Rabu, 21 Maret 2012

Sinyal Positif Pilkada DKI (Suara Pembaruan, Rabu 21 Maret 2012

Perhelatan besar warga Jakarta berupa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2012 untuk memilih pasangan calon gubernur dan wakil gubernur (cagub-cawagub) menarik untuk dicermati. Posisi Jakarta sebagai ibu kota Indonesia jelas merupakan hal yang sangat strategis. Oleh karena itu, tidak heran kalau parpol-parpol berebutan untuk menjadi penguasa Jakarta dengan berbagai macam cara.
Pada pilkada 2012 ini ada banyak perbedaan yang cukup signifikan dengan pilkada sebelumnya, baik dari segi jumlah pasangan, jalur yang digunakan calon, model koalisi dan sebagainya. Sampai waktu pendaftaran ditutup, pasangan cagub-cawagub, baik dari jalur parpol atau gabungan parpol maupun jalur perorangan atau independen berjumlah enam pasangan. Pasangan dari jalur parpol adalah Fauzi Bowo (Foke)-Nachrowi Ramli, Alex Noerdin-Nono Sampono, Joko Widodo (Jokowi)-Bambang Tjahja Purnama (Ahok), Hidayat Nur Wahid-Didik J. Rahbini. Sedangkan dari jalur perorangan ada dua pasangan, yaitu Faisal Barie-Biem Benyamin dan Hendarji Supandji-Ahmad Rizapatria.

Perkembangan Positif
Terlepas dari begitu alotnya penentuan pasangan cagub-cawagub sampai menit-menit akhir waktu pendaftaran, yang boleh jadi mengindikasikan adanya deal-deal politik, Pilkada DKI 2012 memperlihatkan sejumlah perkembangan positif. Pertama, seperti yang telah dikemukakan bahwa peserta pilkada DKI tahun ini berjumlah enam pasangan. Ini artinya kontestasi untuk memperebutkan penguasa Jakarta pasti bakal lebih kompetitif, semarak dan seru. Bagi publik Jakarta khususnya, realitas tersebut merupakan hal yang positif karena mereka mendapatkan banyak pilihan sehingga bisa menyeleksi secara lebih leluasa. Hal ini berbeda dengan pilkada sebelumnya yang hanya diikuti oleh dua pasangan sehingga tidak banyak menyisakan pilihan.
Bagi pasangan cagub-cawagub sendiri, banyaknya pasangan lain sesungguhnya juga dapat memberikan nilai positif. Bahwa antar satu pasangan dengan pasangan lainnya akan menjadi rival tentu tidak bisa dihindari karena semuanya menginginkan posisi nomor satu. Tetapi justeru rivalitaslah yang akan mampu memacu mereka untuk bekerja lebih keras supaya dapat memenangkan persaingan tersebut.
Kedua, pada Pilkada DKI 2012 ini ada perubahan model koalisi yang diperlihatkan sebagian parpol. Meskipun nuansa koalisi pragmatis masih tetap terlihat pada beberapa parpol, namun ada pula parpol yang tidak melulu mendasarkan koalisinya pada dimensi pragmatis tersebut. Keberanian Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) untuk tidak larut dalam koalisi besar bersama Demokrat, melainkan lebih memilih bergandengan tangan bersama Gerindra dengan mengusung kadernya sendiri sebagai cagub patut diapresiasi.
Bahkan ketika PDIP berani menduetkan Joko Widodo (Jokowi) dengan Basuki Tjahja Purnama (Ahok), hemat penulis, hal itu bisa dianggap sebagai langkah berani. Padahal sebelumnya sempat muncul nama Dedy Mizwar, seorang aktor senior, untuk dipasangkan dengan Jokowi. Dari segi popularitas, Dedy Mizwar tentu jauh lebih populer daripada Ahok dan dari segi ikatan kultural, sebagai putera Betawi, sudah pasti Dedy akan lebih mudah diterima oleh warga Jakarta. Namun ternyata PDIP tidak tergoda oleh kedua hal tersebut.
Dalam konteks ini dapat kita tegaskan bahwa koalisi yang dibangun PDIP bersama Gerindra lebih memperlihatkan koalisi yang bersifat ideologis ketimbang pragmatis seperti yang dilakukan Demokrat dengan koalisi besarnya. Tentu konsekwensinya adalah PDIP dan Gerindra harus bekerja lebih keras lagi guna menyukseskan calonnya. Tak pelak lagi, kecenderungan seperti ini merupakan poin yang sangat penting bagi perbaikan kualitas politik dan demokrasi di negeri ini.
Pada ranah publik, pilihan yang telah diambil PDIP dan Gerinda besar kemungkinan akan mendapatkan simpati yang pada gilirannya akan semakin meningkatkan citra positif kedua parpol. Baik PDIP maupun Gerindra akan dipandang publik sebagai parpol yang lebih konsisten. Pada level nasional, misalnya, kedua parpol tersebut memilih jalur oposisi atau tidak berada dalam barisan koalisi pendukung pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono.
Ketika kemudian PDIP dan Gerindra tetap tidak seperahu dengan parpol-parpol pendukung koalisi dalam Pilkada DKI jelas ini memperlihatkan konsistensi yang patut ditiru. Dengan demikian, tidak ada anomali dalam koalisi politik di republik ini. Bandingkan dengan parpol-parpol lain seperti Golkar dan PKS yang menampakkan kecenderungan anomali ketika pada level nasional mereka berkoalisi dengan Demokrat, namun pada level daerah mereka berseberangan. Inilah praktik politik dan demokrasi yang sesungguhnya tidak sehat.
Ketiga, efek domino calon perorangan atau independen. Sebagaimana diketahui bahwa ada dua pasangan cagub-cawagub dari jalur perorangan atau independen yang siap bertarung. Bahkan sebelumnya ada tiga pasangan lainnya yang mendaftar hanya saja tidak cukup memenuhi persyaratan. Fenomena ini tentu merupakan kecenderungan positif dalam kehidupan politik di Indonesia di mana hak-hak politik individu kian mendapatkan tempatnya.
Bukan tidak mungkin gairah munculnya calon-calon independen akan memberikan efek domino terhadap keberanian warga negara Indonesia untuk mencalonkan diri melalui jalur independen pada ranah yang lebih luas, seperti calon presiden. Pada sisi lain, ini juga bisa menjadi semacam tekanan psikologis kepada para politisi, khususnya yang berada di Senayan, yang agaknya selalu berusaha menghalang-halangi munculnya capres independen melalui konstitusi.

Peran Penyelenggara
Beberapa perkembangan positif yang diperlihatkan Pilkada DKI 2012, setidaknya pada tahap awal, tentu mesti dijaga dengan baik supaya terus berlangsung sampai pada waktu pelaksanaannya nanti. Oleh karena itu, harus ada pihak atau lembaga yang bertanggung jawab untuk menjaga keberlangsungan perkembangan positif tersebut. Dalam konteks ini, peran Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) DKI Jakarta sebagai penyelenggara pilkada sangat menentukan.
Salah satu hal yang harus dipegang kuat-kuat oleh KPUD adalah independensi terhadap intervensi dari berbagai kekuatan politik. Jangan sampai muncul tindakan lembaga ini yang kemudian menimbulkan dugaan-dugaan adanya intervensi tersebut. Saat KPUD membatalkan sejumlah KTP dukungan untuk pasangan dari jalur independen, misalnya, berkembang dugaan bahwa lembaga ini mencoba mempersulitnya. Ada tudingan bahwa kepentingan parpol tertentu berada di balik tindakan tersebut. Terlepas dari benar tidaknya, ini menjadi pelajaran bagi KPUD untuk berhati-hati dalam bertindak.
Pada akhirnya, sebagai publik kita sangat berharap bahwa perhelatan Pilkada DKI yang akan diselenggarakan pada Juli yang akan datang benar-benar memberikan hal-hal yang positif bagi perbaikan kualitas politik dan demokrasi di negeri ini. Bagaimana pun Jakarta merupakan barometer. Maka, kalau pilkada di Jakarta memberikan nilai positif tentu akan memberikan efek domino terhadap pilkada di daerah-daerah lainnya.

Tidak ada komentar: