Kamis, 29 Maret 2012

Keterlibatan TNI dan Citra Pemerintah (Pikiran Rakyat, Kamis 29 Maret 2012)

Ada hal yang berbeda dalam penanganan terhadap aksi demo sejumlah elemen masyarakat pada Selasa (27/03) kemarin. Aparat Tentara Nasional Indonesia (TNI) ikut dilibatkan bersama Polri untuk mengamankan aksi tersebut. Menurut data, ada sekitar 8000 personil TNI yang diterjunkan sementara jumlah polisi sebanyak 22.000 personil.
Terkait dengan pelibatan TNI dalam aksi pengamanan unjuk rasa, yang sejatinya merupakan domain Polri, tentu menimbulkan sejumlah pertanyaan. Misalnya, apakah urgensinya menurunkan TNI dalam kasus tersebut? Apakah sudah sedemikian genting situasi dan kondisi negeri ini sehingga harus menerjunkan orang-orang yang terbiasa dilatih perang tersebut? Lalu bagaimana dampaknya terhadap citra pemerintah sendiri?
Sekalipun pemerintah berdalih bahwa pelibatan TNI tersebut hanya untuk jaga-jaga karena kendali sepenuhnya ada di tangan Polri, namun kehadiran fisik TNI di sejumlah titik vital memperlihatkan bahwa pemerintah tengah berupaya "menyeret" kaum loreng tersebut keluar dari wilayah tradisionalnya. Dalam derajat tertentu, tindakan tersebut akan menimbulkan sejumlah dampak negatif terhadap citra pemerintah.
Pertama, tindakan pemerintah akan dipandang sebagai tindakan ketakutan yang berlebihan. Inilah model pemerintah yang dikendalikan rasa takut (government by the fear). Model pemerintahan seperti ini biasanya dipenuhi oleh orang-orang yang paranoid terutama terhadap segala hal yang berpotensi akan mengancam dirinya.
Salah satu cara orang paranoid adalah melebih-lebihkan isu ancaman terhadap dirinya. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), misalnya, kerap mengaitkan aksi unjuk rasa dengan isu penggulingan terhadap pemerintahannya. Mungkin dengan melontarkan isu kudeta ia berharap mendapatkan simpati publik. Sayangnya, publik Indonesia sudah cukup cerdas untuk tidak terjebak dalam permainan tersebut. Alih-alih mendapatkan simpati, SBY justeru mendapat kecaman publik.
Kedua, tindakan pemerintah di atas sesungguhnya menunjukkan kegagalan pemerintah dalam memahami tuntutan publik. Pemerintah cenderung menggunakan mekanisme pertahanan diri (self-defence mechanism) bahkan dengan melibatkan TNI hanya karena ingin bersikukuh dengan pendiriannya. Jadi, seolah-olah pemerintah berkata, silahkan publik berunjuk rasa tetapi kami tetap dengan pilihan kami sendiri.
Padahal kalau mau dipahami secara jernih, unjuk rasa besar-besaran tersebut sebenarnya bukan hanya terkait dengan kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM), tetapi merupakan akumulasi kekecawaan publik terhadap pemerintah. Masalah korupsi, kaum buruh yang tetap tertindas, kaum tani yang kian terpinggirkan, nasib para TKW yang menyedihkan adalah di antara masalah yang menimbulkan kekecewaan publik. Celakanya, pemerintah tidak sungguh-sungguh berupaya membuka pintu dialog yang benar-benar jernih terkait dengan masalah-masalah tersebutl.
Ketiga, melibatkan TNI dalam wilayah yang bukan domainnya justeru memperlihatkan kelemahan negara. Negara seolah tidak mampu melakukan tindakan sendiri tanpa bantuan TNI. Dalam derajat tertentu, realitas ini bukan tidak mungkin akan dimanfaatkan pihak-pihak tertentu sebagai "pintu masuk" TNI pada peran-peran yang bukan wilayah tradisonalnya.
Ingat bahwa awal keterlibatan TNI dalam politik Indonesia diawali ketika peran negara begitu lemah. Inilah tesis yang disebutkan Salim Said, pakar militer, dalam disertasinya tentang Politik Militer di Indonesia. Dengan kata lain, TNI sebenarnya diajak masuk ke dalam politik oleh kalangan sipil karena ketidakberdayaan pihak yang terakhir tersebut. Oleh karena itu, pelibatan TNI di atas menjadi sesuatu yang mengkhawatirkan.
Keempat, secara konstitusional, melibatkan TNI dalam pengamanan aksi unjuk rasa seharusnya mendapatkan persetujuan dari DPR. Maka, apa yang dilakukan pemerintah memperlihatkan tindakan sepihak yang berpotensi merenggangkan hubungan antara eksekutif dan legislatif. Apalagi hubungan antar kedua lembaga tinggi negara tersebut kerap memperlihatkan hubungan yang tidak harmonis.
Dari catatan di atas dapat ditegaskan bahwa pemerintah seharusnya lebih berhati-hati dalam melibatkan TNI. Apalagi yang dihadapi pemerintah adalah anak-anak bangsa sendiri yang sesungguhnya mencintai negeri ini meski dengan ekspresinya sendiri.

Tidak ada komentar: