Selasa, 15 Februari 2011

Inkonsistensi DPR (Sinar Harapan, 02-02-11)

Perilaku anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di negeri ini kian hari agaknya kian mengecewakan publik. Harapan akan lahirnya berbagai perilaku yang dapat menjunjung harkat dan martabat mereka sekaligus juga rakyat Indonesia dari rahim lembaga ini semakin memudar. Sebaliknya, yang mengemuka adalah beragam perilaku yang justeru memprihatinkan bahkan memuakkan.
Perilaku paling anyar yang dipertontonkan para anggota lembaga legislatif adalah penolakan sebagian besar anggota Komisi III DPR atas kehadiran Bibit S. Rianto dan Chandra M. Hamzah dalam setiap rapat bersama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Alasannya karena mereka sejak awal tidak setuju terhadap langkah pemerintahan SBY-Boediono untuk membebaskan kedua pemimpin KPK itu dengan deponeering yang dilakukan Kejaksaan Agung.
Pertanyaannya adalah benarkah penolakan sebagian besar anggota Komisi III tersebut benar-benar dilakukan sebagai pengejawantahan dari sikap mereka yang tidak setuju deponeering? Ataukah alasan itu sesungguhnya sebuah akal bulus semata untuk menutupi tujuan politis yang mereka sembunyikan?

Serangan Balik?
Ada hal yang menarik ketika salah seorang elite Partai Golkar, yang termasuk kelompok penolak kehadiran Bibit-Chandra, mengatakan bahwa penolakan mereka merupakan bentuk konsistensi atas sikap mereka selama ini atas kasus deponeering. Ini menarik karena seolah-olah memperlihatkan bahwa mereka tidak mengerti masalah hukum, khususnya tentang kewenangan Kejaksaan Agung.
Padahal sebagaimana diketahui bahwa di dalam UU Kejaksaan Agung deponeering merupakan hak oportunitas yang dimiliki Kejaksaan Agung sebagai lembaga eksekutif yang memiliki wewenang yudikatif. Bila suatu kasus hukum telah dinyatakan harus dikesampingkan demi kepentingan umum (deponeering), maka dengan sendirinya status tersangka yang disematkan ikut dicabut.
Kalau mencermati bahwa pada umumnya para anggota Komisi III DPR termasuk yang berada dalam barisan penolak kehadiran Bibit-Chandra berlatarbelakang pengacara, agaknya tidak masuk akal kalau mereka tidak memahami masalah tersebut. Mereka tampaknya sengaja menutup mata terhadap masalah itu demi memuaskan syahwat politik yang disembunyikannya.
Oleh karena itu, yang lebih tepat dikatakan di sini adalah bahwa sikap anggota DPR tersebut sebagai bentuk kamuflase mereka dalam mendukung KPK untuk memberantas korupsi. Mereka sesungguhnya paham bahwa dengan dikeluarkannya deponeering terhadap kasus Bibit-Chandra, maka secara otomatis status sebagai tersangka yang melekat kepada mereka berdua dicabut sehingga menjadi bebas. Maka, seperti halnya ketua-ketua KPK yang lainnya, keduanya berhak pula mengikuti kegiatan lembaga ini termasuk rapat bersama dengan Komisi III DPR.
Oleh karena itu, kecurigaan publik bahwa tindakan anggota Komisi III tersebut lebih bernuansa politis sulit diabaikan. Apalagi kalau melihat momentumnya yang berdekatan dengan ditahannya sembilan belas politisi senior mantan anggota DPR periode 2004-2009 oleh KPK baru-baru ini. Langkah mereka seolah-olah merupakan serangan balik mereka terhadap KPK yang dalam pandangannya, telah berbuat “macam-macam” terhadap senior-senior mereka yang ditahan, selain juga sebagai bentuk solidaritas di antara mereka. Kenyataan bahwa mayoritas dari mereka yang melakukan penolakan berasal dari partai yang sama dengan para politisi yang ditahan KPK kian memperkuat kecurigaan tersebut.

Konsisten dalam Inkonsistensi
Apa yang telah dilakukan para anggota Dewan di atas jelas memperlihatkan bagaimana sesungguhnya sikap mereka terhadap korupsi yang telah menjadi musuh nomor satu di republik ini. Dalam berbagai kesempatan mereka kerap menyuarakan dengan lantang keinginan untuk memberantas wabah korupsi bersama-sama dengan lembaga-lembaga lain yang berwenang termasuk KPK.
Namun faktanya seringkali berkebalikan. Ini karena mereka biasanya mendasarkan tindakan pada vested interest sehingga bersikap pilih-pilih dalam mendukung supaya pemberantasan korupsi. Mereka akan berada di barisan pendukung pertama saat kasus korupsi yang dibongkarnya tidak bersentuhan sama sekali dengan diri dan partai.
Namun akan berbeda sikapnya jika kasus korupsi yang tengah dibongkar bersinggungan dengan diri dan partai di mana mereka berkiprah. Mereka segera pasang kuda-kuda dan membentengi diri dengan berbagai cara supaya bisa menyelamatkan diri dan bila perlu menghantam balik. Inilah tampaknya yang terjadi pada anggota Komisi III DPR dalam memberikan reaksi terhadap langkah KPK. Ada ketakutan yang besar bahwa suatu saat merekapun akan senasib dengan sembilan belas politisi lainnya.
Jika ini yang dijadikan pertimbangan DPR dalam mendukung upaya pemberantasan korupsi, tentu sangat disayangkan. Mereka telah terjebak dalam sikap yang konsisten dalam inkonsistensi. Kalau sudah seperti ini, tidak ada lagi yang bisa diharapkan dari lembaga yang kadung dibilang terhormat ini.

*Penulis adalah Kandidat Doktor Komunikasi Unpad dan Deputi Direktur the Political Literacy Institute.

Tidak ada komentar: