) Fauzi Bowo (Foke)-Nachrowi Ramli (Nara) selalu berada di posisi teratas. Sementara pasangan Jokowi-Ahok berada di posisi kedua dengan selisih yang cukup jauh. Namun dalam kenyataannya, dalam penghitungan metode hitung cepat (quick count) pasangan yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Geraka Indonesia Raya (Gerindra) tersebut unggul cukup signifikan dari pasangan Foke-Nara. Menurut data sejumlah lembaga survei, antara lain Lingkaran Survei Indonesai (LSI), pasangan Jokowi-Ahok 43,04% dan Foke-Nara 34,17%. Sedangkan menurut Indobarometer, Jokowi-Ahok 42,2% dan Foke-Nara, 33,8%. Tentu ada banyak faktor yang bisa dianalisis mengenai kemenangan pasangan Jokowi-Ahok yang mengejutkan tersebut sekaligus kekalahan pasangan petahana yang sebelumnya diunggulkan. Mulai dari keengganan publik terhadap pemimpin yang dianggap gagal sehingga mereka mendambakan adanya perubahan, branding kandidat yang terlalu berlebihan, mesin partai yang kurang berjalan baik, sosialiasi kandidat yang tidak maksimal dan sebagainya. Faktor Jokowi Namun dari semua faktor yang dapat memenangkan pasangan Jokowi-Ahok dalam putaran pertama Pilkada DKI adalah Jokowi itu sendiri. Ada sejumlah hal yang bisa dibaca dari Jokowi. Pertama, Jokowi dikenal sebagai orang yang memiliki integritas yang tinggi. Ia dianggap orang yang bersih, jujur dan sederhana karena itu ia menjadi kebanggaan warga Solo sehingga diberikan amanah untuk menjadi wali kota sampai dua periode. Tetapi mengapa publik tidak memilih Hidayat Nur Wahid (HNW) padahal ia juga dianggap sebagai orang yang bersih, jujur dan sederhana? Dalam konteks ini, Jokowi lebih diuntungkan oleh kompetensi yang dimiliki selama menjabat sebagai orang nomor satu di Solo yang dipandang berhasil dalam membangun kota Solo. Tentu publik Jakartapun berharap mempunyai seorang pemimpin yang bukan sekedar bersih, jujur dan sederhana melainkan juga kompeten sehingga bisa mengelola kota Jakarta secara profesional. Kedua, satu hal yang kuat menancap di jiwa Jokowi dan tidak terdapat di kandidat-kandidat lainnya adalah sikapnya yang merakyat. Sikapnya tersebut tampaknya bukan artifisial atau dibuat-buat melainkan sudah menjadi jiwanya. Dalam sebuah acara roadshow salah satu program televisi di Solo, misalnya, Jokowi tanpa sungkan duduk membaur dengan rakyat beralaskan lantai menonton acara tersebut. Seolah tidak ada sekat antara pemimpin dan rakyatnya. Bagi publik ini bisa dibaca sebagai simbol kemanunggalan antara kedua pihak. Ketiga, selain itu, Jokowi ternyata juga seorang yang cukup lincah dalam berpolitik. Jokowilah kandidat yang pertama melakukan silaturahim kepada kandidat lain pada saat penghitungan belum selesai. Meskipun ia menolak untuk menyebutnya sebagai penjajagan koalisi, tetapi bukan tidak mungkin langkah tersebut akan bermuara ke sana. Apalagi, kalau dirunut ke belakang, Hidayat merupakan salah seorang tokoh yang mendukung pencalonan Jokowi sebagai Wali Kota Solo. Dengan demikian, peluang untuk meraih simpati dari para pendukung HNW di putara kedua nanti cukup besar. Semua hal terkait personalitas Jokowi tersebut didukung oleh branding yang tidak terlampau berlebihan yang dibuat oleh tim suksesnya. Baju kotak-kotak yang terus menerus digunakan Jokowi sampai menjelang pilkada, misalnya, jelas sebuah branding yang merupakan simbol kesederhanaan dan kemerakyatan. Iklan yang memperlihatkan Jokowi akrab dengan kalangan menengah ke bawah dan dukungannya terhadap proyek mobil nasional Esemka juga menjadikan ketokohannya semakin kuat sebagai calon pemimpin. Efektifkah Isu SARA? Satu hal yang dikhawatirkan banyak kalangan pada putaran kedua Pilkada DKI pada September mendatang adalah munculnya isu-isu primordialisme terkait agama, suku dan ras. Jelas yang dituju adalah pasangan Jokowi-Ahok. Sebagaimana diketahui bahwa Ahok berasal dari agama dan etnis yang minoritas di republik ini, sehingga ia akan menjadi sasaran empuk para pendukung rivalnya. Sekarang pun di ranah media sosial sudah mulai ada yang menghembuskan isu tersebut. Namun menurut hemat penulis, isu-isu berbau primodialisme tidak akan cukup efektif untuk menggoyang seorang kandidat pada waktu sekarang ini. Ada sejumlah alasan yang dapat dikemukakan. Pertama, publik hari ini, terutama di Jakarta sebagai kota metropolitas, sudah cerdas yang ditandai antara lain dengan rasionalitas dalam menentukan pilihan politik. Bagi mereka, orang yang mampu mengatasi persoalan-persoalan besar yang dihadapi ibukota seperti kemacetan, banjir dan kriminalitas itulah yang layak dipilih sekalipun bukan berasal dari golongan mereka. Kedua, era primordialisme yang di masa lalu dikenal dengan sebutan politik aliran sudah kehilangan konteksnya. Memang pada masa Orde Baru ketika politik hegemoni rezim Orba begitu dominan yang membuat kalangan islam politik terpinggirkan dari mainstream politik Indonesia, politik aliran cukup efektif. Tetapi hari ini di era reformasi, ketika tidak ada lagi politik hegemoni, hal tersebut sudah tidak bisa diharapkan. Ketiga, pendukung yang menyuarakan isu primordialisme bukan tidak mungkin akan mendapat labelling sebagai kalangan yang ingin menodai prinsip pluralisme yang termanifestasikan dalam kebhinekaan masyarakat Indonesia. Maka, jika mereka benar-benar menyuarakan isu tersebut dalam rangkan menjegal pasangan Jokowi-Ahok justeru akan menjadi bumerang bagi kandidat yang diusungnya. Karena itu, mereka harus berpikir seribu kali jika mau melancarkan isu tersebut. Dari catatan di atas, penulis meyakini bahwa pada putaran kedua nanti peluang pasangan Jokowi-Ahok masih tetap besar untuk kembali memenangkan kontestasi. Memang di pasangan ini, ada kelemahan pada diri Ahok di luar persoalan SARA, antara lain mudahnya ia berganti-ganti partai politik sehingga bisa dicap sebagai kutu loncat. Namun untungnya hal tersebut tertutup oleh ketokohan Jokowi sehingga tidak berpengaruh banyak jikapun dijadikan sasaran serangan. Demikian pula dengan kecenderungan partai-partai koalisi nasional seperti Golkar dan PKS akan mengalihkan dukungan pada pasangan Foke-Nara juga tidak akan berpengaruh signifikan. Masalahnya seringkali keputusan elite-elite politik tidak berbanding lurus dengan aspirasi massa akar rumput. Salah satu faktor kekalahan pasangan yang diusung PKS dan Golkar adalah adanya kecenderungan tersebut. Semua itu tentu akan menjadi kecenderungan yang positif bagi pasangan Jokowi-Ahok. Dengan demikian, Jokowi effect diyakini akan terus memancarkan magisnya pada putaran kedua Pilkada DKI September mendatang. Butuh kerja keras yang luar biasa dari timses Foke-Nara jika ingin mengalahkan pasangan Jokowi-Ahok.

Tidak ada komentar: