Rabu, 10 September 2014

Menolak Rangkap Jabatan (Pikiran Rakyat 12 Agustus 2014)

Keinginan Presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) agar menteri-menteri yang berasal dari kalangan partai politik (parpol) untuk melepaskan jabatannya di parpol patut diapresiasi. Hal itu semata-mata agar para menteri tersebut dapat berkonsentrasi sepenuhnya pada tugas-tugas kementerian tanpa terbebani oleh kepentingan-kepentingan parpol. Publik jelas memandang keinginan Jokowi tersebut sebagai sebuah langkah maju, pasalnya hal itu, meski kerap diangkat ke publik, tetapi hanya berhenti menjadi wacana tanpa pernah diwujudkan dalam kenyataan. Sementara parpol-parpol pendukung Jokowi di pilpres kemarin tidak seragam menyikapinya. Nasdem dan Hanura secara tegas mendukung, tetapi PKB menolak. Meskipun kemungkinan besar keinginan Jokowi tersebut tidak mudah dilaksanakan karena masih ada ketidaksepakatan di kalangan parpol pendukungnya, tetapi tampaknya Jokowi akan didukung sepenuhnya oleh publik. Ini artinya, kalau PKB tetap keukeuh dengan sikapnya, bukan tidak mungkin parpol ini akan mendapatkan perlawanan publik. Tentu saja hal tersebut tidak akan menguntungkan secara politik bagi parpol pimpinan Muhaimin Iskadar itu. Bahaya Rangkap Jabatan Mengapa gagasan seorang menteri agar melepaskan jabatannya di parpol mesti didukung sepenuhnya? Pada kenyataannya, perangkapan jabatan di kementerian dan parpol dalam praktik pemerintahan Indonesia selama ini justeru lebih banyak menimbulkan sisi yang negatif. Setidaknya, ada tiga sisi negatif dari perangkapan jabatan tersebut. Pertama, kencenderungan untuk penyalahgunaan jabatan (abuse of power) jika seorang menteri merangkap jabatan dengan di parpol. Kenyataan yang terjadi dalam politik Indonesia memperlihatkan dengan jelas betapa kasus-kasus penyalahgunaan jabatan seperti korupsi, misalnya, selalu berkaitan atau malah bersumber pada parpol. Dengan kata lain, parpollah yang justeru menjadi muara korupsi tersebut. Dalam situasi yang sedemikian rupa menteri-menteri yang berasal dari parpol alih-alih membentengi kementeriannya dari kencenderungan korupsi justeru malah menjadi pelakunya. Dalam konteks ini, seringkali seorang menteri menggunakan berbagai fasilitas negara padahal tujuannya bukan untuk kepentingan negara, melainkan parpolnya. Hal ini bisa dilakukan dengan dalih kunjungan kerja, pemberian bantuan sosial dan sejenisnya. Maka, konflik kepentingan (conflict of interest) tidak dapat dihindari lagi. Kedua, bukan rahasia lagi bahwa kementerian-kementerian yang dipimpin oleh menteri yang berasal dari parpol kerap menjadi “sapi perahan” atau “Anjungan Tunai Mandiri/ATM” bagi parpol terkait. Tidak heran kalau sebuah pos kementerian dipimpin kader Partai A, maka kebijakan-kebijakannya akan selalu menguntungkan partai tersebut. Berbagai cara atau strategi pun dilakukan sang menteri agar aliran dana ke kas partainya terus berlangsung. Kasus korupsi yang melibatkan dua parpol pendukung Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediona, yakni Demokrat dan PKS secara gamblang menunjukkan kecenderungan tersebut. Yang pertama terkait dengan Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) yang dipimpin kader Demokrat, sedangkan yang kedua terkait dengan Kementerian Pertanian (Kementan) yang dipimpin kader PKS. Ketiga, seyogianya saat seseorang ditunjuk menjadi menteri, ia tidak lagi mereprsentasikan lembaga atau organisasi dari mana ia berasal. Sepenuhnya ia sudah menjadi abdi negara yang bekerja hanya untuk kepentingan negara, bukan dirinya atau kelompoknya. Karena itu, ia dituntut untuk dapat berkonsentrasi sepenuhnya pada pekerjaannya sebagai menteri. Konsekwensinya, ia harus melepaskan atribut kepartaiannya. Sementara kalau masih merangkap jabatan di partai, tentu menteri akan terpecah konsentrasinya sehingga pekerjaannya tidak biaa optimal. Bagaimanapun, ia masih harus memikikirkan pula kepentingan partainya. Apalagi kalau sudah mendekati waktu pemilu berikutnya, menteri akan selalu disibukkan dengan urusan-urusan partainya seperti sosialisasi, kampanye dan lain-lain sehingga kerap mengabaikan pekerjaannya sebagai menteri. Dari beberapa kecenderungan sisi negatif di atas, sudah saatnya praktik rangkap jabatan menteri dalam politik Indonesia ditinggalkan. Kita sangat berharap jika pos-pos kementerian dibentengi atau dibebaskan dari atribut-atribut parpol, potensi penyalahgunaan kekuasaan seperi korupsi dapat diminimalisasi atau bahkan diberantas sama sekali. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk tidak mendukung keinginan Jokowi agar para menteri yang berasal dari parpol bersedia melepaskan jabatan di parpolnya. Kita pun sebagai publik, apapun preferensi politik kita pada saat pilpres kemarin, sangat berharap kabinet yang akan dipimpin duet Jokowi-Jusuf Kalla (JK) nanti benar-benar merepresentasikan kabinet profesional atau yang sering disebut dengan zaken cabinet.

Tidak ada komentar: