Jumat, 06 Juli 2012

Menakar Duet Ical-Pramono (Jurnal Nasional, 13 Juni 2012)

Belakangan ini muncul wacana untuk menduetkan Ketua Umum Partai Golkar, Aburizal Bakrie (Ical), dengan KASAD Pramono Edi Wibowo sebagai pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) pada 2014. Gagasan ini tidak bisa dianggap main-main karena dilontarkan oleh para petinggi Partai Golkar seperti Akbar Tanjung (AT) yang notabene merupakan Ketua Dewan Pertimbangan partai beringin tersebut. Wacana ini tampaknya terus mendapatkan sambutan positif di kalangan kader-kader Golkar. Sebagaimana diketahui bahwa Golkar telah bulat untuk menjadikan Ical sebagai capres tunggal pada Pemilihan Presiden (pilpres) 2014. Sayangnya dalam sejumlah survei yang dilakukan oleh banyak lembaga survei di Indonesia posisi Ical selalu berada pada kisaran menengah ke bawah. Oleh karena itu, salah satu cara yang harus ditempuh partai ini adalah mencarikan pasangan yang ideal. Di antara sekian nama yang telah digodok akhirnya pilihan jatuh pada Pramono. Ada sejumlah pertimbangan yang dilakukan Golkar dalam konteks ini. Pertama, realitas politik Indonesia sampai hari ini masih tetap menjadikan unsur Jawa sebagai faktor determinan dalam pemilihan presiden. Sejak Soekarno jabatan presiden selalu dipegang oleh orang Jawa. Hanya pernah ada satu presiden non-Jawa di republik ini, yaitu BJ Habibie, itupun sesungguhnya tidak dapat dianggap sebagai pengecualian karena ia tidak dipilih rakyat, melainkan langsung ditunjuk oleh mantan Presiden Soeharto saat lengser dari jabatannya. Dan Pramono adalah representasi orang Jawa sehingga akan banyak membantu Ical yang non-Jawa. Kedua, pakem duet sipil-militer juga masih tetap relevan dalam konteks politik Indonesia. Meskipun militer, atau tepatnya Angkatan Darat, telah mendapatkan stigma buruk di kalangan masyarakat terutama selama masa Orde Baru, namun fakta politiknya kehadiran militer masih tetap dibutuhkan di kalangan masyarakat Indonesia sampai saat ini. Pramono yang memiliki darah militer tulen diyakini memiliki tingkat elektabilitas yang tinggi sehingga sangat tepat jika berpasangan dengan Ical yang notabene orang sipil. Ketiga, kolaborasi sesama partai besar, dalam hal ini Golkar dan Demokrat, di atas kertas sangat potensial untuk memenangkan persaingan pemilihan presiden meskipun dalam realitasnya tidak selalu berbanding lurus antara hasil pemilihan legislatif (pileg) dan pilpres. Namun begitu, hasil pileg tetap akan menjadikan acuan partai dalam menominasikan calonnya. Dan menduetkan Ical dengan Pramono menjadi sangat penting karena faktor ketokohan Pramono, antara lain dikenal bersih dan tidak ambisius, sehingga bisa menjadi kredit poin dalam pilpres nanti. Keempat, dalam berbagai kesempatan para petinggi Golkar mengemukakan keyakinaanya bahwa partai ini akan keluar sebagai pemenang dalam Pileg 2014 melihat partai rivalnya, terutama Demokrat tengah menghadapi berbagai kemelut politik. Jika ini yang terjadi, tentu Golkar akan sangat percaya diri untuk menjadikan tokoh-tokoh lain sebagai cawapresnya termasuk Pramono. Sebaliknya, tokoh-tokoh lain akan sulit menolak ajakan partai beringin tersebut. Langkah Musykil Jika Golkar begitu antusias dan ngebet untuk untuk menduetkan Ical dengan Pramono, lain halnya dengan Demokrat. Partai berlambang mercy ini bahkan terkesan menghindar dari pembicaraan tersebut. Sejumlah elite Demokrat bahkan segera memberikan reaksi mulai dari penolakan secara diplomatis sampai penolakan secara terang-terangan atas wacana penduetan tersebut. Dilihat dari kecenderungan tersebut, agaknya rencana partai beringin untuk memasangkan Ical-Pramono tampaknya sangat musykil untuk direalisasikan karena sejumlah alasan. Pertama, meskipun Demokrat saat ini banyak mendapatkan sorotan miring dari publik terkait dengan sejumlah kasus korupsi yang menjerat beberapa kadernya, namun belum tentu juga perolehan suara partai ini akan anjlok pada pilpres 2014. Masih ada waktu tersisa untuk melakukan perbaikan sehingga bisa meraih kembali simpati publik. Oleh karena itu, Demokrat tentu tidak akan rela untuk menjadikan calonnya sebagai orang nomer dua. Kedua, Demokrat juga yakin betul bahwa tingkat elektabilitas Ical tidak meyakinkan antara lain karena terganggu oleh kasus-kasus besar yang menimpanya seperti lumpur Lapindo, mafia pajak dan lain-lain, di luar dari faktor non-Jawa dan non-militer. Dengan demikian, jika Demokrat merelakan tokoh potensialnya, Pramono, sebagai pasangan Ical, sama saja dengan “menjerumuskan” diri sendiri. Dari perspektif ini, jelas Demokrat tidak akan bersedia menerima tawaran Golkar. Ketiga, Demokrat sebenarnya saat ini sedang berada pada tahapan “wait and see” berkaitan dengan pengusungan capres dan cawapres. Setelah tidak bisa lagi mengandalkan figur sentralnya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), ditambah dengan kondisi partai yang diibaratkan tengah memakan buah simalakama, selalu dianggap salah oleh publik, partai ini terkesan sangat hati-hati dalam menentukan siapa figur yang pantas diusungnya. Tidak heran kalau banyak petinggi partai ini merasa terganggu dengan lontaran wacana penduetan tersebut. Taktik Golkar Terlepas dari agak musykilnya wacana penduetan Ical-Pramono, hemat penulis, bukan tidak mungkin ada maksud lain di balik lontaran gagasan tersebut. Boleh jadi Golkar sebenarnya ingin “menggoda” Demokrat yang hingga saat ini belum juga menentukan capresnya secara resmi. Golkar tentu tahu bahwa Demokrat sedang mengalami krisis figur pengganti SBY untuk berkontestasi pada Pilpres 2014. Siapa tahu pada akhirnya partai biru tersebut bisa tergoda jika terus dipancing. Namun pada sisi lain, apa yang dilakukan Golkar juga dapat dibaca sebagai bentuk ketidakpercayaan diri partai beringin dengan pencapresan Ical. Meskipun pada level elite organisasi Golkar sudah dicapai kesepakatan atas pencapresan tersebut, akan tetapi bukan berarti masalahnya sudah selesai. Residu perpecahan masih membayangi yang tentu akan berimplikasi pada problem soliditas partai. Selain itu, Golkar juga sangat menyadari bahwa Ical sebenarnnya sulit bersaing dengan capres-capres lainnya. Dari paparan di atas dapat ditegaskan bahwa apa yang dilakukan partai beringin tersebut sebagai sebuah taktik politik belaka dalam rangka mengail di air keruh. Dengan kata lain, Golkar sebenarnya tengah memanfaatkan kesempatan di tengah kesempitan Demokrat. Penulis, Dosen Ilmu Politik FSH UIN Jakarta, Deputi Direktur The Political Literacy Institute

Tidak ada komentar: