Selasa, 15 Februari 2011

Mewaspadai Politisasi Hukum (Suara Karya, 01-02-11)

Kata politisasi akhir-akhir ini marak dalam berbagai wacana yang berkembang di tanah air. Secara umum penggunaan kata ini lebih banyak dibawa ke dalam konteks yang bernada negatif, meskipun bisa juga bermakna positif. Setiap tindakan, terutama yang dilakukan para elite, kerap dibaca publik secara politis, artinya di balik tindakan tersebut ada tujuan terselubung yang hendak dibidik oleh si pelaku. Maka, muncullah tuduhan politisasi terhadap tindakan tersebut.
Yang paling anyar adalah mengemukanya wacana politisasi hukum yang dilontarkan oleh sebagian pihak terhadap penahan 19 politisi mantan anggota DPR periode 2004-2009 oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Penahanan tersebut terkait dengan dugaan penerimaan suap cek perjalanan pada saat pemilihan Deputi Dewan Gubernur Bank Indonesia, Miranda S. Goeltom beberapa waktu yang lalu.



Intervensi Politik?
Ada pertanyaan yang sangat menarik mengenai penahanan para politisi tersebut. Apakah tindakan KPK itu murni didasarkan pada keputusan hukum ataukah karena ada intervensi politik?
Pertanyaan ini menarik untuk diangkat karena ada sejumlah hal yang membuat publik bertanya-tanya. Pertama, terkait dengan timing penahanan. Mengapa KPK baru melakukan penahanan sekarang padahal penetapan tersangka terhadap para politisi itu telah dilakukan sejak bulan September tahun yang lalu.
Bagi sebagian kalangan, timing penahanan tersebut dapat dipersoalkan sebab berbarengan dengan keinginan sebagian politisi di Senayan untuk membuat Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket Perpajakan di DPR. Apalagi kemudian Partai Demokrat yang notabene partai penguasa mencabut kembali dukungannya terhadap ide pembentukan pansus tersebut. Oleh karena itu, bukan tidak mungkin tindakan KPK itu bisa dimaknasi sebagai upaya untuk menghalang-halangi pembentukan pansus.
Kedua, di antara para politisi mantan anggota legislatif periode 2004-2009 yang telah ditahan tersebut tidak ada satu pun yang berasal dari partai yang berkuasa. Padahal telah diketahui bahwa ada pula politisi dari partai berkuasa yang ikut menerima uang suap, seperti pernah diungkapkan Hamka Yandhu, salah seorang tersangka. Realitas inilah yang kemudian mencuatkan tuduhan sementara pihak bahwa KPK melakukan tebang pilih dalam menegakkan hukum.
Ketiga, KPK terkesan lamban untuk membongkar siapa sebenarnya pihak pemberi suap dan operator yang mengatur semua ini, padahal tidak mungkin seseorang menerima suap tanpa adanya pihak yang memberi. Kenyataan ini juga menimbulkan dugaan seolah-olah ada yang ditutupi. Keberadaan Nunun Nurbaeti, yang diklaim sakit lupa ingatan, juga sangat mengherankan mengapa tidak diupayakan untuk dibuktikan kebenarannya pada publik.

Pertanggungjawaban pada Publik
Satu hal yang harus diingat KPK sebagai lembaga yang bertugas memberantas korupsi dari republik ini bahwa apa yang mereka lakukan tersebut senantiasa dilihat dan diawasi oleh publik. Oleh karena itu, pertanggungjawaban KPK terhadap publik dalam bentuk mengemban tugas sebaik-baiknya tanpa intervensi pihak manapun menjadi suatu keharusan. Bagaimanapun publik masih menggantungkan harapan yang besar pada lembaga ini akan terwujudnya masyarakat Indonesia yang bebas dari jeratan korupsi.
Oleh karena itu, ada beberapa hal yang mesti dilakukan KPK menanggapi tudingan miring sebagian kalangan. Pertama, KPK harus berani dan tegas melakukan tindakan hukum terhadap orang-orang yang memang melanggar hukum. Jika memang ada di antara politisi partai penguasa yang juga terlibat dalam tindakan pelanggaran hukum tersebut, KPK harus berani menahannya sepertihalnya terhadap politisi-politisi dari partai lain.
Kedua, KPK harus berusaha dengan keras untuk membongkar pihak-pihak yang menjadi pemberi suap. Sebab sebenarnya pihak pemberi suap inilah yang jauh lebih penting untuk diungkapkan ke publik. Kalau kita menggunakan logika hukum atau bahkan agama, meskipun pihak pemberi dan penerima suap sama-sama berdosa, tetapi yang pertama jauh lebih buruk. Ini karena biasanya pihak pemberi suaplah yang memulai aksi penyuapan, meskipun ada pula yang sebaliknya dalam kasus-kasus tertentu.
Jikapun kemudian KPK menemukan bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam pemberian suap tersebut berkaitan dengan jaringan kekuasaan, maka lembaga ini tidak boleh ragu untuk tetap mengungkapkannya ke publik. Bagaimanapun hukum tetap harus ditegakkan sekalipun harus bertabrakan dengan politik.

*Penulis adalah Kandidat Doktor Komunikasi Unpad dan Deputi Direktur the Political Literacy Institute.

Tidak ada komentar: