Selasa, 15 Februari 2011

Pembelajaran Politik (Pikiran Rakyat, 07-02-11)

Gejolak politik di Mesir sampai saat ini masih terus berlangsung. Kekhawatiran akan tejadinya efek domino ke negara-negara lain di kawasan Asia termasuk Indonesia mulai muncul ke permukaan. Meski ada sebagian pihak yang mencoba menepis kemungkinan merembetnya gejolak tersebut ke Indonesia, namun bukan mustahil hal itu terjadi. Di dalam dunia politik, tidak ada yang tidak mungkin.

Dari perspektif politik, kemungkinan tersebut cukup besar dengan didasarkan setidaknya pada lima faktor atas munculnya gerakan sosial-politik dalam skala masif di sebuah negara. Pertama, adanya musuh bersama (common enemy). Dalam konteks Mesir, jelas Presiden Husni Mubarak dianggap sebagai musuh bersama. Oleh karena itu, para penentang Mubarak bersatu padu turun bersama meskipun orientasi sosial-politiknya berbeda-beda. Dalam konteks Indonesia, kemungkinan itu bisa saja terjadi. Presiden SBY bukan tidak mungkin akan dipandang musuh bersama jika tidak berhasil memimpin negeri ini sesuai dengan harapan rakyat.

Kedua, adanya friksi atau pertentangan di kalangan elite. Apa yang terjadi di Mesir jelas memperlihatkan pertentangan yang terjadi di kalangan elite pemerintah. Beberapa tokoh yang tadinya mendukung Mubarak belakangan berbalik arah mendukung gerakan reformasi. Amr Moussa, misalnya, Sekjen Liga Arab dan Menteri Luar Negeri populer di bawah Mubarak belakangan mulai vokal mendukung demokrasi multipartai sejak adanya unjuk rasa besar-besaran. Kecenderungan yang sama terjadi pula di Indonesia. Friksi di kalangan elite begitu nampak. Partai-partai koalisi pendukung pemerintahan sekalipun seringkali terlibat dalam konflik-konflik politik secara terbuka seperti yang terjadi di Sekretariat Gabungan (Setgab).

Ketiga, adanya isu masif di media massa. Media massa tidak diragukan lagi memainkan peranan yang sangat penting dalam memberitakan isu-isu besar ke hadapan publik. Dengan teori agenda settingnya media massa mampu menyeting isu-isu yang memang tengah menjadi perhatian publik. Isu tentang berbagai penyelewengan, korupsi, pembungkaman politik dan sebagainya yang dilakukan rezim Mubarak diblow up sedemikian rupa sehingga publik makin antipati terhadap rezim yang kian bobrok.

Kecenderungan seperti ini tentu mudah saja terjadi di Indonesia, apalagi media-media massa Indonesia pasca reformasi memiliki kebebasan pers yang jauh lebih baik jika dibandingkan negara-negara di kawasan Timur-Tengah. Oleh karena itu, peluang munculnya gerakan sosial-politik yang terjadi di negeri Piramida tersebut di Indonesia sangat mungkin jika dihubungakan dengan realitas media massa di negeri ini. Berbagai kasus besar di republik ini berhasil diungkapkan ke publik oleh media massa, seperti kasus Century, mafia hukum, mafia pajak dan lain-lain.

Keempat, adanya kelompok penekan (pressure group). Gerakan unjuk rasa besar-besaran di Mesir yang telah menelan korban ratusan orang itu sesungguhnya tidak hanya dilakukan oleh para aktivis partai politik oposisi. Namun banyak pula kelompok-kelompok lain di luar partai politik yang ikut melebur ke dalam gerakan anti-Mubarak, seperti kalangan serikat buruh, pemuda, mahasiswa dan sebagainya. Kelompok penekan di Indonesia tampaknya jauh lebih beragam sehingga boleh jadi akan menjadi faktor yang akan menekan pemerintah jika selalu mengabaikan aspirasi politik rakyat.

Kelima, adanya dukungan internasional. Gerakan pro-perubahan di Mesir telah mendapatkan dukungan internasional. Bahkan Amerika Serikat yang merupakan sekutu Mesir pun ikut pula menyerukan agar Mesir segera melakukan tranformasi politik yang bisa dimaknai sebagai dukungan untuk munculnya kandidat baru pengganti Mubarak. Maka, Mubarak pun semakin kehilangan legitimasinya untuk terus berkuasa. Hal seperti ini pernah terjadi menjelang pengunduran diri mantan Presiden Soeharto setelah ditekan oleh AS. Tentu hal seperti ini bisa saja berulang kembali.

Melihat pada kelima faktor di atas, agaknya tidak menutup kemungkinan gejolak politik di Mesir bisa merembet ke negeri lain seperti Indonesia jika pemerintah tidak segera mengambil pembelajaran politik. Alih-alih bereaksi keras seperti yang ditunjukkan Sekretaris Kabinet, Dipo Alam, pada Sultan Hamengkubuwono XI yang menyebut adanya kemungkinan tersebut, akan lebih baik kalau pemerintah justeru bersikap antisipatif. Dalam situasi seperti ini, tidak ada jalan lain bagi pemerintah kecuali bekerja secara maksimal guna memenuhi harapan rakyat.

Penulis, Deputi Direktur The Political Literacy Institute, Kandidat Doktor Komunikasi Unpad.

Tidak ada komentar: