Minggu, 11 Oktober 2009

Kepemimpinan Baru Partai Beringin

Dimuat di Harian Pikiran Rakyat, Jum'at, 09-10-09

Musyawarah Nasional (Munas) VIII Partai Golkar di Pekanbaru, Riau, 5-8 Oktober akhirnya menetapkan Aburizal Bakrie (Ical) sebagai Ketua Umum Partai Golkar yang baru, menggantikan Jusuf Kalla (JK). Dengan perolehan suara di atas 50% yakni 296 suara dari total suara 536, Ical berhasil memenangi pemilihan ketua umum tersebut secara aklamasi.
Langkah ke depan
Persoalan yang menarik untuk dikemukakan adalah bagaimana langkah Golkar di bawah kepemimpinan Ical. Tentu ada banyak hal yang harus diselesaikan Golkar pascamunas yang sempat memanas itu. Pertama, konsolidasi internal partai. Semua pihak di dalam internal Golkar yang telah mengalami polarisasi karena terlibat aksi dukung-mendukung terhadap calon ketua umum sudah semestinya melupakan dan mengakhiri semua pertikaian yang telah terjadi. Persaingan sudah selesai dan yang tersisa adalah memberikan dukungan sepenuhnya kepada ketua umum terpilih. Dalam konteks ini diperlukan kearifan dari ketua umum terpilih untuk bersedia merangkul semua pihak, terutama yang berseberangan dengan dirinya.
Memang bukanlah tugas yang mudah bagi pimpinan baru Golkar untuk menyelesaikan sejumlah problem internal partai beringin ini karena konflik internal yang menderanya, bukan hanya terkait dengan saat munas, melainkan sudah berlangsung lama paling tidak sejak masa kepemimpinan Jusuf Kalla. Salah satu kekalahan Golkar baik dalam pemilu legislatif maupun presiden adalah adanya konflik internal tersebut. Oleh karena itu, masalah penyelesaian konflik internal tersebut harus dijadikan prioritas pertama.
Kedua, harmonisasi DPP dengan DPD baik di tingkat satu maupun dua. Salah satu kelemahan Golkar pada masa kepengurusan JK adalah kurang harmonisnya DPP dengan DPD-DPD. Hal ini antara lain diakibatkan jarangnya JK turun ke bawah mengunjungi DPD. Ini berbeda dengan masa kepengurusan Akbar Tandjung yang rajin sekali menyambangi para pengurus Golkar di daerah. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau pada masa Akbar Tandjung, soliditas antarpengurus partai di tubuh beringin begitu kuat, sementara pada masa JK hal yang sebaliknya yang terjadi. Masih segar dalam ingatan kita ketika Golkar mendeklarasikan JK yang berpasangan dengan Wiranto sebagai calon presiden, sejumlah pengurus DPD malah mengadakan pertemuan dengan Akbar Tandjung yang notabene pilihan mereka berseberangan dengan keputusan partai. Oleh karena itu, tugas Ical ke depan adalah harus bersedia dan sesering mungkin melakukan kunjungan ke pengurus-pengurus partai di daerah. Keberadaan Akbar Tandjung di kubu Ical tentu akan sangat membantu dalam hal ini.
Ketiga, program prorakyat. Di masa depan Golkar harus berusaha mengedepankan berbagai program yang memihak kepada rakyat atau yang berorientasi pada bagaimana menyejahterakan rakyat. Banyak pihak yang menilai bahwa Golkar sangat pragmatis sekaligus oportunis di mana kepentingan segelintir orang (elite partai) yang dikedepankan. Oleh karena itu, tugas Golkar ke depan adalah bagaimana merebut hati rakyat dengan program-program yang memang memihak kepada kepentingan mereka.
Problem
Sayangnya, ada sejumlah problem terkait dengan kepemimpinan baru Golkar di bawah nakhoda Ical yang salah-salah bisa menjadi bumerang bagi partai ini. Pertama, terkait dengan pilihan Ical untuk membawa Golkar berhubungan mesra dengan pemerintah atau dengan kata lain, menutup pintu Golkar untuk beroposisi.
Sikap politik Golkar ini sesungguhnya akan menjadi dilema bagi partai ini terutama ketika dikaitkan dengan tuntutan agar partai ini mengedepankan program-program prorakyat. Ketika misalnya pemerintahan SBY-Boediono meluncurkan program yang ternyata positif di mata rakyat, tentu saja yang akan mendapatkan keuntungan politik adalah Partai Demokrat yang mengusung SBY. Sebaliknya saat program itu dinilai antirakyat, Golkar justru akan kena getahnya sementara untuk melakukan kritik terhadap program tersebut sulit dilakukan karena ada kadernya di kabinet.
Kedua, citra Ical di mata rakyat tidak cukup bagus khususnya jika dikaitkan dengan kasus Lapindo meski para pendukungnya selalu mengatakan hal itu tidak berkaitan. Akan tetapi, bagaimanapun publik sudah telanjur mengetahui bahwa Ical bertanggung jawab terhadap kasus Lapindo. Apalagi ketika sebelum munas, Ical pernah berjanji akan menggelontorkan uang Rp 1 triliun untuk kepentingan Sekretariat Golkar dan operasional. Banyak orang yang menilai begitu mudahnya Ical mengeluarkan uang untuk kepentingannya sementara untuk ganti rugi orang-orang yang telantar karena semburan lumpur sangat sulit. Tentu hal ini akan menjadi catatan tersendiri di benak rakyat yang sayangnya bukan catatan yang baik.
Dengan demikian, Golkar di bawah kepemimpinan Ical menyimpan banyak masalah yang di masa depan boleh jadi akan membuat Golkar kian terpuruk jika tidak diselesaikan secara serius oleh para pengurus baru. ***
Penulis, kandidat doktor Ilmu Komunikasi Unpad Bandung dan Deputi Direktur Bidang Politik the Political Literacy Institute.

Tidak ada komentar: