Jumat, 26 September 2014

Dramaturgi SBY dan RUU Pilkada

Palu sudah diketok. Sidang Paripurna DPR untuk mengesahkan RUU Pilkada yang berlangsung selama kurang lebih dua puluh empat jam itu selesai. Sorak sorai fraksi-fraksi Koalisi Merah Putih (KMP) yang dimotori Gerindra demikian membahana begitu opsi pilkada tidak langsung atau melalui DPRD muncul sebagai pemenang dengan voting. Sebanyak 226 suara mendukung pilkada tidak langsung dan hanya 135 suara yang mendukung pilkada langsung. Dramaturgi SBY Voting yang menghasilkan kemenangan opsi pilkada tidak langsung diwarnai oleh drama keluarnya (walk out) fraksi Demokrat dari sidang paripurna. Sebelumnya partai yang berlambang mercy tersebut mengajukan 10 syarat untuk penyelenggaraan pilkada secara langsung. Tetapi karena persyaratan tersebut tidak diterima, fraksi Demokrat akhirnya memilih untuk bersikap netral atau tidak ikut terlibat dalam voting. Satu hal yang menarik dicermati adalah sikap fraksi Demokrat yang seolah berbalik seratus delapan puluh derajat dari sebelumnya. Seperti diketahui, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Ketua Umum Partai Demokrat kerap menyatakan dukungannya terhadap pilkada langsung di berbagai kesempatan. Ia tidak ragu untuk menegaskan bahwa pilkada langsung sebagai bentuk kedaulatan rakyat yang harus terus dijaga. Namun demikian, fakta yang terlihat secara gamblang di rapat paripurna ternyata tidak seperti itu. Apakah SBY tidak dapat mengendalikan anggota-anggotanya yang berada di fraksi Demokrat sehingga seolah-olah tidak mendengar sikapnya selama ini? Boleh jadi asumsi tersebut benar jika melihat bahwa di tubuh partai pemenang Pemilu 2009 itu terdapat faksi yang tidak selalu sejalan dengan SBY. Tetapi, hemat penulis, apa yang dilakukan fraksi Demokrat tersebut sebenarnya atas sepengetahuan SBY sendiri. Dengan kata lain, SBY memang merestui sikap fraksi Demokrat untuk walk out dari paripurna. Sulit dimungkiri bahwa hal itu merupakan skenario yang memang telah dirancang sejak awal. Di awal-awal Demokrat seolah-olah memberikan harapan pada PDIP sebagai motor pendukung pilkada langsung, tetapi kemudian berbalik menghantamnya di saat-saat akhir. Dari pengajuan 10 syarat oleh fraksi Demokrat sebenarnya dapat dibaca dengan jelas bahwa partai biru tersebut tengah memainkan peran dalam sebuah drama politik yang canggih. Pasalnya persyaratan tersebut jelas tidak mungkin diterima oleh forum paripurna karena konstelasinya berpihak pada koalisi KMP dan hal ini sebenarnya disadari sepenuhnya oleh Demokrat. Tentu Demokrat kemudian menjadikan penolakan paripurna atas persyaratan yang diajukannya itu sebagai alasan untuk walk out sehingga seolah-olah aksinya itu bukan karena menolak pilkada langsung. Dari perspektif dramaturgi Erving Goffman (1955), apa yang dilakukan SBY dan fraksi Demokrat tersebut dapat dijelaskan dengan tepat. Dukungan SBY dan juga fraksi Demokrat di awal terhadap pilkada langsung tampaknya merupakan permainan peran di panggung depan (fronts stage) belaka. Hal ini tentu saja dilakukan dalam rangka pengelolaan kesan (management of impression) mereka sehingga publik menilai seolah-olah mereka berpihak pada kedaulatan rakyat. Tetapi di panggung belakang (back stage) boleh jadi SBY dan fraksi Demokrat memainkan peran yang sama sekali berbeda dengan panggung depan. Panggung belakang yang tidak terlihat oleh publik memang sangat mungkin dijadikan tempat untuk melakukan hal tersebut. Ibarat aktor-aktor film yang memainkan peran-peran heroik di filmnya, setelah melepaskan peran itu dan kembali dalam kehidupan nyata, perilakunya kadang malah berseberangan. Bad Ending Story Bagi Demokrat dan terutama SBY, sikap politiknya tersebut mungkin saja akan menjadi akhir cerita yang buruk (bad ending story) bagi pemerintahannya. SBY yang merupakan produk pertama dari pemilihan langsung oleh rakyat justeru menjadi orang yang juga mengakhiri proses pemilihan yang mengedepankan kedaulatan rakyat tersebut. Jelas hal ini merupakan sesuatu yang sangat ironis apalagi jika melihat pernyataan-pernyataannya yang selama ini seolah mendukung kedaulatan rakyat. Alih-alih mendapatkan citra yang baik dari publik dengan sikap politiknya itu, SBY justeru tengah mendegradasikan citranya tersebut. Ia, misalnya, akan makin dipandang publik sebagai orang yang benar-benar tidak konsisten atau plin plan seperti yang dikerap disematkan orang kepadanya. Banyak kasus yang memperlihatkan keplinplanan sikapnya selama ini, dan ketidakkonsistenannya atas dukungan pilkada langsung kian menambah daftar panjang sikapnya itu. Entah disadari SBY atau tidak, sikap politiknya terhadap RUU Pilkada seperti disebutkan di atas boleh jadi akan menjadi sejarah yang akan dicatat oleh tinta buruk dalam politik Indonesia. Betapa tidak, reformasi yang telah melahirkan semangat kebebasan sipil dan memanifestasikan kedaulatan rakyat dalam berbagai bentuknya antara lain pilkada langsung, kini pelan-pelan mulai berakhir. Bukan tidak mungkin, dari pilkada langsung akan bergeser ke yang lainnya, sehingga satu demi satu kedaulatan rakyat akan terampas kembali seperti era sebelumnya. Padahal SBY sebenarnya bisa mengakhiri masa pemerintahannya selama dua periode itu dengan akhir cerita yang menyenangkan (happy ending story). Andai saja ia mau mengendalikan semua anggota fraksi Demokrat untuk tetap konsisten mendukung pilkada langsung, bukan sekadar pencitraan, tentu konstelasi politik juga berubah, karena suara partai penguasa itu saat ini bisa mengubah peta politik di DPR. Sangat mungkin opsi pilkada langsung akan menang dalam voting. Jika ini yang terjadi, bukan saja opsi yang mengusung kedaulatan rakyat tersebut akan menang di paripurna, melainkan juga akan mengangkat citra SBY dan Demokrat sendiri. Bagi SBY sebagai presiden, pastilah hal tersebut akan diapresiasi sangat tinggi oleh publik dan pada akhirnya masa pemerintahan SBY akan dicatat oleh tinta emas dalam sejarah politik Indonesia. Tetapi sayang, SBY tidak melakukan itu. *Penulis adalah Dosen Komunikasi Politik FISIP UIN Jakarta dan Deputi Direktur The Political Literacy renInstitute

Tidak ada komentar: