Kamis, 13 Agustus 2009

Amputasi Demokrasi

Bagaimana masa depan demokrasi di Indonesia pasca Pemilihan Presiden (Pilpres) 8 Juli 2009 yang baru saja usai? Pertanyaan ini sengaja dikemukakan karena ada fenomena yang cukup memprihatinkan kita sebagai bangsa, yakni adanya semacam upaya untuk menarik perjalanan bangsa ini kembali ke masa lalu di mana otoritarianisme menjadi urat nadi politiknya. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang kini berpasangan dengan Boediono, yang hampir pasti menang, tampaknya sedang menuju ke arah sana dengan merangkul semua kekuatan politik untuk masuk ke dalam orkestra permaianannya di mana ia berperan sebagai konduktor.

Koalisi Tak Berimbang
Dari berbagai pernyataan yang dikemukakan baik oleh SBY sendiri maupun para elite Demokrat yang menegaskan bahwa koalisi masih bersifat terbuka bagi pihak manapun, kita mencermati bahwa peta koalisi pasca pilres agaknya bakal berubah. Jika sebelum pilpres, Demokrat bergandengan tangan dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan beberapa partai kecil yang tidak lolos parlementary threshold, kini dua partai politik besar, yakni Partai Golkar (PG) dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) disinyalir akan ikut ke dalam gerbong koalisi tersebut.
Kecenderungan ini bukan tidak mungkin bakal terjadi mengingat beberapa hal. Pertama,SBY pada periode kedua jabatan kepresidennya tampaknya ingin lebih solid dan powerful. Jika Golkar dan PDIP berhasil dirangkul, tentu potensi ke arah itu sangat besar. Sebaliknya, jika kedua partai tersebut masuk dalam barisan oposisi, hal itu dapat menjadi batu sandungan, terutama di parlemen. SBY agaknya belum merasa puas dengan kemenangan yang diraih Demokrat pada Pemilihan Legislatif (Pileg) April lalu.
Kedua, Golkar yang diharapkan banyak pihak untuk keluar dari tradisinya yang lekat dengan pemerintah pasca kekalahannya dalam pileg untuk bergabung ke dalam barisan oposisi, justeru memperlihatkan tanda-tanda yang sebaliknya. Hal ini terlihat dari wacana di tubuh partai beringin ini yang lebih menginginkan bergabung dengan Demokrat. Aburizal Bakrie (Ical) yang diperkirakan paling berpeluang untuk menjadi Ketua Umum Golkar pada Musyawarah Nasional (Munas) yang akan datang dibandikan pesaingnya, Yuddy Chrisnandy, tampaknya akan lebih memilih merapat ke SBY ketimbang beroposisi. Salah seorang tokoh Golkar pendukung Ical, Fadel Muhammad, misalnya, dengan tegas mengatakan bahwa Golkar lebih tepat mendukung SBY. Ical sendiri meski menyatakan tidak akan lagi menjadi menteri tetapi ia mempersilahkan kader Golkar untuk masuk ke pemerintahan jika diminta SBY. Ini artinya, Golkar tidak akan beroposisi.
Ketiga, PDIP yang sejak lima tahun terakhir ini menjadi partai oposisi dan paling rajin mengkritik SBY ternyata “tergoda” juga untuk bermesraan dengan pihak pemenang pilpres. Pertemuan Megawati dengan Boediono beberapa waktu yang lalu disinyalir sebagai upaya PDIP untuk merapat ke Demokrat merupakan indikasi. Boleh jadi Mega menitipkan beberapa nama kepada Boediono untuk disampaikan kepada SBY sebagai calon menteri. Selain itu, Taufik Kiemas, suami Mega dan petinggi PDIP, dalam berbagai kesempatkan memperlihatkan kemesraan dengan SBY. Yang paling akhir adalah ketika SBY menyampaikan pidato kenegaraan di hadapan DPR beberapa waktu yang lalu. Keduanya tampak berangkulan dan saling menebar senyum, tidak lupa Taufik Kiemas memberikan pujian kepada SBY khususnya menyangkut RAPBN. Tentu ini adalah sinyal yang dapat dibaca sebagai bentuk pendekatan hubungan antara PDIP dan Demokrat.
Keempat, adagium yang klasik dalam politik bahwa tidak ada kawan atau lawan yang abadi kecuali kepentingan itu sendiri tentu masih tetap berlaku dalam dunia politik. Meskipun sekarang ini kubu PDIP sebagai pengusung utama pasangan Megawati-Prabowo Subianto dan Golkar sebagai pengusung utama pasangan JK-Wiranto menggugat kemenangan pasangan SBY-Boediono ke MK dan sekarang sedang dalam persidangan, tetapi tampaknya mereka menyadari bahwa langkah tersebut sulit untuk berhasil. Oleh karena itu, sementara para kuasa hukum dari kedua pasangan tersebut “bertempur” di ruang sidang, namun para petinggi dari kedua partai besar tersebut justeru bermain mata dengan partai pemenang.
Kalau ini yang terjadi maka peta koalisi di parlemen jelas akan berubah. Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) yang telah menyatakan diri sebagai partai oposisi tentu akan merasa ditinggalkan dan kekuataannya pasti akan keropos untuk tidak mengatakan habis. Kekuatan antara koalisi pendukung SBY dan oposisi pun pasti sangat tidak berimbang.
Hal ini diperparah dengan Undang-undang (UU) tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD yang baru-baru ini diputuskan di mana ditetapkan bahwa partai pemenang pemilu otomatis berhak menjadi Ketua DPR. Dengan demikian, Ketua DPR mendatang akan dipegang oleh Demokrat, maka makin lengkaplah penderitaan pihak oposisi.

Hilangnya Check and Balances
Jika apa yang dipaparkan di atas terjadi, maka lonceng kematian demokrasi hanya tinggal menunggu waktu saja. Masa suram demokrasi seperti yang pernah terjadi pada masa Orde Baru di mana parlemen hanya berfungsi sebagai stempel kebijakan pemerintah bukan tidak mungkin akan terulang kembali.
Check and balancse dalam kehidupan demokrasi sejatinya merupakan conditio sine qua non. Demokrasi justeru akan berlangsung dan bertahan hidup kalau ada mekanisme check and balances. Kritikan dari pihak oposisi sebagai bentuk pengejawantahan dari mekanisme tersebut akan menjadi penyeimbang terhadap berbagai pandangan dan kebijakan pemerintah.
Sebaliknya, kalau mekanisme tersebut tidak ada, maka demokrasi akan kehilangan rohnya. Demokrasi seolah tidak punya kaki karena telah diamputasi oleh kehendak sebagian elite yang ingin berjalan tanpa ada satupun duri yang menghalanginya. Dengan demikian, masa depan demokrasi di republik ini betul-betul sedang dipertaruhkan.

*Penulis adalah Mahasiswa Program Doktor Ilmu Komunikasi Unpad Bandung dan Deputi Direktur Bidang Politik the Political Literacy Institute.

Tidak ada komentar: