Senin, 31 Agustus 2009

Menyoal Koalisi Besar

Dimuat di Harian Tribunjabar, 18-08-09

Pasca kemenangan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono pada Pemilihan Presiden (Pilpres) Juli 2009 ada semacam kecenderungan bahwa SBY hendak merangkul berbagai pihak untuk membentuk koalisi besar yang akan mendukung periode kepemimpinan keduanya. Hal ini terlihat dari intensifnya pendekatan yang dilakukan Partai Demokrat (PD) terhadap Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan dalam derajat tertentu dengan Partai Golkar (PG). Padahal kita tahu bahwa kedua partai besar tersebut merupakan pengusung pasangan pesaing SBY-Boediono, yakni Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto (PDIP) dan Jusuf Kalla (JK)-Wiranto (Golkar).
Dengan PDIP, misalnya, sekarang ini santer diberitakan bahwa telah ada deal-deal politik bahwa partai yang pada lima tahun yang lalu menjadi oposisi itu akan mendapatkan jatah empat kursi di kabinet mendatang. Dan yang paling menohok adalah kabar tentang dukungan Demokrat terhadap pencalonan Taufik Kiemas sebagai Ketua Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Sedangkan dengan Golkar disinyalir bahwa orang-orang SBY belakangan ini rajin bermanuver untuk menggolkan Aburizal Bakrie (Ical) sebagai Ketua Umum PG pada Munas Oktober mendatang. Sebab, kalau Ical, yang notabene dekat dengan SBY, menang jalan untuk bermesraannya kembali Demokrat dan Golkar tidak akan menemui aral rintangan berarti. Golkar sendiri memutuskan untuk mempercepat Munas ke awal Oktober dari jadwal seharusnya, Desember, sesungguhnya karena ingin mempersiapkan kader-kadernya untuk jabatan menteri di kabinet SBY-Boediono.

Anomali
Kecenderungan di atas sebenarnya dapat dikatakan sebagai anomali politik karena beberapa alasan. Pertama, kemenangan pasangan SBY-Boediono dari dua pasangan lainnya cukup telak, yakni kurang lebih 60% dan sebaran suaranya juga merata di setiap daerah, karenanya pilpres pun berlangsung hanya satu putaran. Dengan modal kemenangan yang besar ini SBY seharusnya tidak perlu mengajak lagi partai lain ke dalam koalisi yang telah mengusungnya pada pilpres kemarin, yakni PKS, PAN, PKB, PPP dan sejumlah partai kecil.
Kedua, Undang-undang (UU) tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD yang baru-baru ini diputuskan telah menetapkan bahwa partai pemenang pemilu otomatis berhak menjadi Ketua DPR. Dengan demikian, Ketua DPR mendatang akan dipegang oleh Demokrat. Artinya, baik eksekutif maupun legislatif telah berada dalam genggaman SBY, yang notabene merupakan Ketua Dewan Pembina di PD. Maka, kekhawatiran SBY bahwa parlemen akan menjadi “batu sandungan” berbagai kebijakan yang akan dikeluarkannya tidak akan terjadi atau setidaknya musykil terjadi seperti pada masa kepemimpinan pertamanya (dengan JK).
Ketiga, komitmen SBY untuk mengedepankan kalangan profesional di dalam kabinetnya tentu akan terganggu. Pasalnya, PDIP dan Golkar pasti mengharapkan kader-kadernya akan dipilih SBY sebagai pembantunya dalam kabinet. Padahal partai-partai yang tergabung dalam koalisi SBY-Boediono pada pilpres kemarin tentu mengharapkan hal yang sama. Dengan kondisi seperti ini, kebijakan SBY untuk merangkul lebih banyak kalangan tersebut justeru akan memperumit proses penyeleksian calon-calon menterinya. Dengan kata lain, SBY sebenarnya tengah menambah pekerjaan baru.
Memang di satu sisi pilihan SBY di atas bisa dibaca sebagai keinginannya agar masa pemerintahannya kelak berlangsung stabil, aman, tanpa ada riak-riak gangguan dari kelompok manapun sehingga ia dapat membangun negeri ini dengan tenang. Tetapi di sisi lain, pilihan tersebut justeru akan menimbulkan ketimpangan tatanan demokrasi yang sedang kita rintis sejak reformasi 1998. Partai-partai besar semacam Golkar dan PDIP yang sebenarnya diharapkan bisa memerankan oposisi sebagai penyeimbang pemerintah, sekarang justeru ikut ke dalam irama orkestra pemerintahan dengan dirijennya SBY.

Check and Balances
Jika koalisi besar yang didambakan SBY tersebut benar-benar terjadi, maka lonceng kematian demokrasi hanya tinggal menunggu waktu saja. Masa suram demokrasi seperti yang pernah terjadi pada masa Orde Baru di mana parlemen hanya berfungsi sebagai “stempel” kebijakan pemerintah bukan tidak mungkin akan terulang kembali.
Check and balances dalam kehidupan demokrasi sejatinya merupakan conditio sine qua non. Demokrasi justeru akan berlangsung dan bertahan hidup kalau ada mekanisme check and balances. Kritikan dari pihak oposisi sebagai bentuk pengejawantahan dari mekanisme tersebut akan menjadi penyeimbang terhadap berbagai pandangan dan kebijakan pemerintah.
Sebaliknya, kalau mekanisme tersebut tidak ada, maka demokrasi akan kehilangan rohnya. Demokrasi seolah tidak punya kaki karena telah diamputasi oleh kehendak sebagian elite yang ingin berjalan tanpa ada satupun duri yang menghalanginya. Dengan demikian, SBY kini sedang mempertaruhkan masa depan demokrasi di republik ini.

*Penulis adalah Deputi Direktur Bidang Politik the Political Literacy Institute.

Tidak ada komentar: